Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.
Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang. Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?""Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja.""Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi."Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot yang kunaiki hingga aku turun di depan pintu gerbang."Dek Husna, tunggu dulu!"Urung aku melangkah menuju halaman pabrik tempatku bekerja. Terengah-engah ia saat sampai di hadapanku. Baru kuperhatikan bahwa ia makin kurus, baru juga satu Minggu nggak ketemu, pipinya kian tirus, wajahnya juga terlihat pucat. Apakah dia sakit?"Ada apa, Mas?""Mas ... Mas kangen, Dek. Kenapa Mas telepon nggak diangkat, pesan Mas nggak kamu balas? Mas nggak kuat menanggung rindu, Dek."Ya Allah, Mas Fikri ini sadar nggak ya, saat bicara seperti itu? Apa dia tidak berpikir kalau ini tempat umum, banyak karyawan yang berdatangan juga, kenapa tak ia hiraukan?"Astaghfirullah ... Istighfar Mas. Husna minta maaf, ya, karena Husna mengabaikan panggilan telepon dan pesan dari Mas Fikri. Husna hanya sedang menata hati untuk membuka lembaran baru. Husna harap Mas Fikri juga demikian. Maaf, Husna harus masuk kerja, assalamu'alaikum."Gegas aku ayunkan kaki ini memasuki area pabrik tempatku bekerja. Tak kuhiraukan lagi suara panggilan dari Mas Fikri di luar sana. Tak kuhiraukan juga pandangan aneh dari teman-teman yang kebetulan bersamaan masuk. Bisik-bisik mulai terdengar, lagi.Pagi-pagi sudah bikin drama saja kamu, Mas. Kumasukkan tas ke dalam loker, kemudian masuk ke dalam ruanganku."Husna!"Sebuah panggilan menghentikan langkahku. Urung aku menyerahkan bobot tubuh di kursi kerja."Iya, saya. Eh, maaf, Bu Lia, ada apa, ya?"Husna, saya minta laporan data produksi bulan ini, ya? Sebelum jam sepuluh, bisa?""Bisa, Bu.""Sip. Makasih, ya. Nanti kalau sudah siap, tolong antar. Saya balik ke sana dulu.""Oke, Bu Lia.""Oiya, nanti kamu ikut ya, ada rapat kecil di ruang biasa.""Okesiap."Bu Lia segera menghilang di balik pintu. Giliran aku melaksanakan titah."Bismillah, kerja, fokus Husna," ujarku seorang diri.Kunyalakan layar monitor, kemudian mengumpulkan data-data yang dipinta. Tak sampai satu jam semua sudah siap dicetak. Tak mau menunda lagi, segera kuantar ke ruangan Bu Lia. Tak hanya Bu Lia yang ada di ruangannya, tapi beberapa atasan nampaknya sedang berkumpul di sana. "Maaf, Bu Lia, ini laporan yang Ibu pinta, sudah saya siapkan.""Bagus, terima kasih, ya. Nah, ini dia orangnya, Pak."Aku tak mengerti, kenapa dari nada bicara Bu Lia, seakan kedatanganku sudah ditunggu?"Husna, sini duduk. Ada yang mau bicara sama kamu."Kuikuti instruksi Bu Lia. Duduk di sebuah kursi yang ia tunjuk. Duh, ada apa, ya? Mana ada Pak Hanan lagi di sini. Manager baru yang belakangan jadi bahan perbincangan anak produksi."Kamu, yang bernama Husna?""Iya, benar, Pak."Aduh, ini kenapa jadi kayak duduk di kursi panas ya, rasanya dag dig dug nggak karuan."Kamu, belakangan ini kurang fokus, ya?""Eh, itu, maaf, Pak … .""Saya suka lihat itu, karyawan lagi apa, dari CCTV. Yang ini, kamu bukan?"Sebuah video diputar di layar besar di ruangan Bu Lia. Memperlihatkan aku yang lagi memegang dagu, sambil corat-coret kertas. Aduh, itu kan, kemarin waktu lagi galau-galaunya, iseng-iseng coretin kertas nganggur."Ingat nggak kamu, lagi ngapain itu?""Eh, itu, lagi, bikin gambar, Pak.""Gambar apa? Bisa nggambar kamu?""Bisa sedikit, Pak. Maaf, kalau saya … .""Coba saya mau lihat. Masih ada, gambarnya?""Masih, Pak.""Boleh saya lihat?""Ha?""Saya tunggu.""Baik, Pak. Maaf, saya permisi dulu.""Ya, jangan lama-lama."Setengah berlari aku kembali ke ruanganku. Bakal dihukum kayaknya ini. Siapa suruh iseng di jam kerja. Husna … Husna … . Tak henti merutuki diri sendiri hingga aku kembali ke ruang Bu Lia."Maaf, Pak. Ini gambar saya kemarin."Takut-takut kuserahkan gambar itu. Nggak banyak kok, cuma lima lembar. Duh, maaf ya, Pak. Kalau dihukum ya terima ajalah, salah sendiri waktu kerja malah corat-coret."Oke, ayo duduk," ujar Pak Hanan setelah kertas-kertas itu berpindah tangan. Ia perhatikan satu persatu kertas berisi coretan tanganku. "Serius ini gambar kamu?""Iya, Pak.""Bagus! Saya suka!"Aku mendongakkan kepala. Ingin memastikan sekali lagi kalau aku tak salah dengar. Pak Hanan suka gambarku? Itu kan cuma … ..Kebiasaan corat-coret kertas, menjadi hobi yang sudah sejak lama kulakukan. Waktu masih duduk di bangku sekolah, buku tulisku hampir penuh dengan bermacam gambar. Mulai gambar bunga hingga kartun kesayangan.Terlebih lagi, kalau aku kurang berminat dengan mata pelajaran yang disampaikan. Duduk di bangku belakang, membuatku merasa aman menjalankan aksiku. Teman sebangku juga sama, jadi kompak berdua. Daripada ngantuk di kelas, mendingan orat-oret. Kadang ada juga guru yang negur, kalau ketahuan.Iseng saja bikin gambar lalu dikasih keterangan. Pura-puranya bikin komik ala-ala. Kadang tertawa sama hasil tangan sendiri. Hal ini berlanjut sampai aku kerja. Kalau lagi bosan, tanganku nggak bisa diam, terlebih kalau lihat kertas kosong. Kalau lagi galau apalagi, bisa berlembar-lembar kertas dihabiskan. Ya, meski sering dibuang juga kalau gambarnya terlihat aneh..Si Fikri masih belum move on rupanya.Husna punya peluang baru ya, Kak? Atau jangan-jangan, Pak Hanan ada hati sama Husna, nih?Kulihat Pak Hanan menunggu jawabanku. Nah, ini yang kadang dilema. Kalau disuruh, malah aku nggak bisa. Seringnya ide ngalir aja, nggak bisa dipaksa.Bu Lia menyenggol siku tanganku dengan isyarat agar aku cepat membalas ucapan Pak Hanan.Melihat itu, aku bergegas menjawab atasan kami ini dengan jawaban template khas karyawan, "Iya, Pak, saya mengerti." Bukannya aku tak senang dengan permintaan Pak Hanan. Aku sadar bahwa aku harusnya bahagia diberikan ruang seperti ini, dikasih kesempatan buat lebih bebas berekspresi. Tapi, kalau dipaksa, biasanya ide malah mampet! Itu yang aku takutkan terjadi."Bu, Lia.""Iya, saya, Pak."Kali ini, sepertinya Bu Lia yang akan diberikan tugas."Husna ini perlu dibina. Kalau perlu, pindahkan dia ke ruang desain, biar belajar sama anak-anak di sana. Tapi, desain dia sudah bagus, sih, tinggal dikembangkan.""Baik, Pak.""Oke, saya rasa cukup, ya. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu, Mbak Husna."Pak Hanan memberi penekanan saat menyebut namaku. Entah ha
"Coba kamu lihat-lihat ini ya. Biar bisa jadi referensi buat kamu bikin desain."Pak Hanan menyerahkan setumpuk buku. Bertukar dengan sepuluh desain yang baru saja kubuat. Aku yang baru saja menyerahkan bobot tubuh di kursi di depannya, terhenyak melihat banyaknya tumpukan buku di depanku.'Nothing to lose' mengalun pelan sekali di ruang ini. Mau ngikutin liriknya, tapi urung, nggak sopan rasanya. Padahal suka sama lagu-lagunya MLTR ini. Pak Hanan langsung sibuk melihat coretanku yang kini berada di tangannya."Ini bagus, saya sangat suka. Nanti kita buat masternya, lalu diperbanyak untuk dipasarkan. Bagaimana? Apa Mbak Husna setuju?"Aku terperangah mendengar ucapan Pak Hanan. Oret-oretan yang kukerjakan di sela menginput data pagi tadi, ternyata disukai, bahkan dihargai. Aku tak bisa berkata-kata lagi. "Mbak Husna, apa saya salah bicara?"Kening Pak Hanan mengernyit melihat perubahan yang ia lihat. Aku jadi merasa bersalah. Dihargai seperti ini malah membuatku terharu hingga tanpa
"Kuingatkan kau anak muda. Kau bukan siapa-siapa di sini, selain sebagai karyawan yang digaji bulanan!" ia menggeram lagi."Baik, akan saya ingat. Apa ibu sudah selesai?"Ia malah memutar bola mata dan mencebik tak suka."Maaf, jika ibu sudah selesai, saya permisi. Semoga hari ibu menyenangkan."Kutepuk pundaknya perlahan, kemudian berlalu ke luar, menuju Sinta biasa menunggu jika kami pulang bareng."Hei, saya belum selesai!" Bu Misya masih mengejarku. Entah apa lagi yang ia inginkan. Aku tak merasa memiliki masalah dengannya. Dan kalau ini bersangkutan dengan Pak Hanan, aku tak memiliki hubungan selain sebagai atasan dan bawahan. Lalu, masalahnya apa coba. Aneh sekali.Lenganku kembali dicekal begitu Bu Misya mensejajarkan langkah denganku. Kuhentikan langkah. Kutatap lurus ke dalam matanya."Oke, sekarang katakan, apa yang ibu inginkan dari saya?" tanyaku begitu langkah kami sama-sama terhenti.Empat tahun aku kerja di sini, hampir tak pernah ada pembicaraan khusus, selain tentang
"Ini apa?" tanya ibu bingung saat kuselipkan amplop coklat di tangannya. Tinggal kami berdua di rumah, sementara Ayah sedang ikut kumpulan bapak-bapak di rumah tetangga."Ini buat ibu, diterima ya, Bu. Aku dapat rejeki tadi," ujarku dengan mengulas senyum."Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Coba ceritakan, bagaimana kamu bisa dapat uang sebanyak ini dalam sehari?" pinta ibu. Digenggamnya tanganku, serta diberikan tatapan hangat.Aku pun mulai bercerita tentang asal muasal uang tersebut. Ibu khusuk mendengarkan, sesekali mengangguk. Detik berikutnya, kulihat ibu menyeka sudut mata. Hal ini membuat aku merasa khawatir."Ibu, kenapa? Kok, nangis?""Oh, enggak, Ibu cuma kelilipan."Selalu begini, kalau sedang menyembunyikan tangisan. Kenapa lagi ibuku ini?"Yang bener? Itu, mata ibu berair begitu?" tanyaku penuh selidik. Kupindai wajah wanita yang melahirkanku. Sama
"Tuh, kan. Lihat itu, Bu, yang gayanya pendekar," ujarku dengan masih mengulum senyum."Iya dong, biar bisa jagain adik Mas yang cantik, sama ibu yang baik hati ini, iya kan, Bu?""Sudah-sudah, kalian ini, nggak di rumah, nggak di sini, ribut aja. Ini rumah sakit, kalau ribut di sini, nanti pasien yang lain bisa terganggu," ujar ibu melerai kami berdua yang berebut kata."Ya sudah, ayo, Dika mau pulang sekarang.""Lho, kok, pulang? Emang udah dapat ijin dari dokternya? Urusan administrasi gimana?" tanyaku beruntun. Bagaimana, sih, Mas Dika ini. Badan udah luka-luka begini main pulang aja."Tenang ya, adik Mas yang cantik, tadi barusan dokternya ke sini, sudah dikasih surat keterangan kalau Mas bisa rawat jalan. Administrasi juga sudah diurus sama perusahaan, jadi aman. Oke?""Alhamdulillah ... . Ya udah, ayok pulang. Mas, bisa jalan?" tanyaku ragu. Aku masih miris melihat kondisinya sekarang."Bisa dong. Tapi, kalau Dek
"Fiuh ... ! Selesai juga."Kuhembuskan napas lega saat kuselesaikan semua pekerjaan hari ini. Melihat jam dinding, sudah jam tujuh malam. Terlambat tiga jam dari jadwal pulang. Mana di luar hujan deras."Yah, masih ujan, ya? Nggak bisa pulang dong, kita," ujar Sinta."Kamu nggak bawa mantel?" tanyaku sambil membereskan meja."Bawa, sih, tapi, kamu gimana?" Sinta terlihat khawatir. Ia masih berdiri di belakang meja, terlihat sedang berpikir bagaimana caranya pulang di saat hujan deras seperti sekarang."Gampang kalau aku, mah. Udah, yuk, ke luar dulu aja," ajakku, menghampiri ia yang masih mematung di sana.Beriringan kami berdua ke luar ruangan. Di depan ruang loker kami berhenti, bersama banyaknya karyawan yang juga menunggu hujan reda.Akhirnya karena membludak, ruang paling dekat dengan ruang loker yang sudah ditutup, dibuka lagi."Wah, nggak bisa pulang kalian, ya?" sa
"Ibu, siapa yang nyari Husna?" tanyaku kemudian."Tamu kamu yang kemarin datang," jawab ibu enteng, tapi menyisakan tanya.Otakku berpikir cepat. Tak ada tamu lain yang datang, kecuali … ."Siapa? Bu Ndari?" tanyaku begitu teringat kalau beliau satu-satunya tamu yang kutemui dalam Minggu ini.Anggukan kepala ibu membuat aku mengernyitkan kening. Bukankah baru kemarin beliau datang? Permintaan untuk mengunjungi juga belum kutunaikan, ini kenapa malah sudah berkunjung lagi?"Sana, Yah, kasih tau anak kita," ucap ibu dengan berbisik, tapi masih dapat tertangkap oleh pendengaranku. Hal ini membuat aku semakin ingin tau, ada apa?Ayah meminta ibu menghentikan pijitan di pundaknya. Beliau berjalan mendekat, kemudian duduk menghadap ke arahku. Aku jadi deg-degan melihat ayah memasang wajah serius. Kulihat ayah menghela napas sebelum mulai berbicara."Husna, Bu Ndari datang dengan niat baik. Tapi, ayah dan ibu menyerahkan keputusan pada kamu. Kamu sudah dewa
"Ibu dan ayah kuatir kamu kenapa-kenapa, jadi Mas cari kamu. Kalau ada apa-apa, bilang, jangan dipendam sendiri!"Sepeduli ini Mas Dika padaku. Maafkan aku, Mas.Ia berusaha melihat wajahku yang tak juga kuangkat. Isakanku meledak begitu saja. Aku ini kenapa?"Istighfar Dek, ingat sama Allah ... . Astaghfirullahal'adzim … astaghfirullahal'adzim."Ia berusaha membimbingku mengucap kalimat istighfar berkali-kali. Tapi aku masih saja terisak. Mas Dika meniup puncak kepalaku setelah membaca entah apa. Aku merasa lebih tenang sekarang.Tak bisa kutolak lagi saat ia memaksa mengantar aku berangkat kerja. Rasa bersalah menerpaku, saat aku telah sampai, dan memegang satu kantong bekal yang dibawa Mas Dika."Banyak-banyak istighfar ya, Dek, usahakan sambil dzikir saat kerja. Atau kamu ijin saja hari ini?" pintanya saat telah sampai di depan pintu gerbang.Aku hanya menggeleng, kemudian menyalami Mas Dika. "Sampai di dalam, kamu a