Share

Bab 2. Siapa yang Disebut Istri?

Semenjak itu, gerak gerik Mas Arga dan Cindi semakin mencurigakan. Sebelumnya aku tak pernah berpikiran aneh tentang mereka berdua. Tapi, semakin lama kedekatan Mas Arga dan Cindi tak selayaknya kakak adik. 

Cindi kerap kali bermanja dengan Mas Arga. Begitu pula sebaliknya. Aku yang jelas-jelas istri sahnya saja tidak pernah diperlakukan seperti oleh Mas Arga.

Suatu malam ketika Mas Arga tidur lagi bersamaku, aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.

"Mas ..." panggilku pada Ms Arga yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Hem," jawabnya singkat. 

Aku melihat Mas Arga sudah berganti baju dengan kaos oblong dan celana jeans rapi. Tak lupa Mas Arga menyemprotkan parfum kesukaannya di beberapa titik tubuhnya. Aku mengernyitkan kening dan melirik ke jam dinding yang tergantung di atas meja rias. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam.

"Rapi amat, Mas? Mau kemana?" Kuberanikan diri untuk bertanya.

"Mau pesta ulangtahun sama teman-temanku," jawab Mas Arga agak ketus.

"Aku ikut, ya, Mas!" Aku beranjak dari ranjang dan saat hendak membuka lemari, tangan Mas Arga mencekal kuat tanganku.

"Auw ... sakit, Mas!" pekikku karena cekalan tangan Mas Arga yang begitu kuat.

"Mau apa kamu? Siapa yang mengajakmu ikut? Malu aku ngajak kamu. Apa kata teman-temanku nanti jika aku mengajak kamu?" bentak Mas Arga.

"Kamu gak ngaca, Hah? Badan lebar begitu kok kepedean mau ikut acaraku segala. Gak mau aku! Aku mau ajak Cindi aja," lanjut Mas Arga.

"Cindi lagi Cindi lagi! Apa-apa selalu sama Cindi. Yang jadi istrimu ini aku atau Cindi, sih?" gerutuku sambil memukul-mukul lengan suamiku.

Mas Arga menepis keras tanganku. Karena kuatnya tepisan tangannya, aku hampir saja terjatuh. Beruntung aku masih bisa menyeimbangkan tubuhku. Jika aku terjatuh, entah apa yang akan terjadi dengan kandunganku.

Mas Arga pergi begitu saja meninggalkanku yang masih syok. Aku bisa mendengar suara Mas Arga memanggil adik iparku. Ternyata Mas Arga benar-benar mengajak Cindi untuk ikut serta dengannya.

Aku mengintip dari balik jendela ketika motor Mas Arga sudah dinyalakan. Dapat kulihat dengan jelas pemandangan yang tak pernah kusangka selama ini.

Cindi begitu mesranya memeluk Mas Arga dari belakang. Dan perasaanku tambah yakin kalau Mas Arga dengan Cindi ada sesuatu. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua?

****

Sepanjang malam aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Sampai pukul sebelas malam, Mas Arga dan juga Cindi belum juga pulang. Aku pun berinisiatif untuk menghubungi mereka berdua. Namun, sudah berulang kali kucoba menghubungi keduanya, tak ada satupun dari mereka yang mau menjawab teleponku.

Kemana lagi mereka ini? Hidup sama suami kok kayak gak punya suami! Tak henti-hentinya aku mengumpat karena kesal pada Mas Arga. Bisa-bisanya meninggalkan aku yang tengah mengandung sampai larut malam begini hanya untuk pesta saja.

Sembari menunggu mereka berdua pulang, aku bermain sosial media di ponsel untuk menghilangkan kebosenan. 

Mataku terpaku pada satu video yang dibagikan di salah satu platform media sosial berwarna biru. Dalam video itu ada seorang istri yang tengah melabrak suaminya karena ketahuan tengah berduaan dengan perempuan cantik di dalam mobil.

Astagfirullah! Ya Allah ... ada-ada saja jaman sekarang. Perempuannya juga mau-mau saja sama laki-laki yang sudah beristri. Miris sekali! 

Aku tak henti-hentinya bergumam sambil berdoa dalam hati agar selalu menjaga pernikahan yang saat ini tengah kujalani.

Pikiranku berhenti sejenak. Entah mengapa aku jadi memikirkan sikap Mas Arga pada Cindi belakangan ini. Sikap mereka yang menurutku aneh. Apa jangan-jangan?

Aah gak mungkin itu! Mas Arga dan Cindi, kan, kakak dan adik. Masak mereka ada main? Ada-ada saja aku ini. Tenang, La ... tenang! Aku berusaha menghibur diri sendiri. Walaupun perasaanku mengatakan yang berlawanan.

Satu jam sudah aku bermain ponsel. Mata ini belum juga mau terpejam. Apalagi Mas Arga dan Cindi belum pulang juga. Rasa penasaran yang tinggi menuntunku untuk memeriksa kamar Cindi.

Aku masuk ke kamar Cindi dengan sangat hati-hati. Beruntung kamarnya tidak dikunci. Biasanya memang Cindi selalu mengunci kamarnya kalau sedang keluar. Mungkin saja tadi Cindi buru-buru jadi tidak sempat menguncinya.

Kamar Cindi ini dulu adalah kamarku sewaktu orang tuaku masih hidup. Kamar ini pula yang dulunya jadi saksi bisu suka dukaku. Tak banyak yang berubah dari kamar ini. Hanya saja sekarang jadi lebih berantakan.

Cindi tak bisa merawat kamarnya dengan baik. Walaupun dia perempuan, tapi tak pernah mau membereskan kamarnya. Banyak sekali baju-baju kotor yang berserakan di dalam kamar.

Aku pun sampai heran dengan kelakuan adik iparku itu. Apa jadinya besok kalau dia punya suami? 

Mataku menyisir setiap sudut kamar Cindi ini. Tak ada yang aneh bagiku. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju meja rias yang terletak di sisi ranjang.

Ternyata kosmetik milik Cindi sangatlah mahal. Pantas saja uang suamiku habis karenanya. Hanya demi menuruti gengsinya, Mas Arga rela mengesampingkan kebutuhanku dan calon anaknya.

Entah apa yang sedang aku cari, akupun tak tahu. Tapi, ada dorongan besar yang menyuruhku untuk mengeledah meja rias itu.

Satu demi satu aku buka laci yang ada di sana. Hanya ada beberapa alat kosmetik dan juga rambut palsu milik Cindi. Lama sudah aku menggeledah kamar itu. Hingga akhirnya aku putus asa dan memutuskan untuk menyudahi mencarikan yang entah apa itu.

Mungkin memang hanya perasaanku saja yang terlalu berpikiran negatif pada mereka berdua. Aku harusnya lebih bisa memahami sikap mereka berdua. 

Huh ... baiklah, mulai saat ini aku harus membuang jauh perasaan-perasaan negatifku pada mereka. Sebelum Cindi dan Mas Arga pulang, aku harus membereskan semua kekacauan yang kubuat ini.

Satu demi satu, barang-barang Cindi kutata seperti semula, khususnya yang ada di meja rias. Ada beberapa buku juga di meja Cindi. Dan saat aku hendak berbalik, tidak sengaja aku menjatuhkan tumpukan buku-buku itu. Terlihat beberapa buku berserakan di lantai.

Tapi, ada satu buku yang membuat pandanganku tak berkedip. Buku itu berwarna merah muda dan seperti buku harian modelnya.

Kupungkut buku itu dan membaca sampul bukunya. Tertulis 'Untukmu Sang Pujaan Hatiku' pada sampul buku itu. Aku mengambil nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. 

Kutata hatiku sedemikian rupa untuk membuka lembaran pertama buku itu. Memang tak sepantasnya aku membuka buku milik Cindi tanpa izinnya. Tapi, rasa penasaran yang besar tentang hubungan suamiku dan adik iparku melebihi rasa takutku. 

Bismillahirrahmanirrahim! Aku membuka lembar pertama buku itu. Di lembar pertamanya, tertulis tahun 2015, dimana tahun itu adalah tahun pertemuanku pertama kali dengan Mas Arga.

Lembaran pertama tak ada kata-kata ataupun kalimat yang mengarah pada kecurigaanku. Aku bahkan bisa tersenyum kala isi curahan hati Cindi terdengar lucu. Ternyata anak itu ada juga sisi polosnya.

Lembaran demi lembaran aku buka. Hingga sampai aku membaca laki-laki idaman Cindi. Dalam buku itu, Cindi menuliskan sosok laki-laki yang kelak ingin dia jadikan pendamping adalah seperti Mas Arga. Kata Cindi, Mas Arga lebih dari kata sempurna dalam hidupnya.

Terdengar suara motor Mas Arga masuk ke halaman. Bergegas aku menutup buku harian Cindi dan langsung meletakkannya di tempat semula. 

Buru-buru aku keluar dari kamar Cindi dan masuk ke dalam kamarku sendiri. Aku pura-pura sudah terlelap ketika tawa mereka terdengar memasuki rumah.

Benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan mereka berdua. Mereka bersenang-senang bahkan ketika aku harus mati-matian bekerja untuk menutupi kebutuhan rumah ini.

"Iya kamu tenang aja. Sudah sana istirahat. Mas juga mau istirahat. Besok pagi Mas ada rapat penting di kantor." Sayup-sayup kudengar Mas Arga berbicara dengan Cindi.

Rapat di kantor? Bukannya Mas Arga hanya karyawan biasa, ya? Memangnya kalau karyawan biasa sekelas Mas Arga kadang juga melakukan rapat?

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalaku. Dan kesemuanya itu tak bisa kutanyakan langsung pada suamiku. Aku harus cari tahu semuanya! Ya, harus!

Suara pintu kamar dibuka bisa dengan jelas kudengar. Mas Arga rupanya sudah masuk ke dalam kamar. Dia mengambil pakaian yang ada di lemari, lalu keluar lagi dari kamar.

Kubuka mataku pelan. Kulihat disekeliling guna memastikan keberadaan Mas Arga. Rupanya Mas Arga hendak mandi. Malam-malam begini kenapa harus mandi segala?

Aku mendekat ke arah pintu kamar, ketika sayup-sayup kudengar Mas Arga tengah berbicara dengan seseorang.

"Jelas, dong! Santai saja. Besok kapan-kapan aku ajak istriku lagi." Ternyata Mas Arga tengah menerima telepon dari temannya. 

Deg! Tapi ucapan Mas Arga menjadi tanda tanya besar bagiku. Istriku lagi? Sejak kapan Mas Arga mengajakku bertemu dengan temannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status