.
Terbangun jam dua pagi, mata malah terasa bengkak, susah banget dibuka. Payah ya, semalam sambil beresin barang, malah mewek sendiri. Tapi kamar sudah lumayan rapilah, undangan sama souvenir yang masih ada di atas lemari sudah tak pindahin ke kardus. Barang-barang yang bisa ngingetin sama Mas Fikri sudah dimasukkan ke sana juga. Setelah ini terserah Ibu sama Ayah mau digimanain. Kuraih ponsel, memeriksa pesan yang masuk ke akun W******p. Seharian bersama Mas Dika membuat aku mengabaikan ponselku. Hingga dini hari ini baru kupegang, karena memang kalau libur malah nggak sempat megang. Beberapa pesan teks dan suara dari Mas Fikri, masuk ke nomor W******p milikku."Dek, Husna, kalau kamu berubah pikiran, Mas masih mau menerima kamu dengan hati dan tangan terbuka. Hidup Mas terasa hampa tanpa kamu, Dek Husna."Aku tersenyum membaca pesan itu. Masih nggak nyerah kamu, Mas. Masih juga mengirim kata-kata gombal yang akhirnya kuabaikan. Bosan. Aku bosan dengan kata-kata manis yang ia kirimkan. Aku anggap semua sudah selesai, tapi ternyata dia masih berusaha membujuk aku supaya memikirkan lagi keputusanku.Gegas aku beranjak ke luar kamar. Mengambil air wudhu setelah membersihkan diri. Mengadu pada Sang Pencipta, mengadukan semua lara di atas sajadah. Air mata mengalir begitu saja tanpa bisa dicegah. Setelah bermunajat di sepertiga malam, aku merasa lebih tenang. Melihat jam di dinding, sudah jam tiga lewat sepuluh. Gegas kukembalikan sajadah dan mukena ke tempatnya. Berniat puasa, kuayunkan kaki menuju dapur. Sepiring nasi dan lauk telah disantap untuk makan sahur. Habis ini siap-siap aja stok es krim sama coklat yang diborong sama Mas Dika bakal disantap sampe kenyang. Mayan kan, buat balikin mood yang menguap.Menghabiskan es krim sebiji, masih belum kenyang juga. Yaudah, giliran coklat yang dikunyah. "Enak benerr … , bagi dong!"Aku terlonjak saat mendengar suara Mas Dika yang tiba-tiba muncul."Mas mau? Sini deh, makan sama-sama.""Asik, emang baik adik Mas ini,""Iya dong, kan berbagi itu indah, hehe. Mas nggak tidur?""Tidur dong, ini udah bangun. Itu mata, kenapa bengkak gitu? Pasti abis nangis, ya?"Mas Dika malah mendekatkan wajahnya, menelisik wajah adiknya yang sedang sibuk mengunyah coklat."Iya. Udah, jangan dilihatin. Udah selesai nangisnya kok. Asal ada es krim sama coklat, semua beres.""Sholat udah?""Udah dong, Mas.""Alhamdulillah. Jangan sampai ditinggal yang satu itu ya, Dek, sebab itu amalan pertama yang akan dihisab kelak saat kita dibangkitkan. Apa pun kondisinya, mau lagi seneng, lagi sedih, lagi galau, tetep sholat, ya." "Iya, makasih ya, Mas, udah ngingetin. Oiya, ini, Mas libur sampe kapan?""Sampe Rabu, hari Kamis Mas berangkat. Kenapa, mau ikut?""Mau, sih, tapi nunggu dapat libur dulu. Pengen juga kerja yang bisa jalan-jalan gitu, Mas. Pasti asyik ya, ketemu orang ganti-ganti terus?""Iya asyik memang, tapi bahaya kalau cewek kayak kamu kerja kayak Mas.""Bahaya kenapa? Kan Husna bisa jaga diri.""Iya percaya, kamu bisa jaga diri, tapi janganlah, sudah bagus di situ aja kerjanya, bisa pulang tiap hari, biar Ayah sama Ibu ada temennya."Yasudah aku tak mau berdebat lagi. Pasti jawabannya bakalan sama kayak sebelumnya. Padahal pengen juga ngerasain kerja kayak Mas Dika, bisa jalan-jalan, ketemu orang baru, ke tempat wisata tiap hari. Membayangkan saja sudah seru.Tak terasa ngobrol sampai terdengar adzan Subuh. Kami membubarkan diri, kemudian berempat berjamaah di ruang tengah bersama Ibu dan Ayah.Aku membantu ibu menyiapkan sarapan, tak mau tiduran lagi seperti kemarin, yang berakibat bangun kesiangan."Husna, kamu hari ini kerja?" tanya ibu saat aku tengah mengaduk teh dalam teko."Iya, Bu, hari ini Husna kerja. Kenapa, Bu?""Tidak apa-apa. Bagaimana perasaan kamu, Nak?"Ibu memegang tanganku yang masih memegang sendok. Terlihat sekali wajahnya khawatir. Mungkin sisa menangis semalam masih terlihat di wajah ini."Perasaan Husna baik, Bu. Alhamdulillah sudah lebih baik. Ibu nggak usah khawatir, ya. Insya Allah, Husna baik-baik saja, Bu.""Syukurlah, Nak. Kalau ada apa-apa, atau mau cerita, nggak usah sungkan, ya. Ingat, masih banyak orang yang sayang dan peduli sama kamu.""Masya Allah, iya, Bu, terima kasih banyak, untuk semuanya."Kupeluk erat perempuan penuh cinta di hadapanku ini. Bahagia rasanya aku dikelilingi keluarga yang sangat menyayangi aku. Rasa bersalah kembali hadir begitu saja tanpa bisa kucegah.."Dek, semangat, ya," ujar mas Dika dengan senyum khasnya. Ia bersikeras mengantar hingga ke depan pintu gerbang meski aku menolak."Siap, makasih, ya, Mas. Husna masuk dulu, assalamu'alaikum.""W*'alaikumsalam, nanti pulang Mas jemput, ya.""Oke, Mas."Aku bergabung dengan teman-teman berseragam biru yang juga baru datang."Itu tadi calon suami kamu, Na?""Eh, bukan. Kakakku itu.""Masak, sih? Kok nggak mirip?""Emang kalau kakak adik harus mirip gitu?""Ya nggak juga, tapi kamu cocok itu tadi, kirain calon kamu.""Ada-ada saja. Udah, yuk, udah waktunya kerja."Aku kembali sibuk dengan pekerjaan. Tumpukan laporan dan target karyawan bagian produksi siap dieksekusi. Hari ini akan sangat sibuk, karena beberapa barang harus dikirim sebelum jam kerja berakhir.."Ini surat ijin kamu udah keluar, Na. Selamat, ya, semoga acaranya lancar. Jangan lupa bagi undangan, ya," pinta Mbak Irma, selaku HRD di tempat kerjaku.Hampir satu bulan ijin cuti itu kuajukan. Kini surat ijin itu sudah di tangan. Namun, bukankah pernikahan tak jadi dilaksanakan? Lalu, untuk apa ijin cuti ini nantinya akan kugunakan?.Entah bagaimana awalnya, kabar itu beredar juga di tempat kerja, bahwa pernikahanku batal dilaksanakan. Banyak yang acuh, tapi tak sedikit juga yang kepo akut. Malah pihak HRD minta cutiku dibatalkan."Terus, kalau nggak jadi nikah, ngapain ambil cuti? Kerja aja, lagi banyak banget kerjaan di sini, Na.""Eh, itu … .""Maaf, Na, bukan Mbak mau ikut campur, tapi cuti itu bisa kamu pakai nanti kalau ada perlu. Kamu tau sendiri kan, kalau di sini cuma bisa ambil cuti dua Minggu saja maksimal dalam satu tahun? Gimana? Coba pikirkan lagi, ya?".Mas Dika beneran saudara kandung apa bukan ya, sama Husna? Terus, cutinya mau dipakai, atau dibatalkan saja sebaiknya?"Daripada nggak kerja malah ngelamun, Na, mending kerja, menyibukkan diri, kumpul sama teman-teman. Tapi terserah kamulah, nanti kabari Mbak, ya," tambahnya lagi.Padahal aku sudah berencana membujuk Mas Dika supaya bisa ikut perjalanan, mumpung dapat cuti. Lumayan kan, satu Minggu bisa buat refreshing otak dan pikiran. Tapi ada benarnya juga kata Mbak Irma. Mengajukan cuti juga harus jauh-jauh hari. "Makasih ya, Mbak, nanti Husna pikirkan lagi soal cuti itu."Dan kami kembali sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, hingga waktu pulang tiba..Hari masih pagi, kutemani Ayah berbincang sambil menikmati sepiring singkong rebus dan segelas teh manis. Mas Dika sudah berangkat sejak jam lima tadi. "Nanti dua hari lagi Mas pulang," pamitnya tadi.Kembali lagi aku hanya bertiga dengan Ibu dan Ayah di rumah ini."Husna, ada yang nyari kamu di depan."Aku yang sedang ngobrol sama Ayah di belakang rumah, sontak menoleh ke sumber suara."Siapa, Bu?""Nggak tau, ibu-ibu, dia nyari yang naman
Tak terasa aku sudah sampai di ujung jalan. Bersiap menunggu angkutan umum yang akan membawa aku ke tempat kerja.Sebuah motor berhenti di depanku, tepat saat aku keluar gang. Rasanya tak asing dengan motor itu. Benar saja, wajah Mas Fikri tersembul begitu helmnya dibuka. Mau apa lagi dia?"Dek Husna, yuk, Mas antar. Mau berangkat kerja, kan?""Terima kasih, Mas. Husna berangkat sendiri saja.""Ayolah, dari pada naik angkot, lebih baik digonceng sama Mas Fikri yang ganteng ini."Ganteng-ganteng tapi nggak modal, kalau jalan sukanya minta dibayarin, buat apa? Nanti ujung-ujungnya minta dibeliin bensinlah, inilah, itulah. Baru juga mulai menata hati, eh, dia udah muncul lagi."Makasih ya, Mas Fikri yang ganteng dan baik hati. Tapi maaf, ini angkotnya sudah datang, Husna duluan, ya?"Tanpa menunggu jawaban, aku segera masuk ke dalam angkot. Kebetulan juga pas berhenti di depanku. Dapat kulihat wajah kesalnya saat angkot yang kunaiki mulai melaju. Rupanya ia tak menyerah, ia ikuti angkot
Kulihat Pak Hanan menunggu jawabanku. Nah, ini yang kadang dilema. Kalau disuruh, malah aku nggak bisa. Seringnya ide ngalir aja, nggak bisa dipaksa.Bu Lia menyenggol siku tanganku dengan isyarat agar aku cepat membalas ucapan Pak Hanan.Melihat itu, aku bergegas menjawab atasan kami ini dengan jawaban template khas karyawan, "Iya, Pak, saya mengerti." Bukannya aku tak senang dengan permintaan Pak Hanan. Aku sadar bahwa aku harusnya bahagia diberikan ruang seperti ini, dikasih kesempatan buat lebih bebas berekspresi. Tapi, kalau dipaksa, biasanya ide malah mampet! Itu yang aku takutkan terjadi."Bu, Lia.""Iya, saya, Pak."Kali ini, sepertinya Bu Lia yang akan diberikan tugas."Husna ini perlu dibina. Kalau perlu, pindahkan dia ke ruang desain, biar belajar sama anak-anak di sana. Tapi, desain dia sudah bagus, sih, tinggal dikembangkan.""Baik, Pak.""Oke, saya rasa cukup, ya. Kamu boleh kembali ke ruangan kamu, Mbak Husna."Pak Hanan memberi penekanan saat menyebut namaku. Entah ha
"Coba kamu lihat-lihat ini ya. Biar bisa jadi referensi buat kamu bikin desain."Pak Hanan menyerahkan setumpuk buku. Bertukar dengan sepuluh desain yang baru saja kubuat. Aku yang baru saja menyerahkan bobot tubuh di kursi di depannya, terhenyak melihat banyaknya tumpukan buku di depanku.'Nothing to lose' mengalun pelan sekali di ruang ini. Mau ngikutin liriknya, tapi urung, nggak sopan rasanya. Padahal suka sama lagu-lagunya MLTR ini. Pak Hanan langsung sibuk melihat coretanku yang kini berada di tangannya."Ini bagus, saya sangat suka. Nanti kita buat masternya, lalu diperbanyak untuk dipasarkan. Bagaimana? Apa Mbak Husna setuju?"Aku terperangah mendengar ucapan Pak Hanan. Oret-oretan yang kukerjakan di sela menginput data pagi tadi, ternyata disukai, bahkan dihargai. Aku tak bisa berkata-kata lagi. "Mbak Husna, apa saya salah bicara?"Kening Pak Hanan mengernyit melihat perubahan yang ia lihat. Aku jadi merasa bersalah. Dihargai seperti ini malah membuatku terharu hingga tanpa
"Kuingatkan kau anak muda. Kau bukan siapa-siapa di sini, selain sebagai karyawan yang digaji bulanan!" ia menggeram lagi."Baik, akan saya ingat. Apa ibu sudah selesai?"Ia malah memutar bola mata dan mencebik tak suka."Maaf, jika ibu sudah selesai, saya permisi. Semoga hari ibu menyenangkan."Kutepuk pundaknya perlahan, kemudian berlalu ke luar, menuju Sinta biasa menunggu jika kami pulang bareng."Hei, saya belum selesai!" Bu Misya masih mengejarku. Entah apa lagi yang ia inginkan. Aku tak merasa memiliki masalah dengannya. Dan kalau ini bersangkutan dengan Pak Hanan, aku tak memiliki hubungan selain sebagai atasan dan bawahan. Lalu, masalahnya apa coba. Aneh sekali.Lenganku kembali dicekal begitu Bu Misya mensejajarkan langkah denganku. Kuhentikan langkah. Kutatap lurus ke dalam matanya."Oke, sekarang katakan, apa yang ibu inginkan dari saya?" tanyaku begitu langkah kami sama-sama terhenti.Empat tahun aku kerja di sini, hampir tak pernah ada pembicaraan khusus, selain tentang
"Ini apa?" tanya ibu bingung saat kuselipkan amplop coklat di tangannya. Tinggal kami berdua di rumah, sementara Ayah sedang ikut kumpulan bapak-bapak di rumah tetangga."Ini buat ibu, diterima ya, Bu. Aku dapat rejeki tadi," ujarku dengan mengulas senyum."Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Coba ceritakan, bagaimana kamu bisa dapat uang sebanyak ini dalam sehari?" pinta ibu. Digenggamnya tanganku, serta diberikan tatapan hangat.Aku pun mulai bercerita tentang asal muasal uang tersebut. Ibu khusuk mendengarkan, sesekali mengangguk. Detik berikutnya, kulihat ibu menyeka sudut mata. Hal ini membuat aku merasa khawatir."Ibu, kenapa? Kok, nangis?""Oh, enggak, Ibu cuma kelilipan."Selalu begini, kalau sedang menyembunyikan tangisan. Kenapa lagi ibuku ini?"Yang bener? Itu, mata ibu berair begitu?" tanyaku penuh selidik. Kupindai wajah wanita yang melahirkanku. Sama
"Tuh, kan. Lihat itu, Bu, yang gayanya pendekar," ujarku dengan masih mengulum senyum."Iya dong, biar bisa jagain adik Mas yang cantik, sama ibu yang baik hati ini, iya kan, Bu?""Sudah-sudah, kalian ini, nggak di rumah, nggak di sini, ribut aja. Ini rumah sakit, kalau ribut di sini, nanti pasien yang lain bisa terganggu," ujar ibu melerai kami berdua yang berebut kata."Ya sudah, ayo, Dika mau pulang sekarang.""Lho, kok, pulang? Emang udah dapat ijin dari dokternya? Urusan administrasi gimana?" tanyaku beruntun. Bagaimana, sih, Mas Dika ini. Badan udah luka-luka begini main pulang aja."Tenang ya, adik Mas yang cantik, tadi barusan dokternya ke sini, sudah dikasih surat keterangan kalau Mas bisa rawat jalan. Administrasi juga sudah diurus sama perusahaan, jadi aman. Oke?""Alhamdulillah ... . Ya udah, ayok pulang. Mas, bisa jalan?" tanyaku ragu. Aku masih miris melihat kondisinya sekarang."Bisa dong. Tapi, kalau Dek
"Fiuh ... ! Selesai juga."Kuhembuskan napas lega saat kuselesaikan semua pekerjaan hari ini. Melihat jam dinding, sudah jam tujuh malam. Terlambat tiga jam dari jadwal pulang. Mana di luar hujan deras."Yah, masih ujan, ya? Nggak bisa pulang dong, kita," ujar Sinta."Kamu nggak bawa mantel?" tanyaku sambil membereskan meja."Bawa, sih, tapi, kamu gimana?" Sinta terlihat khawatir. Ia masih berdiri di belakang meja, terlihat sedang berpikir bagaimana caranya pulang di saat hujan deras seperti sekarang."Gampang kalau aku, mah. Udah, yuk, ke luar dulu aja," ajakku, menghampiri ia yang masih mematung di sana.Beriringan kami berdua ke luar ruangan. Di depan ruang loker kami berhenti, bersama banyaknya karyawan yang juga menunggu hujan reda.Akhirnya karena membludak, ruang paling dekat dengan ruang loker yang sudah ditutup, dibuka lagi."Wah, nggak bisa pulang kalian, ya?" sa