Share

Bab 8

Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.

Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang.  Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?

"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?"

"Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja."

"Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."

Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi.

"Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot yang kunaiki hingga aku turun di depan pintu gerbang.

"Dek Husna, tunggu dulu!"

Urung aku melangkah menuju halaman pabrik tempatku bekerja. Terengah-engah ia saat sampai di hadapanku. Baru kuperhatikan bahwa ia makin kurus, baru juga satu Minggu nggak ketemu, pipinya kian tirus, wajahnya juga terlihat pucat. Apakah dia sakit?

"Ada apa, Mas?"

"Mas ... Mas kangen, Dek. Kenapa Mas telepon nggak diangkat, pesan Mas nggak kamu balas? Mas nggak kuat menanggung rindu, Dek."

Ya Allah, Mas Fikri ini sadar nggak ya, saat bicara seperti itu? Apa dia tidak berpikir kalau ini tempat umum, banyak karyawan yang berdatangan juga, kenapa tak ia hiraukan?

"Astaghfirullah ... Istighfar Mas. Husna minta maaf, ya, karena Husna mengabaikan panggilan telepon dan pesan dari Mas Fikri. Husna hanya sedang menata hati untuk membuka lembaran baru. Husna harap Mas Fikri juga demikian. Maaf, Husna harus masuk kerja, assalamu'alaikum."

Gegas aku ayunkan kaki ini memasuki area pabrik tempatku bekerja. Tak kuhiraukan lagi suara panggilan dari Mas Fikri di luar sana. Tak kuhiraukan juga pandangan aneh dari teman-teman yang kebetulan bersamaan masuk. Bisik-bisik mulai terdengar, lagi.

Pagi-pagi sudah bikin drama saja kamu, Mas. Kumasukkan tas ke dalam loker, kemudian masuk ke dalam ruanganku.

"Husna!"

Sebuah panggilan menghentikan langkahku. Urung aku menyerahkan bobot tubuh di kursi kerja.

"Iya, saya. Eh, maaf, Bu Lia, ada apa, ya?

"Husna, saya minta laporan data produksi bulan ini, ya? Sebelum jam sepuluh, bisa?"

"Bisa, Bu."

"Sip. Makasih, ya. Nanti kalau sudah siap, tolong antar. Saya balik ke sana dulu."

"Oke, Bu Lia."

"Oiya, nanti kamu ikut ya, ada rapat kecil di ruang biasa."

"Okesiap."

Bu Lia segera menghilang di balik pintu. Giliran aku melaksanakan titah.

"Bismillah, kerja, fokus Husna," ujarku seorang diri.

Kunyalakan layar monitor, kemudian mengumpulkan data-data yang dipinta. Tak sampai satu jam semua sudah siap dicetak. Tak mau menunda lagi, segera kuantar ke ruangan Bu Lia. 

Tak hanya Bu Lia yang ada di ruangannya, tapi beberapa atasan nampaknya sedang berkumpul di sana. 

"Maaf, Bu Lia, ini laporan yang Ibu pinta, sudah saya siapkan."

"Bagus, terima kasih, ya. Nah, ini dia orangnya, Pak."

Aku tak mengerti, kenapa dari nada bicara Bu Lia, seakan kedatanganku sudah ditunggu?

"Husna, sini duduk. Ada yang mau bicara sama kamu."

Kuikuti instruksi Bu Lia. Duduk di sebuah kursi yang ia tunjuk. Duh, ada apa, ya? Mana ada Pak Hanan lagi di sini. Manager baru yang belakangan jadi bahan perbincangan anak produksi.

"Kamu, yang bernama Husna?"

"Iya, benar, Pak."

Aduh, ini kenapa jadi kayak duduk di kursi panas ya, rasanya dag dig dug nggak karuan.

"Kamu, belakangan ini kurang fokus, ya?"

"Eh, itu, maaf, Pak … ."

"Saya suka lihat itu, karyawan lagi apa, dari CCTV. Yang ini, kamu bukan?"

Sebuah video diputar di layar besar di ruangan Bu Lia. Memperlihatkan aku yang lagi memegang dagu, sambil corat-coret kertas. Aduh, itu kan, kemarin waktu lagi galau-galaunya, iseng-iseng coretin kertas nganggur.

"Ingat nggak kamu, lagi ngapain itu?"

"Eh, itu, lagi, bikin gambar, Pak."

"Gambar apa? Bisa nggambar kamu?"

"Bisa sedikit, Pak. Maaf, kalau saya … ."

"Coba saya mau lihat. Masih ada, gambarnya?"

"Masih, Pak."

"Boleh saya lihat?"

"Ha?"

"Saya tunggu."

"Baik, Pak. Maaf, saya permisi dulu."

"Ya, jangan lama-lama."

Setengah berlari aku kembali ke ruanganku. Bakal dihukum kayaknya ini. Siapa suruh iseng di jam kerja. Husna … Husna … . Tak henti merutuki diri sendiri hingga aku kembali ke ruang Bu Lia.

"Maaf, Pak. Ini gambar saya kemarin."

Takut-takut kuserahkan gambar itu. Nggak banyak kok, cuma lima lembar. Duh, maaf ya, Pak. Kalau dihukum ya terima ajalah, salah sendiri waktu kerja malah corat-coret.

"Oke, ayo duduk," ujar Pak Hanan setelah kertas-kertas itu berpindah tangan. Ia perhatikan satu persatu kertas berisi coretan tanganku. "Serius ini gambar kamu?"

"Iya, Pak."

"Bagus! Saya suka!"

Aku mendongakkan kepala. Ingin memastikan sekali lagi kalau aku tak salah dengar. Pak Hanan suka gambarku? Itu kan cuma … .

.

Kebiasaan corat-coret kertas, menjadi hobi yang sudah sejak lama kulakukan. Waktu masih duduk di bangku sekolah, buku tulisku hampir penuh dengan bermacam gambar. Mulai gambar bunga hingga kartun kesayangan.

Terlebih lagi, kalau aku kurang berminat dengan mata pelajaran yang disampaikan. Duduk di bangku belakang, membuatku merasa aman menjalankan aksiku. Teman sebangku juga sama, jadi kompak berdua. Daripada ngantuk di kelas, mendingan orat-oret. Kadang ada juga guru yang negur, kalau ketahuan.

Iseng saja bikin gambar lalu dikasih keterangan. Pura-puranya bikin komik ala-ala. Kadang tertawa sama hasil tangan sendiri. Hal ini berlanjut sampai aku kerja. Kalau lagi bosan, tanganku nggak bisa diam, terlebih kalau lihat kertas kosong. Kalau lagi galau apalagi, bisa berlembar-lembar kertas dihabiskan. Ya, meski sering dibuang juga kalau gambarnya terlihat aneh.

.

Si Fikri masih belum move on rupanya.

Husna punya peluang baru ya, Kak? Atau jangan-jangan, Pak Hanan ada hati sama Husna, nih?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Wah Husna pinter gambar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status