Share

Bab 6. Musibah Lagi

Duniaku seakan runtuh ketika mendapati suamiku, Mas Arga digerebek oleh warga. Menurut Pak RT, Mas Arga, Cindi dan satu temannya hendak berbuat m*sum.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Ibarat itulah yang kini cocok disematkan padaku. Bagaimana tidak, ternyata Cindi yang selama ini aku anggap sebagai adik iparku tak lebih dari parasit dalam rumah tanggaku.

Aku baru tahu kalau ternyata Cindi bukan adik kandung dari Mas Arga. Bahkan mereka tak ada hubungan darah sedikitpun. Pantas saja aku merasakan keanehan saat mereka berdekatan.

Amarahku kembali meledak ketika Mas Arga menuduhku kalau aku hamil bukan dengannya. Entah s*tan apa yang merasuki pikiran suamiku itu. 

Malam itu perdebatan panjang antara kami terjadi, ditambah lagi dengan warga yang sudah tidak mau menerima kehadiran mereka di kampung ini. 

"Ceraikan aku sekarang juga, Mas! Tak sudi aku hidup dengan laki-laki penipu kayak kamu!" bentakku tepat dihadapan Mas Arga.

Aku sempat menjambak rambut Cindi karena marah dia telah menuduhku yang tidak-tidak. Mas Arga sama sekali tak membelakum Bahkan dia dengan tegas memilih Cindi.

Beruntung ini adalah rumahku. Jadi, aku hanya perlu mengusir kedua parasit itu dari rumahku. Saat aku minta Mas Arga untuk menceraikanku, dia menolak.

"Tidak akan! Enak aja! Nanti kamu bisa-bisa bahagia lagi setelah aku ceraikan," tolak Mas Arga dengan tegas.

"Astagfirullah al 'adzim!" Warga yang ada di sana serentak mengucap istigfar. 

Mereka sama denganku yang geram pada Mas Arga. Sudah terbukti bersalah tapi masih berlagak sombong.

"Angkat kaki dari rumahku sekarang juga! Tak sudi aku menampung kalian berdua," bentakku.

Cindi sama halnya dengan Mas Arga. Dia sama sekali merasa tak bersalah. Lain halnya dengan perempuan yang satunya. Sejak tadi aku lihat dia hanya menundukkan kepalanya.

"Gak masalah! Emangnya aku juga mau tinggal di rumahmu yang jelek ini," timpal Cindi yang membuat semua orang geleng-geleng kepala.

Aku hanya bisa mengelus dada dan beristigfar dalam hati. Dan mulai malam itu, aku menjadi sedikit tenang. Walaupun aku harus berjuang sendirian. Tapi aku tak patah semangat, karena semua ini demi anak yang ada dalam kandunganku.

***

Selang satu hari setelah kepergian Mas Arga dan juga Cindi dari rumahku, musibah lagi menimpaku. Kali ini dari sumber pendapatanku selama ini. Laundry milik Ibu Tuti mengalami kebakaran. Semua peralatan dan perlengkapan laundry ludes dimakan api.

Musibah itu otomatis membuatku kehilangan pekerjaan. Ibu Tuti tidak ada keinginan untuk memulai kembali usaha itu, karena semua harta bendanya habis dilalap api.

Aku kebingungan mencari pekerjaan lain. Apalagi usia kandunganku yang semakin membesar. Sudah kucoba kebeberapa warung makan, tapi semua menolak dengan alasan yang sama yaitu kondisiku yang sedang hamil.

Saat aku beristirahat di pinggir jalan, aku melihat anak kecil yang menjajakan aneka cemilan di jalanan. Dari sana terbesit pemikiran untuk melakukan pekerjaan yang sama.

Aku bergegas kembali pulang dan menghitung jumlah uang yang selama ini aku kumpulkan. Totalnya ada satu juta dua puluh ribu. 

Jumlah yang sangat minim untukku yang akan mempunyai anak. Dengan modal nekad, aku ambil dua ratus ribu uang tabungan itu untuk dibelikan cemilan satu plastik besar.

Sesampainya di rumah, aku bagi cemilan itu ke dalam bungkusan-bungkusan kecil yang aku rekatkan dengan api lilin.

Bismillahirrahmanirrahim! Doakan Ibu, ya, Nak! Ibu akan berjuang untukmu. Aku bicara sambil mengelus perutku. Sepertinya calon anakku mengerti. Dia menendang perutku ketika aku mengusapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status