Share

Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku
Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku
Penulis: Nisa Khair

Bab 1

Batal Nikah karena Permintaan Aneh Calon Suamiku

"Dek Husna ... ," panggil Mas Fikri, di sela menikmati semangkok bakso dan es teh manis di pinggir jalan beraspal.

"Ya, Mas? Ada apa?" tanyaku, lantas kuhentikan sejenak kegiatanku menggulir layar ponsel. Kutatap lurus wajah calon suami di depanku.

"Sebentar lagi kan, kita resmi ya, jadi suami istri?" tanyanya setelah menghentikan menyuap bakso ke dalam mulut.

"Iya, insya Allah dua Minggu lagi kalau tak ada halangan ya, Mas," jawabku dengan memperhatikan ekspresi wajah itu.

"Tepat sekali," Mas Fikri menjentikkan jari. "Mas ada permintaan sama kamu, Dek," ujarnya lagi.

"Apa itu, Mas?" tanyaku penasaran.

"Nanti, setelah menikah, untuk biaya hidup sehari-hari, kita pakai uang gaji kamu ya, Dek Husna yang cantik," ujar Mas Fikri. Senyum lebar menghiasi bibir tipisnya.

Aku mengernyitkan kening. Merasa aneh dengan permintaan dari calon suamiku ini. Sependek pengetahuanku, memberi nafkah untuk kebutuhan sehari-hari itu mutlak kewajiban suami. Tapi, kenapa sekarang Mas Fikri mengajukan permintaan yang aneh ini?

"Kenapa begitu, Mas?" tanyaku tak mengerti.

Pernikahan kami tinggal dua Minggu lagi. Undangan juga sudah siap disebar. Saat ini aku dan Mas Fikri baru saja pulang dari Puskesmas untuk tes kesehatan calon pengantin.

"Soalnya, uang gaji Mas, nanti ditabung, semuanya, untuk masa depan kita," tambahnya lagi.

"Nggak kebalik, nih, Mas?" dahiku kian mengernyit, kepalaku dipenuhi tanya.

"Enggak, dong. Udah betul itu, Dek," jawabnya santai.

Ia kembali menyesap es jeruk yang tinggal setengah gelas. Ia kembali mengedipkan sebelah matanya saat sadar sedang kuperhatikan.

"Bukannya, kalau udah nikah itu, uang istri tetap milik istri, ya, Mas? Sedangkan uang suami, ya uang istri juga," kembali kuajukan tanya, ingin tau pemahamannya mengenai hidup berumah tangga. Mumpung belum jadi suami istri, tak ada salahnya bukan, mencari tau jalan pikiran calon suami?

"Nggak bisa gitu, dong," sahutnya cepat. "Perempuan kalau udah nikah itu kan milik suaminya. Apalagi cuma uangnya," tambahnya lagi dengan enteng.

Ia habiskan sisa es jeruknya. Semangkuk bakso di depannya telah habis tak bersisa. Kuhembuskan napas panjang.

"Baiklah, kalau begitu. Ayo kita pulang, Mas," ajakku kemudian.

Aku sudah kehilangan selera makan sejak beberapa saat lalu. Gegas kumatikan ponsel, kumasukkan ke dalam tas kecil di depanku.

"Kok, pulang, Dek. Nggak dihabisin ini baksonya? Sayang, lho, masih banyak ini," ujarnya dengan menunjuk mangkok di depanku yang masih berisi beberapa butir bakso.

"Nggak Mas, udah kenyang aku. Kalau Mas mau, habisin gih," ujarku sambil lalu.

"Nggaklah, udah kenyang Mas. Ya udah, kamu bayar dulu, ya? Mas, nggak bawa dompet," ucapnya malu-malu.

"Oke. Tunggu sebentar, ya," ujarku, lantas beranjak menuju penjual bakso untuk membayar.

Tunggu sebentar lagi, Mas. Aku akan mengakhiri semua ini. Enak saja kamu mau menang sendiri. Sudahlah kalau jajan di luar selalu nggak mau bayarin, belum resmi jadi istri pun sudah direncana mau menggunakan uang gaji untuk kebutuhan sehari-hari.

Gegas aku naik ke atas motor Mas Fikri. Sepuluh menit kemudian telah sampai di halaman rumah orang tuaku. Mas Fikri langsung pamit karena masih ada urusan di tempat kerja. Sedangkan aku, bergegas masuk ke kamar. Kebetulan rumah sedang sepi.

Lemari kubuka lebar. Kuambil semua pemberian dari Mas Fikri saat lamaran enam bulan lalu. Kumasukkan semua ke dalam kardus besar yang kuambil dari dapur.

.

"Ibu, Ayah, Husna mau bicara," pintaku, saat kami baru menyelesaikan makan malam.

"Bicaralah, Nak, ada apa? Persiapan pernikahan kamu, apa ada masalah?" tanya ibu.

Kuanggukkan kepala. Niatku sudah bulat. Pernikahan ini harus dibatalkan. Jalan pikiran Mas Fikri sudah tak benar, menurutku. Aku harap Ayah dan Ibu mau mengerti dan menerima keputusanku.

"Husna mau pernikahan Husna dan Mas Fikri dibatalkan, Yah, Bu. Maafkan Husna," ujarku dengan menundukkan kepala.

"Apa maksudmu, Na? Kalau ada masalah, kita bisa bicarakan baik-baik, bukan main batalkan saja," ujar Ayah, membuat aku sedikit memundurkan badan.

"Pasti ada alasan kuat, kenapa Husna mau membatalkan pernikahan yang tinggal dua Minggu lagi. Iya kan, Nak?" Pertanyaan Ibu membuat aku menganggukkan kepala.

"Iya, Bu. Ayah, Husna minta maaf, tapi keputusan Husna sudah bulat. Tolong dengarkan ini ya, Yah, Bu," pintaku sambil menyalakan rekaman di ponselku.

Tangan ayah mengepal begitu suara Mas Fikri mulai terdengar. Ibu juga terlihat menggelengkan kepala, seakan tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

.

"Tidak bisa! Enak saja main batalkan!"

Suara ayah mas Fikri menggelegar di tembok ruang tamu. Sang istri berusaha menenangkan dengan memegang lengannya.

"Perjodohan ini sudah direncanakan sejak lama, dan pernikahan mereka tinggal dua Minggu lagi digelar. Mau ditaruh di mana mukaku, ha?!"

.

Bagaimana tanggapan keluarga Husna dan Fikri? Apakah pembatalan pernikahan ini akan tetap dilaksanakan, atau justru dilanjutkan, ya?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tuti Alawiyah
masih menyimak cerita nya
goodnovel comment avatar
Fritz
ahahaha, yg ad suami ambl blik seserahanx cz istri selingkuh......
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status