Rasanya sudah lama aku nggak tidur sama ibu. Kulihat ibu memindai wajahku, sepertinya sedang bertanya, kenapa tiba-tiba aku minta ditemani tidur. Detik berikutnya kulihat ibu tersenyum."Mau, Nak, ayo ibu temani. Mumpung kamu belum punya suami, iya, kan? Nanti kalau sudah bersuami, mana bisa tidur bareng ibu, hehe … .""Ibu ada-ada saja. Memangnya kalau sudah punya suami, kenapa nggak boleh tidur sama ibu? Husna kan tetep anak ibu?"Kuletakkan kepalaku di pangkuan ibu. Damai sekali rasanya di sini. Sehat-sehat ya, ibu, supaya aku bisa berbakti lebih lama lagi."Oh, iya, tentu saja karena kamu harus sama suami kamu. Kalau mau tidur sama ibu ya harus ijin dulu.""Gimana, apa anaknya Bu Ndari sudah menghubungi kamu?" tanya ibu setelah terdiam beberapa saat."Mm … sudah, Bu.""Jadi, gimana? Sudah kenalan?" tanya Ibu ingin tau."Sudah, Bu. Tapi, sudahlah, nanti saja ya, Husna nggak mau buru-buru. Husna masih senang b
."Aku nyari kamu ke mana-mana, Na. Ternyata kita malah ketemu di sini. Apa sudah lama kamu kerja di tempat Hanan?""Maafkan aku, Kak," tertunduk aku saat berkata. Rasa bersalah yang begitu besar menyelimuti perasaanku kali ini."Husna, bisakah, kita mulai dari awal lagi?"Kutelisik wajah pria di depanku. Ia terlihat lebih dewasa kini. Wajah itu kini terlihat bersinar cerah. Wajah dari pemilik badan tinggi tegap, yang pernah kukagumi pada masanya.Degup jantungku masih bertalu-talu, menghadapi ia yang pernah kutinggalkan demi sebuah perjodohan, yang akhirnya kubatalkan. "Maaf Kak, aku, masih butuh waktu untuk memulai. Aku terlalu terkejut dengan pertemuan kita yang tiba-tiba kali ini," ujarku kemudian.Belum ada juga niatku untuk menjalin hubungan dengan lelaki dalam waktu dekat ini. Termasuk dengan Kak Dirga sekali pun.Aku masih ingin menikmati masa-masa lajang. Bebas bergerak ke sana ke mari, mengumpulkan tabungan dan merancang masa depan.
Mas Dika tak lagi berangkat bekerja setelah kecelakaan yang menimpanya, demi menuruti permintaan ibu. Luka yang ada di wajah dan tangannya telah pulih, menyisakan bekas luka yang belum pudar.Ia memutuskan resign dari pekerjaannya sebagai tour guide. Padahal aku pengen banget kerja seperti Mas Dika, eh dia malah milih resign. Kini, ia justru membeli sebuah mobil bak terbuka dengan tabungan yang ia kumpulkan selama bekerja. Tak ia pedulikan komentar miring dari kiri kanan."Apaan, beli mobil masak kayak gitu, yang keren dong, yang ada ACnya! Alpard misalnya."Padahal kalau dipikir-pikir, mobil bak terbuka kan justru full AC. Niatnya saja buat kerja, bukan buat gaya."Anak muda kok di rumah saja, nambah-nambah jumlah pengangguran saja!"Ada saja yang berkomentar dan tak enak didengar. Tapi Mas Dika cuek aja. Justru aku yang gemas, tapi menanggapi juga malas. Apa bedanya sama mereka, kalau aku ikut menjawab cibiran yang dilontarkan?"Apa nggak sayang,
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, beradaptasi dengan cahaya lampu. Di mana aku? "Alhamdulillah, sudah bangun kamu, Dek," sapa Mas Dika, membuat aku mengalihkan pandang padanya."Mas, aku ada di mana?""Di sini, di rumah Pak Gani," jawab Mas Dika seraya tersenyum. "Bisa bangun? Yuk, sholat Maghrib dulu, ya, setelah itu kita makan," tambahnya lagi."Bisa, Mas."Oh, iya, baru teringat kalau tadi sepulang kerja aku dibawa ke sini oleh Mas Dika. Jika tak salah ingat, terakhir tadi aku sempat muntah. Apa itu penyebab badanku selemas ini?Aku berusaha bangun, tapi ternyata badanku terlalu lemah, hingga Mas Dika mengulurkan tangan membantuku duduk.Seorang wanita membantu aku ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan mengantar ke tempat sholat. Alhamdulillah aku merasa lebih baik sekarang. Gegas aku menyusul di mana Mas Dika berada, dengan ditemani oleh Mbak tadi."Mari, kita makan dulu, ya, ini sudah disiapkan sama i
."Jadi, saya dipe-cat, Pak?" tanyaku memastikan. Harap-harap cemas aku menunggu jawaban dari Pak Hanan yang masih anteng duduk di kursinya. Perasaan dibuang dan tak dibutuhkan, menyelinap begitu saja. Rasanya aku hilang harga diri jika sampai itu terjadi. Aku sudah sepenuh hati mengerjakan tugasku, memaksimalkan waktu untuk menyelesaikan setiap pekerjaan yang diberikan padaku. Tapi, kalau takdirku bekerja di sini hanya sampai hari ini, aku bisa apa selain menerima?"Tidak, Mbak Husna," Pak Hanan nampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.Kuhembuskan napas perlahan begitu mendengar jawaban Pak Hanan. Duh, lega rasanya mendengar kata tidak. Biar bagaimana pun, pabrik ini sudah seperti rumah kedua bagiku, meski banyak sekali cobaan akhir-akhir ini. Teman-teman yang baik selama bekerja di sini, sudah seperti keluarga bagiku. "Hanya saja, untuk sementara, Mbak Husna bisa ngadem dulu di rumah, atau mau liburan ke mana juga bisa. Mbak Husna bisa kan
Sinta tak jadi main ke rumah, sebab motor mau dipake sama adiknya. Baru ke luar bangunan pabrik sudah ditelponin, jadilah ia langsung tancap gas."Lagi ada kumpulan ibu-ibu ternyata, Dek," ujar Mas Dika begitu turun dari mobil.Benar juga. Banyak ibu-ibu pengajian di rumah. Suara ceramah, samar terdengar dari halaman. Biasanya kalau ada pengajian begini, ibu suka merepotkan diri sendiri, dengan membuat penganan buat suguhan. Tapi belakangan ini, mau juga beli jadi, setelah dibujuk-bujuk, supaya badan tak terlalu lelah. "Iya, Mas. Masuk aja, yuk," ajakku.Jadilah kami memutar, masuk lewat pintu belakang. Gegas aku membersihkan diri, kemudian bergabung dengan ibu yang duduk di dekat pintu ruang tamu. Mas Dika memilih duduk di teras belakang. Ibu meminta tolong untuk diambilkan kardus berisi kotak makanan yang akan dibagikan. Bersamaan dengan itu, sang ustadz membaca do'a karena acara segera berakhir. Kotak makanan segera dibagikan, satu persatu ibu-ibu penga
Kuayunkan kaki ini menuju penjual es cendol di depan pasar. Tak sampai sepuluh menit, aku telah sampai. Setelah memesan dua bungkus es cendol, aku bergabung dalam antrian. Menunggu pesanan selesai, netraku menyapu sepanjang jalan di depan pasar ini. Pandanganku terhenti pada seorang kakek yang duduk di trotoar. Ada banyak keripik singkong serta keripik pisang, beralas karung beras, berjejer rapi di depannya. Tempatnya juga panas, tak ada atap atau apa pun yang melindungi kepala dari teriknya panas matahari jam dua siang ini. Hanya bayangan dari pohon besar di belakangnya, itu pun tak mengarah ke tempat beliau duduk."Masih banyak sekali, apa jualannya belum laku?" batinku."Ini, Mbak, pesanannya sudah siap," ucapan penjual es cendol, membuat aku menoleh ke sumber suara. Kuulurkan selembar uang kertas berwarna ungu untuk membayar.Gegas aku mendekati kakek tersebut. Rasa iba kembali hadir, saat melihat sang kakek terlihat lesu. "Kakek, saya mau beli keripiknya, berapa satu bungkusnya,
"Coba tanya hati kamu, ia pasti tau, pada siapa dan di mana ia akan berlabuh."Seketika aku menegakkan kepala, kemudian bertanya pada hati, 'hei, hati, kamu maunya ke mana, sama siapa?'Sayangnya, hati tak juga mau menjawab pertanyaan tersebut. Kuambil sebungkus keripik pisang, kemudian membukanya dengan gunting. "Udah ya, Mas? Saya ambil, ya, berapa?" suara seseorang menyapa Mas Dika, seketika menghentikan tanya yang beredar di kepala."Iya silahkan, Mbak. Semua seratus lapan puluh juta, Mbak.""Oke. Nah, ini dia. Makasih, ya, Mas.""Sama-sama. Besok beli buah lagi, ya, biar sehat."Bisa aja Mas Dika promosi. Pinter kamu, Mas. Pembeli tadi malah tersenyum senang."Iya, besok kalau sudah habis saya pasti beli ke sini lagi," ucapnya, membuat aku tergelitik untuk mengarahkan netra ini pada pemilik suara. Baru beberapa detik, belum lagi puas mata ini memindai, ia segera berlalu dan menghilang di balik pintu mobil.