Share

Bab 5. Diusir dari Rumah

"Mas Arga bagaimana, sih, istri lgi hamil bukannya di manja tapi malah diselingkuhi?" sindir Ibu Nuri sembari menatapku tajam. 

Ibu Nuri ini memang salah satu ibu-ibu yang suka ceplas-ceplos di kampung istriku. Maka dari itu, aku selalu menghindar ketika lewat depan kumpulan ibu-ibu yang tengah merumpi.

"Hamil juga bukan anakku ini," celetukku pelan. Tapi sepertinya Nirmala mendengarku. Dia menatapku penuh dengan amarah dan juga tangannya mengepal kuat.

"Apa kamu bilang, Mas? Astagfirullah! Jadi selama ini kamu tidak peduli saat aku hamil karena mengira ini bukan anakmu, begitu?" tanya Nirmala padaku. Suara tercekat seperti orang menahan tangis.

"Memang nyatanya begitu. Cindi saja sering lihat kamu bersama dengan laki-laki," jawabku sewot. Jelas aku tak mau kalah dengannya. Tentu saja aku lebih mempercayai perkataan Cindi daripada Nirmala. 

"Allahu Akbar! Tega kamu, ya, Mas! Kalau memang begitu, mana buktinya?" Nirmala berkata setengah berteriak di depan wajahku. 

Ketika mata kami bertemu, aku buru-buru memalingkan pandangan. Nirmala kemudian berjalan ke arah Cindi yang ada di sampingku. Dan hal tak terduga dia lakukan pada Cindi.

"Fitnah apa yang kamu katakan pada suamiku, Hah?!" teriaknya sambil menjambak rambut Cindi.

"Aw sakit br*ngsek!" umpat Cindi. Tangannya menggenggam tangan Nirmala yang menjambaknya. Cindi berusaha melepaskan tangan Nirmala dari rambutnya.

Aku yang melihatnya langsung membantu Cindi. Dibantu juga oleh Pak RT dan ibu-ibu yang lain.

"Sudah, Mbak Nirmala, sabar! Lepaskan, ya!" ujar Ibu RT dengan lembut. 

"Tapi dia sudah memfitnahku, Bu. Selama ini aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Tetapi ternyata begini kelakuannya dibelakangku," isak Nirmala dengan tangan masih menjambak Cindi.

"Sabar, Mbak! Biar Allah yang membalas fitnahan yang menimpa Mbak Nirmala. Kalau Mbak Nirmala seperti ini, orang malah akan berpikir kalau Mbak Nirmala memang seperti itu." Ibu RT masih terus berusaha membuat Nirmala melepaskan tangan Nirmala.

Memang Nirmala ini perempuan yang tak tahu sopan santun dan tak tahu malu. Mungkin memang didikan orang tuanya dulu seperti itu. Salahku juga mau menikah dengan perempuan macam Nirmala ini. Huft!

***

Aku di sidang sampai malam. Dan keputusannya, warga kampung mengusir aku dan juga Cindi dari kampung ini. Tentu saja aku kesal. Nirmala sama sekali tak membelaku. Katanya aku suaminya. Tapi kenapa di saat aku diusir dia tak membelaku?

Diusir dari rumah Nirmala? Tentu saja tak masalah bagiku dan juga Cindi. Kami malah senang bisa bebas dari perempuan mata duitan itu.

Malamnya aku dan juga Cindi berkemas memasukkan pakaian ke dalam koper. Nirmala bahkan tak mau masuk ke dalam kamar sebelum kami keluar dari rumahnya.

"Ingat, Nirmala ... aku akan membalas perlakuanmu ini suatu saat nanti!" kataku sebelum pergi meninggalkan rumah Nirmala.

"Ingat itu, Mbak Nirmala Sayang!" tambah Cindi dengan melotot ke arah Nirmala.

Aku dan Cindi pergi menggunakan taksi online yang sudah dipesan sebelumnya. Di tengah perjalanan, aku menelepon Tante Ria agar bersedia menyediakan aku tempat tinggal sementara dengan Cindi. 

Tante Ria kenal dengan Cindi juga sebagai adikku. Bisa jadi masalah kalau tahu aku dan Cindi bukan adik kandung. Untung saja Tante Ria percaya dan bersedia memberikan kami tempat tinggal sementara di apartemennya yang tidak terpakai.

Aku memberikan alamat apartemen Tante Ria pada sopir taksi itu. Dan kami mulai berjalan ke sana. Aku dan Cindi kagum dengan apartemen milik Tante Ria yang begitu mewah. Kalau seperti ini, aku pun tak menyesal keluar dari rumah Nirmala. Biarkan saja aku gantung statusnya Nirmala itu. Janda bukan tapi juga tak ada suami. Ha ... ha ... ha ...

"Sementara kita begini, ya, Cin. Tapi kamu harus ingat, kalau di depan Tante Ria kamu itu adikku. Oke?" Aku mengingatkan Cindi agar tidak keceplosan saat bersama Tante Ria.

"Kalau sampai Tante Ria tahu, kita bisa kehilangan semua fasilitas ini," tambahku lagi.

"Beres!" jawab Cindi sambil mengacungkan jempolnya padaku.

Dan di sinilah kami tinggal sekarang. Tanpa perlu repot-repot lagi sembunyi-sembunyi, aku dan Cindi bebas melakukan apa saja. 

Sesekali Tante Ria datang dan mengajakku keluar. Aku pun dengan senang hati menurutinya. Tante Ria salah satu dari sekian banyak tante yang aku temani yang sangat royal padaku.

Bahkan sekarang aku diberikan mobil agar memudahkan mobilitasku ketika Tante Ria menelepon. Hatiku tentu saja sangat senang. Aku bisa bergaya mewah tanpa harus mengeluarkan uang.

Suatu hari, aku bertemu dengan Nirmala di jalan. Dia terlihat sedang menjajakkan makanan ringan. Perutnya semakin membuncit dan badannya juga semakin bertambah lebar. Tampilannya? Jangan ditanya, karena yang pasti dia itu bertambah kucel dan dekil.

Aku sengaja memacu mobilku dengan kecepatan yang agak kencang. Kebetulan di sisi kanan Nirmala berjalan, ada kubangan air yang akan kugunakan untuk mengerjai Nirmala.

"Yes, berhasil!" teriakku dari dalam mobil. Air kotor itu berhasil mengenai hampir seluruh tubuh Nirmala. 

Aku yakin semua dagangannya juga terkena percikan air. Biar tahu rasa Nirmala itu! Belum tahu dia sedang berurusan dengan siapa! Aku menghentikkan mobil sejenak dan membuka kaca spion. 

"Ups, maaf sengaja!" Aku meledek Nirmala dengan tertawa kecil.

Nirmala tampak cuek ketika aku ledek. Mungkin dia tak berani menatapku karena malu. Jelas, lah! Pasti semenjak aku pergi, hidupnya semakin susah.

Aku masih melihat Nirmala dari kaca spion ketika seorang laki-laki tampan menghampiri dan membantunya. Apa jangan-jangan itu yang sering dibilang Cindi, ya? Ah tapi itu sudah bukan urusanku lagi.

Aku segera pergi dari sana karena tak mau terkena masalah gara-gara Nirmala. Biarkan saja dia menanggung akibat dari perlakuannya padaku. Ini belum seberapa Nirmala. Aku akan lebih membuatmu menderita! Akan aku pastikan itu. 

"Cin ... Cindi!" Aku berteriak memanggil Cindi ketika sudah sampai di apartemen.

Tapi, berulang kali aku memanggil, Cindi tak sekalipun menjawab. Aku mencari Cindi ke kamar tetapi tidak ada. Bahkan seluruh apartemen sudah aku telusuri juga. Tapi keberadaan Cindi belum jelas. 

Karena lelah mencari, aku mencoba menghubungi ponselnya. Dipanggilan kesepuluh, Cindi baru mau mengangkat teleponnya.

"Kamu dimana, Cin?" tanyaku.

"Lagi pesta! Sebentar lagi aku pulang," jawab Cindi dengan sedikit berteriak. Aku juga mendengar musik dug*m saat Cindi bicara. Bahkan Cindi langsung mematikan teleponnya tanpa memberikan aku kesempatan untuk bicara.

Sembari menunggu Cindi pulang, aku memesan makanan lewat aplikasi online. Aku masih terus berpikir bagaimana cara untuk membuat hidup Nirmala lebih sengasara dari ini. 

Mungkin besok aku akan mulai mengintai gerak-gerik Nirmala agar aku tahu langkah yang akan aku ambil. Ya, benar ... itu yang harus aku lakukan.

Saat tengah asyik menyantap makanan yang aku pesan, ada orang yang membunyikan bel di luar. Tapi, saat aku keluar, aku tidak melihat siapapun di sana.

Ketika hendak menutup pintu, aku melihat secarik kertas yang jatuh tepat di depan pintu kamarku. Karena penasaran, aku memungut dan membuka kertas itu. 

Mataku membulat sempurna ketika membaca kalimat yang ada di secarik kertas itu. Kalimat apakah itu? Dan siapa pengirimnya? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status