Share

Bab 6

.

Terbangun jam dua pagi, mata malah terasa bengkak, susah banget dibuka. Payah ya, semalam sambil beresin barang, malah mewek sendiri. Tapi kamar sudah lumayan rapilah, undangan sama souvenir yang masih ada di atas lemari sudah tak pindahin ke kardus. Barang-barang yang bisa ngingetin sama Mas Fikri sudah dimasukkan ke sana juga. Setelah ini terserah Ibu sama Ayah mau digimanain. 

Kuraih ponsel, memeriksa pesan yang masuk ke akun W******p. Seharian bersama Mas Dika membuat aku mengabaikan ponselku. Hingga dini hari ini baru kupegang, karena memang kalau libur malah nggak sempat megang. Beberapa pesan teks dan suara dari Mas Fikri, masuk ke nomor W******p milikku.

"Dek, Husna, kalau kamu berubah pikiran, Mas masih mau menerima kamu dengan hati dan tangan terbuka. Hidup Mas terasa hampa tanpa kamu, Dek Husna."

Aku tersenyum membaca pesan itu. Masih nggak nyerah kamu, Mas. Masih juga mengirim kata-kata gombal yang akhirnya kuabaikan. Bosan. Aku bosan dengan kata-kata manis yang ia kirimkan. Aku anggap semua sudah selesai, tapi ternyata dia masih berusaha membujuk aku supaya memikirkan lagi keputusanku.

Gegas aku beranjak ke luar kamar. Mengambil air wudhu setelah membersihkan diri. Mengadu pada Sang Pencipta, mengadukan semua lara di atas sajadah. Air mata mengalir begitu saja tanpa bisa dicegah. Setelah bermunajat di sepertiga malam, aku merasa lebih tenang. 

Melihat jam di dinding, sudah jam tiga lewat sepuluh. Gegas kukembalikan sajadah dan mukena ke tempatnya. Berniat puasa, kuayunkan kaki menuju dapur. Sepiring nasi dan lauk telah disantap untuk makan sahur. Habis ini siap-siap aja stok es krim sama coklat yang diborong sama Mas Dika bakal disantap sampe kenyang. Mayan kan, buat balikin mood yang menguap.

Menghabiskan es krim sebiji, masih belum kenyang juga. Yaudah, giliran coklat yang dikunyah. 

"Enak benerr … , bagi dong!"

Aku terlonjak saat mendengar suara Mas Dika yang tiba-tiba muncul.

"Mas mau? Sini deh, makan sama-sama."

"Asik, emang baik adik Mas ini,"

"Iya dong, kan berbagi itu indah, hehe. Mas nggak tidur?"

"Tidur dong, ini udah bangun. Itu mata, kenapa bengkak gitu? Pasti abis nangis, ya?"

Mas Dika malah mendekatkan wajahnya, menelisik wajah adiknya yang sedang sibuk mengunyah coklat.

"Iya. Udah, jangan dilihatin. Udah selesai nangisnya kok. Asal ada es krim sama coklat, semua beres."

"Sholat udah?"

"Udah dong, Mas."

"Alhamdulillah. Jangan sampai ditinggal yang satu itu ya, Dek, sebab itu amalan pertama yang akan dihisab kelak saat kita dibangkitkan. Apa pun kondisinya, mau lagi seneng, lagi sedih, lagi galau, tetep sholat, ya." 

"Iya, makasih ya, Mas, udah ngingetin. Oiya, ini, Mas libur sampe kapan?"

"Sampe Rabu, hari Kamis Mas berangkat. Kenapa, mau ikut?"

"Mau, sih, tapi nunggu dapat libur dulu. Pengen juga kerja yang bisa jalan-jalan gitu, Mas. Pasti asyik ya, ketemu orang ganti-ganti terus?"

"Iya asyik memang, tapi bahaya kalau cewek kayak kamu kerja kayak Mas."

"Bahaya kenapa? Kan Husna bisa jaga diri."

"Iya percaya, kamu bisa jaga diri, tapi janganlah, sudah bagus di situ aja kerjanya, bisa pulang tiap hari, biar Ayah sama Ibu ada temennya."

Yasudah aku tak mau berdebat lagi. Pasti jawabannya bakalan sama kayak sebelumnya. Padahal pengen juga ngerasain kerja kayak Mas Dika, bisa jalan-jalan, ketemu orang baru, ke tempat wisata tiap hari. Membayangkan saja sudah seru.

Tak terasa ngobrol sampai terdengar adzan Subuh. Kami membubarkan diri, kemudian berempat berjamaah di ruang tengah bersama Ibu dan Ayah.

Aku membantu ibu menyiapkan sarapan, tak mau tiduran lagi seperti kemarin, yang berakibat bangun kesiangan.

"Husna, kamu hari ini kerja?" tanya ibu saat aku tengah mengaduk teh dalam teko.

"Iya, Bu, hari ini Husna kerja. Kenapa, Bu?"

"Tidak apa-apa. Bagaimana perasaan kamu, Nak?"

Ibu memegang tanganku yang masih memegang sendok. Terlihat sekali wajahnya khawatir. Mungkin sisa menangis semalam masih terlihat di wajah ini.

"Perasaan Husna baik, Bu. Alhamdulillah sudah lebih baik. Ibu nggak usah khawatir, ya. Insya Allah, Husna baik-baik saja, Bu."

"Syukurlah, Nak. Kalau ada apa-apa, atau mau cerita, nggak usah sungkan, ya. Ingat, masih banyak orang yang sayang dan peduli sama kamu."

"Masya Allah, iya, Bu, terima kasih banyak, untuk semuanya."

Kupeluk erat perempuan penuh cinta di hadapanku ini. Bahagia rasanya aku dikelilingi keluarga yang sangat menyayangi aku. Rasa bersalah kembali hadir begitu saja tanpa bisa kucegah.

.

"Dek, semangat, ya," ujar mas Dika dengan senyum khasnya. Ia bersikeras mengantar hingga ke depan pintu gerbang meski aku menolak.

"Siap, makasih, ya, Mas. Husna masuk dulu, assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam, nanti pulang Mas jemput, ya."

"Oke, Mas."

Aku bergabung dengan teman-teman berseragam biru yang juga baru datang.

"Itu tadi calon suami kamu, Na?"

"Eh, bukan. Kakakku itu."

"Masak, sih? Kok nggak mirip?"

"Emang kalau kakak adik harus mirip gitu?"

"Ya nggak juga, tapi kamu cocok itu tadi, kirain calon kamu."

"Ada-ada saja. Udah, yuk, udah waktunya kerja."

Aku kembali sibuk dengan pekerjaan. Tumpukan laporan dan target karyawan bagian produksi siap dieksekusi. Hari ini akan sangat sibuk, karena beberapa barang harus dikirim sebelum jam kerja berakhir.

.

"Ini surat ijin kamu udah keluar, Na. Selamat, ya, semoga acaranya lancar. Jangan lupa bagi undangan, ya," pinta Mbak Irma, selaku HRD di tempat kerjaku.

Hampir satu bulan ijin cuti itu kuajukan. Kini surat ijin itu sudah di tangan. Namun, bukankah pernikahan tak jadi dilaksanakan? Lalu, untuk apa ijin cuti ini nantinya akan kugunakan?

.

Entah bagaimana awalnya, kabar itu beredar juga di tempat kerja, bahwa pernikahanku batal dilaksanakan. Banyak yang acuh, tapi tak sedikit juga yang kepo akut. Malah pihak HRD minta cutiku dibatalkan.

"Terus, kalau nggak jadi nikah, ngapain ambil cuti? Kerja aja, lagi banyak banget kerjaan di sini, Na."

"Eh, itu … ."

"Maaf, Na, bukan Mbak mau ikut campur, tapi cuti itu bisa kamu pakai nanti kalau ada perlu. Kamu tau sendiri kan, kalau di sini cuma bisa ambil cuti dua Minggu saja maksimal dalam satu tahun? Gimana? Coba pikirkan lagi, ya?"

.

Mas Dika beneran saudara kandung apa bukan ya, sama Husna? Terus, cutinya mau dipakai, atau dibatalkan saja sebaiknya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mas Dika kakak impian setiap adik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status