Share

Bab 7

"Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.

Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. 

"Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."

Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba.

.

Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. 

"Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.

Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini.

"Husna, ada yang nyari kamu di depan."

Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara.

"Siapa, Bu?"

"Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang namanya Husna."

Kuikuti langkah Ibu menuju ke depan setelah berpamitan pada Ayah.

"Husna yang lain kali, Bu. Anaknya Pakdhe Mulyo kan Husna juga namanya?" ujarku perlahan.

"Coba temui dulu, nanti kalau bukan Husna kamu, kita antar beliau ke rumah Pakdhe kamu."

Aku mengangguk setuju. Tertegun aku saat sampai di teras. Seorang perempuan dengan memakai gamis merah marun dan jilbab senada, duduk di kursi dekat pintu. Memperhatikan beberapa saat, rasanya pernah melihat wajah itu, tapi di mana? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Berusaha mengingat, tapi nihil.

"Ibu, kenapa nggak disuruh masuk?" tanyaku dengan berbisik.

"Udah, orangnya nggak mau," jawab ibu berbisik juga.

"Nah, ini Husna, kan?" ujarnya begitu menyadari kehadiran kami berdua.

"Iya, Bu, benar saya Husna. Mari masuk dulu, Bu."

"Terima kasih, tapi di sini saja, saya sebentar saja kok."

"Baiklah, tapi maaf, ibu ini siapa ya, dan ada perlu apa?" tanyaku, kemudian duduk di sampingnya, diikuti oleh Ibu.

"Nama saya Wulandari. Panggil saja Ndari. Saya cuma mau ngasih kelapa, kebetulan sedang panen. Anggap saja ucapan terima kasih, karena Nak Husna pernah menolong saya waktu jatuh dari motor."

Aku dan ibu saling berpandangan. Ibu mengedikkan bahu. Sedangkan pikiranku traveling ke mana-mana, mencoba mengingat kejadian yang disebutkan. Seperti mengerti kalau aku tak kunjung ingat, beliau kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Kejadiannya sudah lama, motor saya terpeleset di perempatan pasar, dan Nak Husna membantu saya hingga saya bisa pulang. Untung saja saya sempat bertanya nama dan tempat tinggal Nak Husna. Saya sudah bertanya ke sana ke mari, alhamdulilah akhirnya ketemu juga."

Ah iya, baru teringat, waktu itu aku sedang ke luar untuk makan siang bersama Sinta. Melihat ada ibu-ibu yang jatuh di tengah jalan, kuminta Sinta berhenti. Berdua kami membantu ibu tersebut. Motornya akhirnya dibawa ke bengkel, sedangkan ibu tersebut kuantar ke klinik terdekat karena ada luka di kepalanya. Setelah memastikan kalau ada keluarganya yang menjemput, kemudian aku pamit karena jam istirahat segera habis.

Aku rasa orang lain juga akan melakukan hal sama jika berada di posisiku. Aku bahkan sudah lupa kejadian itu.

"Terima kasih banyak, ya, Nak Husna. Tolong diterima ya, pemberian ibu yang tak seberapa."

Ibu tersebut menyeret karung berisi kelapa dibantu seorang lelaki dewasa. Beberapa menyembul ke atas saking penuhnya. Mau ditolak juga nggak enak, mau diterima tapi banyak sekali. Beliau akhirnya pamit pulang setelah memastikan karung berisi kelapa itu berada di teras rumah ibu. Sebuah alamat diberikan, meminta aku datang berkunjung jika senggang.

"Rejeki anak sholehah ini namanya," ujar Ibu saat becak yang dinaiki Bu Ndari tak terlihat lagi.

"Hehe, alhamdulillah, ya, Bu."

"Terus mau kita apakan kelapa sebanyak ini, Bu?"

"Na! Husna!"

Belum sempat ibu menjawab, Lek Darmi, tetangga samping rumah ibu, datang dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Lek?" tanyaku dan ibu bersamaan.

"Tamu dari mana tadi? Itu kelapa sekarung mau buat apa? Nggak jadi mantu to, ngapain beli kelapa banyak-banyak?"

"Ih, kepo amat jadi orang," sahut ibu.

"Ya kalau jadi mantu kan lumayan ini kelapa bisa dibuat masak, dibikin macam-macam penganan buat suguhan. Lha nggak jadi kok, borong kelapa, mau buat apa coba?"

Aku terdiam. Kabar itu rupanya sudah beredar. Apalagi Lek Darmi ini, sudah seperti CCTV kampung. Kalau dapat kabar sedikit saja, sudah bisa dipastikan kalau dalam beberapa menit sudah tersebar.

"Lek Darmi mau?" tanyaku akhirnya.

"Mau banget. Apalagi kalau gratis," jawabnya sambil nyengir.

"Ya sudah, ambil dua buat Lek Darmi. Ini kalau buat sendiri juga nggak habis."

"Wah, terima kasih Husna. Kamu memang baik. Sayang nggak laku-laku. Udah mau nikah malah batal."

"Eh, Darmi, ngomong apa tadi?"

"Enggak, cuma mau bilang, nggak usah sok batalin nikah, entar kalo yang Sono nggak terima bisa-bisa disantet tuh, kayak siapa itu yang dulu sampe meninggal gara-gara balikin lamaran."

"Sudah-sudah, sana pulang, malah ngomong aneh-aneh kamu!"

"Itu kelapanya gimana?"

"Iya, sana bawa pulang!"

"Iya-iya, galak amat. Makasih ya, Husna, kelapanya. Jagain itu emaknya biar nggak ngamuk."

"Darmi!"

Lek Darmi segera menggendong dua buah kelapa dengan kedua tangannya.

"Husna ... Husna ... , sudah bagus kamu jadi mantunya si Sapto, pake dibatalkan segala. Mau cari suami kayak gimana lagi? Lihat itu Fikri, nggak jelek-jelek amat wajahnya. Anaknya juga baik nggak neko-neko."

Masih kudengar dengan jelas meski Lek Darmi berkata sambil berjalan ke arah pulang. Lek Darmi menghilang dengan cepat di balik pintu rumahnya.

"Bu, emang ada yang pernah balikin lamaran terus disantet? Siapa, Bu?"

"Sudah, nggak usah dipikirin omongan Darmi. Suka asal itu kalau ngomong."

"Oh, gitu, baiklah."

"Panggil Ayahmu, Na, minta tolong ini bawa masuk."

"Baik, Bu. Husna juga mau siap-siap berangkat kerja."

Ah, aku jadi kepikiran juga meski ibu menolak memberitahu.

.

Lek Darmi sinyalnya kuat juga ya, ternyata.

Wah, ada apa, nih, di balik kiriman kelapa yang sangat banyak? Adakah maksud dan tujuan tertentu?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ya ampun itu orang niat banget ngasih kelapa nya mungkin karena denger Husna mau menikah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status