"Mas Arga bagaimana, sih, istri lgi hamil bukannya di manja tapi malah diselingkuhi?" sindir Ibu Nuri sembari menatapku tajam.
Ibu Nuri ini memang salah satu ibu-ibu yang suka ceplas-ceplos di kampung istriku. Maka dari itu, aku selalu menghindar ketika lewat depan kumpulan ibu-ibu yang tengah merumpi.
"Hamil juga bukan anakku ini," celetukku pelan. Tapi sepertinya Nirmala mendengarku. Dia menatapku penuh dengan amarah dan juga tangannya mengepal kuat.
"Apa kamu bilang, Mas? Astagfirullah! Jadi selama ini kamu tidak peduli saat aku hamil karena mengira ini bukan anakmu, begitu?" tanya Nirmala padaku. Suara tercekat seperti orang menahan tangis.
"Memang nyatanya begitu. Cindi saja sering lihat kamu bersama dengan laki-laki," jawabku sewot. Jelas aku tak mau kalah dengannya. Tentu saja aku lebih mempercayai perkataan Cindi daripada Nirmala.
"Allahu Akbar! Tega kamu, ya, Mas! Kalau memang begitu, mana buktinya?" Nirmala berkata setengah berteriak di depan wajahku.
Ketika mata kami bertemu, aku buru-buru memalingkan pandangan. Nirmala kemudian berjalan ke arah Cindi yang ada di sampingku. Dan hal tak terduga dia lakukan pada Cindi.
"Fitnah apa yang kamu katakan pada suamiku, Hah?!" teriaknya sambil menjambak rambut Cindi.
"Aw sakit br*ngsek!" umpat Cindi. Tangannya menggenggam tangan Nirmala yang menjambaknya. Cindi berusaha melepaskan tangan Nirmala dari rambutnya.
Aku yang melihatnya langsung membantu Cindi. Dibantu juga oleh Pak RT dan ibu-ibu yang lain.
"Sudah, Mbak Nirmala, sabar! Lepaskan, ya!" ujar Ibu RT dengan lembut.
"Tapi dia sudah memfitnahku, Bu. Selama ini aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Tetapi ternyata begini kelakuannya dibelakangku," isak Nirmala dengan tangan masih menjambak Cindi.
"Sabar, Mbak! Biar Allah yang membalas fitnahan yang menimpa Mbak Nirmala. Kalau Mbak Nirmala seperti ini, orang malah akan berpikir kalau Mbak Nirmala memang seperti itu." Ibu RT masih terus berusaha membuat Nirmala melepaskan tangan Nirmala.
Memang Nirmala ini perempuan yang tak tahu sopan santun dan tak tahu malu. Mungkin memang didikan orang tuanya dulu seperti itu. Salahku juga mau menikah dengan perempuan macam Nirmala ini. Huft!
***
Aku di sidang sampai malam. Dan keputusannya, warga kampung mengusir aku dan juga Cindi dari kampung ini. Tentu saja aku kesal. Nirmala sama sekali tak membelaku. Katanya aku suaminya. Tapi kenapa di saat aku diusir dia tak membelaku?
Diusir dari rumah Nirmala? Tentu saja tak masalah bagiku dan juga Cindi. Kami malah senang bisa bebas dari perempuan mata duitan itu.
Malamnya aku dan juga Cindi berkemas memasukkan pakaian ke dalam koper. Nirmala bahkan tak mau masuk ke dalam kamar sebelum kami keluar dari rumahnya.
"Ingat, Nirmala ... aku akan membalas perlakuanmu ini suatu saat nanti!" kataku sebelum pergi meninggalkan rumah Nirmala.
"Ingat itu, Mbak Nirmala Sayang!" tambah Cindi dengan melotot ke arah Nirmala.
Aku dan Cindi pergi menggunakan taksi online yang sudah dipesan sebelumnya. Di tengah perjalanan, aku menelepon Tante Ria agar bersedia menyediakan aku tempat tinggal sementara dengan Cindi.
Tante Ria kenal dengan Cindi juga sebagai adikku. Bisa jadi masalah kalau tahu aku dan Cindi bukan adik kandung. Untung saja Tante Ria percaya dan bersedia memberikan kami tempat tinggal sementara di apartemennya yang tidak terpakai.
Aku memberikan alamat apartemen Tante Ria pada sopir taksi itu. Dan kami mulai berjalan ke sana. Aku dan Cindi kagum dengan apartemen milik Tante Ria yang begitu mewah. Kalau seperti ini, aku pun tak menyesal keluar dari rumah Nirmala. Biarkan saja aku gantung statusnya Nirmala itu. Janda bukan tapi juga tak ada suami. Ha ... ha ... ha ...
"Sementara kita begini, ya, Cin. Tapi kamu harus ingat, kalau di depan Tante Ria kamu itu adikku. Oke?" Aku mengingatkan Cindi agar tidak keceplosan saat bersama Tante Ria.
"Kalau sampai Tante Ria tahu, kita bisa kehilangan semua fasilitas ini," tambahku lagi.
"Beres!" jawab Cindi sambil mengacungkan jempolnya padaku.
Dan di sinilah kami tinggal sekarang. Tanpa perlu repot-repot lagi sembunyi-sembunyi, aku dan Cindi bebas melakukan apa saja.
Sesekali Tante Ria datang dan mengajakku keluar. Aku pun dengan senang hati menurutinya. Tante Ria salah satu dari sekian banyak tante yang aku temani yang sangat royal padaku.
Bahkan sekarang aku diberikan mobil agar memudahkan mobilitasku ketika Tante Ria menelepon. Hatiku tentu saja sangat senang. Aku bisa bergaya mewah tanpa harus mengeluarkan uang.
Suatu hari, aku bertemu dengan Nirmala di jalan. Dia terlihat sedang menjajakkan makanan ringan. Perutnya semakin membuncit dan badannya juga semakin bertambah lebar. Tampilannya? Jangan ditanya, karena yang pasti dia itu bertambah kucel dan dekil.
Aku sengaja memacu mobilku dengan kecepatan yang agak kencang. Kebetulan di sisi kanan Nirmala berjalan, ada kubangan air yang akan kugunakan untuk mengerjai Nirmala.
"Yes, berhasil!" teriakku dari dalam mobil. Air kotor itu berhasil mengenai hampir seluruh tubuh Nirmala.
Aku yakin semua dagangannya juga terkena percikan air. Biar tahu rasa Nirmala itu! Belum tahu dia sedang berurusan dengan siapa! Aku menghentikkan mobil sejenak dan membuka kaca spion.
"Ups, maaf sengaja!" Aku meledek Nirmala dengan tertawa kecil.
Nirmala tampak cuek ketika aku ledek. Mungkin dia tak berani menatapku karena malu. Jelas, lah! Pasti semenjak aku pergi, hidupnya semakin susah.
Aku masih melihat Nirmala dari kaca spion ketika seorang laki-laki tampan menghampiri dan membantunya. Apa jangan-jangan itu yang sering dibilang Cindi, ya? Ah tapi itu sudah bukan urusanku lagi.
Aku segera pergi dari sana karena tak mau terkena masalah gara-gara Nirmala. Biarkan saja dia menanggung akibat dari perlakuannya padaku. Ini belum seberapa Nirmala. Aku akan lebih membuatmu menderita! Akan aku pastikan itu.
"Cin ... Cindi!" Aku berteriak memanggil Cindi ketika sudah sampai di apartemen.
Tapi, berulang kali aku memanggil, Cindi tak sekalipun menjawab. Aku mencari Cindi ke kamar tetapi tidak ada. Bahkan seluruh apartemen sudah aku telusuri juga. Tapi keberadaan Cindi belum jelas.
Karena lelah mencari, aku mencoba menghubungi ponselnya. Dipanggilan kesepuluh, Cindi baru mau mengangkat teleponnya.
"Kamu dimana, Cin?" tanyaku.
"Lagi pesta! Sebentar lagi aku pulang," jawab Cindi dengan sedikit berteriak. Aku juga mendengar musik dug*m saat Cindi bicara. Bahkan Cindi langsung mematikan teleponnya tanpa memberikan aku kesempatan untuk bicara.
Sembari menunggu Cindi pulang, aku memesan makanan lewat aplikasi online. Aku masih terus berpikir bagaimana cara untuk membuat hidup Nirmala lebih sengasara dari ini.
Mungkin besok aku akan mulai mengintai gerak-gerik Nirmala agar aku tahu langkah yang akan aku ambil. Ya, benar ... itu yang harus aku lakukan.
Saat tengah asyik menyantap makanan yang aku pesan, ada orang yang membunyikan bel di luar. Tapi, saat aku keluar, aku tidak melihat siapapun di sana.
Ketika hendak menutup pintu, aku melihat secarik kertas yang jatuh tepat di depan pintu kamarku. Karena penasaran, aku memungut dan membuka kertas itu.
Mataku membulat sempurna ketika membaca kalimat yang ada di secarik kertas itu. Kalimat apakah itu? Dan siapa pengirimnya?
Duniaku seakan runtuh ketika mendapati suamiku, Mas Arga digerebek oleh warga. Menurut Pak RT, Mas Arga, Cindi dan satu temannya hendak berbuat m*sum.Sudah jatuh tertimpa tangga. Ibarat itulah yang kini cocok disematkan padaku. Bagaimana tidak, ternyata Cindi yang selama ini aku anggap sebagai adik iparku tak lebih dari parasit dalam rumah tanggaku.Aku baru tahu kalau ternyata Cindi bukan adik kandung dari Mas Arga. Bahkan mereka tak ada hubungan darah sedikitpun. Pantas saja aku merasakan keanehan saat mereka berdekatan.Amarahku kembali meledak ketika Mas Arga menuduhku kalau aku hamil bukan dengannya. Entah s*tan apa yang merasuki pikiran suamiku itu. Malam itu perdebatan panjang antara kami terjadi, ditambah lagi dengan warga yang sudah tidak mau menerima kehadiran mereka di kampung ini. "Ceraikan aku sekarang juga, Mas! Tak sudi aku hidup dengan laki-laki penipu kayak kamu!" bentakku tepat dihadapan Mas Arga.Aku sempat menjambak rambut Cindi karena marah dia telah menuduhku
Aku berangkat pagi untuk menjajakan cemilan ke sekolah-sekolah. Setelah dari sekolah, aku berkeliling karena daganganku masih lumayan banyak. Hari pertama aku berjualan, aku mendapatkan musibah. Ada sebuah mobil yang entah disengaja atau tidak, berjalan kencang hingga membuat air yang ada dikubangan mengenaiku dan daganganku. Aku menangis memunguti dagangan yang bercecer terkena air. Tapi aku tak boleh patah semangat. Mungkin memang Allah tengah mengujiku dengan cara seperti ini."Kenapa, Mbak? Mari saya bantu!" ucap laki-laki tampan yang turun dari mobil.Belum pernah aku menemukan orang yang naik mobil rela menepikan mobilnya untuk menolong orang miskin sepertiku."Oh tidak apa-apa, Mas. Itu tadi ada mobil lewat kencang. Jadinya seperti ini," jawabku.Laki-laki itu membantu memunguti daganganku. Bahkan dia juga membantuku berdiri lagi karena aku kesusahan dengan perut yang membesar."Terima kasih, ya, Mas, sudah mau membantuku. Kalau begitu saya permisi dulu. Mari!" pamitku.Tapi,
Aku teringat sertifikat rumah peninggalan orang tuaku yang ada di dalam lemari. Barang belanjaan aku letakkan disembarang tempat. Dan aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kondisi kamar tidak jauh berbeda dengan ruangan depan. Mataku fokus tertuju pada lemari baju yang sudah terbuka. Aku mendekat dan seketika lututku terasa lemas. Yang aku takutkan terjadi. Sertifikat rumah milikku hilang.Aku menangis sekencang-kencang karena musibah bertubi-tubi datang padaku. Karena tangisanku itu, para tetangga berdatangan untuk melihatku."Astagfirullah al 'adzim, Mbak Nirmala! Ada apa ini?" seru Ibu RT ketika melihat kondisi rumahku yang berantakan."Mbak ... Mbak Nirmala dimana?" Beliau memanggil namaku karena aku berada di dalam kamar.Suaraku tercekat. Bahkan untuk berdiri saja rasanya tidak mampu. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Ibu RT dan juga yang lainnya masuk ke dalam kamarku. Tatapan mereka iba melihat kondisiku."Ada apa, Mbak? Siapa yang melakukannya?" tanya Ibu RT dengan tatapan
Tanpa diduga, Mas Raga berjalan ke arahku. Seperti kemarin, Mas Raga dengan sopan menyapaku yang masih duduk di depan tempatku berjualan."Apa kabar, Mbak?" sapanya terlebih dahulu. Senyum mengembang dari wajah tampannya. Aku yakin perempuan manapun akan tergila-gila pada ketampanan Mas Raga."Alhamdulillah baik. Terima kasih kemarin sudah membantuku, Mas." Aku tak berhenti mengucapkan terima kasih atas kebaikannya."Sama-sama, Mbak. Jualannya sudah habis, Mbak?" tanyanya lagi."Alhamdulillah sudah," jawabku singkat.Kami tak banyak mengobrol karena Mas Raga harus kembali bekerja. Sebelum pergi, Mas Raga meminta nomor kontakku jika sewaktu-waktu dia hendak memesan camilan.Awalnya aku ragu memberikan nomorku padanya. Tapi, karena ini juga berkaitan dengan daganganku, maka aku memberikan Mas Raga nomorku.***Aku pulang ke rumah lebih awal dari hari kemarin. Kesempatan itu aku gunakan untuk memeriksakan kandunganku di bidan di daerah sekitar tempat tinggalku. Selama ini aku baru seka
Terlihat dari cctv rumah Pak Narno kalau ada satu orang yang gelagatnya mencurigakan. Dia mondar-mandir di depan rumah Pak Narno yang juga tepat di depan rumahku. Berulang kali dia menengok ke kanan dan ke kiri. Hingga akhirnya dia mengarah ke rumahku.Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena cctv itu tak bisa menjangkau di halaman rumahku yang agak masuk ke dalam."Mbak, Bapak curiga kalau orang yang mondar-mandir itu yang masuk ke rumah Mbak Nirmala," kata Pak RT dengan wajah serius.Pak RT di tempatku tinggal memang sangat mengayomi warganya. Beliau tak segan-segan membantu warganya yang butuh bantuan. Seperti aku sekarang ini. Padahal aku awalnya sudah putus asa hendak berbuat apa. "Kita laporkan saja ke pihak yang berwajib, ya, Mbak!" Ibu RT mendukung suaminya untuk membuat warga kampung menjadi aman. Beliau juga meyakinkanku untuk mau membuat laporan."Tapi aku takut, Bu. Nanti kalau orangnya macam-macam sama saya gimana, Bu?" ucapku.Memang aku takut jika yang mencuri
Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbak Nurma berjalan seorang diri dengan mengenakan seragam polwan. Aku cukup terkejut ketika melihat Mbak Nurma ternyata seorang polisi wanita. Sebab tampilan Mbak Nurma yang kulihat sebelumnya terlihat biasa saja."Mbak Nurma seorang polisi?" tanyaku sedikit keras. Mbak Nurma tertawa mendengar pertanyaanku."Biasa aja, Mbak. He ... he ... he ..." balasnya. "Iya, Mbak. Ngomong-ngomong, kenapa Mbak Nirmala ada di sini? Ada urusan apa, Mbak?" tanya Mbak Nurma.Kebetulan Mbak Nurma bertanya, jadi aku bisa meminta saran kepadanya. Sebelum bercerita, Mbak Nurma mengajakku mencari tempat ngobrol yang lebih enak. Akhirnya aku menceritakan semua masalah yang menimpaku tempo hari. "Apa ada yang Mbak Nirmala curigai?" Pertanyaan Mbak Nurma membuatku berpikir kembali."Coba Mbak Nirmala ingat-ingat, apa ada orang yang tidak suka dengan Mbak Nirmala?" tanyanya lagi.Deg! Seketika aku teringat akan Cindi dan juga Mas Arga. Tapi, apa mungkin mereka? Apa ini term
Ada secarik kertas yang diletakkan di bawah pintu apartemen. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana. Karena penasaran, aku memungut kertas itu dan membawa isinya. Betapa terkejutnya aku ketika melihat kertas amplop yang di dalamnya ada foto-fotoku bersama dengan beberapa langgananku. "JANGAN MACAM-MACAM KAMU SAMA AKU! KALAU TIDAK ... KAMU AKAN RASAKAN AKIBATNYA ARGA!"Bunyi kalimat dalam kertas itu yang membuat Arga terkejut. Matanya bahkan hampir keluar saat membacanya. Siapa yang berani mengancamku begini? Dan dari mana ia tahu kalau aku di sini sekarang. Mengapa seolah dia tahu aku? Kalau Nirmala jelas gak mungkin! Mana berani perempuan s*alan itu mengancamku?Banyak sekali pertanyaan yang ada diot*kku. Aku bahkan tak bisa berpikir jernih sekarang ini. Aku kembali lagi masuk ke dalam. Jujur saja, untuk mengabaikan ancaman itu aku tidak bisa. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang.Untuk membuang rasa khawatirku, aku berselancar ke dunia maya. Kebiasa
Sore itu aku ke rumah Tante Ria. Kebetulan anak menantunya ada acara syukuran tujuh bulanan. Anak-anak Tante Ria mengenalku sebagai kolega mamanya. Jadi, tak akan ada uang curiga dengan keberadaan di sana."Kamu mau ikut, Cin?" tawarku pada Cindi yang masih murung di dalam kamar. Dia menggeleng pelan."Benar tidak mau ikut?" tanyaku sekali lagi.Setelah aku desak, akhirnya Cindi mau ikut juga. Bukannya apa-apa, aku takut Cindi akan berbuat yang aneh-aneh saat aku tak di rumah. Jadi, lebih baik dia ikut bersamaku. Lagi pula di sana juga bisa bersenang-senang.Rumah Tante Ria sudah dipadati tamu undangan. Tak tanggung-tanggung, dia mengundang lebih dari seribu orang. Terdiri dari kerabat, teman dan juga kolega-koleganya. Jangan dibayangkan rumah Tante Ria besarnya seperti apa. Yang jelas pintu gerbang menuju pintu utama rumah saja jaraknya lumayan jauh. Tante Ria benar-benar 'crazy rich' kota ini. "Jangan cemberut lagi kayak gitu, ah! Gak enak dilihat orang," tegurku pada Cindi yang m