Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbak Nurma berjalan seorang diri dengan mengenakan seragam polwan. Aku cukup terkejut ketika melihat Mbak Nurma ternyata seorang polisi wanita. Sebab tampilan Mbak Nurma yang kulihat sebelumnya terlihat biasa saja."Mbak Nurma seorang polisi?" tanyaku sedikit keras. Mbak Nurma tertawa mendengar pertanyaanku."Biasa aja, Mbak. He ... he ... he ..." balasnya. "Iya, Mbak. Ngomong-ngomong, kenapa Mbak Nirmala ada di sini? Ada urusan apa, Mbak?" tanya Mbak Nurma.Kebetulan Mbak Nurma bertanya, jadi aku bisa meminta saran kepadanya. Sebelum bercerita, Mbak Nurma mengajakku mencari tempat ngobrol yang lebih enak. Akhirnya aku menceritakan semua masalah yang menimpaku tempo hari. "Apa ada yang Mbak Nirmala curigai?" Pertanyaan Mbak Nurma membuatku berpikir kembali."Coba Mbak Nirmala ingat-ingat, apa ada orang yang tidak suka dengan Mbak Nirmala?" tanyanya lagi.Deg! Seketika aku teringat akan Cindi dan juga Mas Arga. Tapi, apa mungkin mereka? Apa ini term
Ada secarik kertas yang diletakkan di bawah pintu apartemen. Aku menengok ke kanan dan ke kiri. Tapi, tidak ada siapa-siapa di sana. Karena penasaran, aku memungut kertas itu dan membawa isinya. Betapa terkejutnya aku ketika melihat kertas amplop yang di dalamnya ada foto-fotoku bersama dengan beberapa langgananku. "JANGAN MACAM-MACAM KAMU SAMA AKU! KALAU TIDAK ... KAMU AKAN RASAKAN AKIBATNYA ARGA!"Bunyi kalimat dalam kertas itu yang membuat Arga terkejut. Matanya bahkan hampir keluar saat membacanya. Siapa yang berani mengancamku begini? Dan dari mana ia tahu kalau aku di sini sekarang. Mengapa seolah dia tahu aku? Kalau Nirmala jelas gak mungkin! Mana berani perempuan s*alan itu mengancamku?Banyak sekali pertanyaan yang ada diot*kku. Aku bahkan tak bisa berpikir jernih sekarang ini. Aku kembali lagi masuk ke dalam. Jujur saja, untuk mengabaikan ancaman itu aku tidak bisa. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang.Untuk membuang rasa khawatirku, aku berselancar ke dunia maya. Kebiasa
Sore itu aku ke rumah Tante Ria. Kebetulan anak menantunya ada acara syukuran tujuh bulanan. Anak-anak Tante Ria mengenalku sebagai kolega mamanya. Jadi, tak akan ada uang curiga dengan keberadaan di sana."Kamu mau ikut, Cin?" tawarku pada Cindi yang masih murung di dalam kamar. Dia menggeleng pelan."Benar tidak mau ikut?" tanyaku sekali lagi.Setelah aku desak, akhirnya Cindi mau ikut juga. Bukannya apa-apa, aku takut Cindi akan berbuat yang aneh-aneh saat aku tak di rumah. Jadi, lebih baik dia ikut bersamaku. Lagi pula di sana juga bisa bersenang-senang.Rumah Tante Ria sudah dipadati tamu undangan. Tak tanggung-tanggung, dia mengundang lebih dari seribu orang. Terdiri dari kerabat, teman dan juga kolega-koleganya. Jangan dibayangkan rumah Tante Ria besarnya seperti apa. Yang jelas pintu gerbang menuju pintu utama rumah saja jaraknya lumayan jauh. Tante Ria benar-benar 'crazy rich' kota ini. "Jangan cemberut lagi kayak gitu, ah! Gak enak dilihat orang," tegurku pada Cindi yang m
Aku terkejut ketika melihat Mas Arga ada di acara Mbak Nurma. Sejak kapan Mas Arga kenal Mbak Nurma? Atau dia tamu Mas Raga? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bersamaan ketika Mas Arga mendekat.Aku tak melihat Cindi bersama dengannya kali ini. Dia menghampirku dengan wajah menahan amarah. Ketika dekat, Mas Arga langsung menarikku tanpa mempedulikan keadaanku yang tengah hamil.Kalau bukan karena undangan Mbak Nurma, aku pasti tidak akan datang kemari. Aku dan Mbak Nurma sudah sering berkomunikasi dan berdiskusi soal kehamilan. Dan sejak saat itulah kami menjadi akrab. Hingga saat Mbak Nurma mengadakan acara tujuh bulanan, aku diundang untuk datang.Aku baru tahu kalau mertua Mbak Nurma termasuk jajaran orang kaya di kotaku. Acara tujuh bulanan Mbak Nurma melebihi acara pernikahanku dulu. Acara ini sangatlah mewah dengan hidangan-hidangan mewah pula.Orang tua Mas Raga bernama Tante Ria. Tante Ria ini adalah single mom dengan gaya sosialita yang tinggi. Aku sedikit merasa aneh ketika p
Sepeninggalnya Dokter Zaki, tinggallah kami bertiga. Mas Raga duduk di sofa ruangan itu dan memainkan ponselnya. Sedangkan Mbak Nurma memilih duduk di dekatku dan mengajakku mengobrol."Mbak, aku kok dipilihkan kamar yang bagus seperti ini. Nanti aku gak bisa membayarnya, Mbak." Aku sedikit memprotes keputusan Mbak Nurma memilihkanku kamar kelas nomor satu."Mbak Nirmala gak usah khawatir. Yang penting sekarang Mbak Nirmala dan calon anak Mbak tidak apa-apa. Mbak gak usah memikirkan biayanya, ya!" ucap Mbak Nurma menenangkanku."Ya Allah, Mbak. Kenapa Mbak Nurma begitu baik padaku?" ucapku yang mulai sesenggukan."Eh gak boleh nangis! Ibu hamil itu harus selalu bahagia. Anggap saja ini memang rejeki kamu, Mbak," respon Mbak Nurma. Aku pun mengangguk karena tak tahu harus bilang apa lagi.***Tiga hari setelah dirawat, akhirnya aku bisa pulang juga. Mbak Nurma dan Mas Raga juga yang mengantarku sampai di rumah. Saat sampai di rumah, Mbak Nurma terkejut melihat kaca jendela yang pecah k
Namaku Cindi Purnamasari. Aku anak tunggal dari orang tua yang sudah tidak lengkap lagi. Ayahku meninggal di saat usiaku masih dua tahun. Jadi, aku tidak pernah merasakan cinta dan kasih sayang seorang ayah.Ibuku bekerja mati-matian demi hidup kami berdua. Hingga akhirnya Ibu bertemu dengan Om Ridwan, ayah Mas Arga. Bersama Om Ridwan, aku merasakan kasih sayang yang sangat aku rindukan. Apalagi Om Ridwan selalu royal kepadaku dan juga Ibuku.Apapun yang aku minta, pasti Om Ridwan akan memberikannya. Hingga saat Ibu meminta izinku untuk menikah dengan Om Ridwan. Tentu saja aku langsung setuju. Selain Om Ridwan baik padaku, aku juga sudah akrab dengan Mas Arga anaknya.Hari bahagia Ibu dan Om Ridwan tinggal menghitung hari. Kami berempat pergi mengendari mobil milik Om Ridwan. Om Ridwan memang terpaksa orang yang berada saat itu.Naas, mobil yang kami tumpangi kecelakaan dan terguling hingga beberapa kali. Aku dan Mas Arga beruntung karena masih selamat. Tapi, orang tua kami meninggal
Perlu diketahui, Mas Arga sebenarnya bekerja sebagai sopir lepas sebuah rental. Tapi, semenjak gaya hidup kami glamor, Mas Arga menjelma menjadi simpanan tante-tante yang rindu akan belaian. Salah satunya adalah Tante Ria.Awalnya aku keberatan dengan pekerjaan Mas Arga itu. Tapi setelah menerima uang yang banyak dari hasil kerjanya itu, aku mendukungnya. Asalkan dia tetap memprioritaskan dirinya untukku.Tak jarang kami juga bermain bertiga dengan temanku yang bernama Eva. Suatu hari, aku mengajak Mas Arga bermain dengan Eva di rumah Mbak Nirmala.Apesnya kami! Saat itu warga menggerebek kami dan juga menginterogasi kami. Mbak Nirmala pun ikut murka pada kami. Hingga akhirnya tragedi pengusiran dari rumah Mbak Nirmala terjadi.***Awalnya aku kira kami akan menjadi gemb*l lagi di jalanan. Tapi ternyata Mas Arga memang cerdas. Mas Arga memanfaatkan Tante Ria agar diberikan tempat tinggal.Benar saja! Kami diberikan kebebasan untuk tinggal di apartemennya yang mewah. Dan Mas Arga selal
Bukan tanpa alasan aku mendesak Mas Arga untuk segera menikahiku. Selain untuk status, aku baru tahu ternyata aku hamil. Memang ini kecerobohanku. Aku lupa meminta pil KB saat aku berhubungan dengan Mas Arga. Tapi, Aku tak mau menanggung aib ini sendirian. Mas Arga harus ikut menanggungnya.Setelah menemukan kertas berisi ancaman itu, aku selalu bertanya pada Mas Arga dari siapa itu. Tapi, Mas Arga pun juga tidak tahu itu dari siapa. Saat ini memang aku belum memberitahu Mas Arga soal kehamilanku ini. Aku masih menunggu waktu yang tepat."Apa itu dari Mbak Nirmala, Mas?" Aku menebak Mbak Nirmala karena dia satu-satunya orang yang aku tahu tengah bermasalah dengan Mas Arga."Gak mungkin lah dia tahu aku sama kamu di sini! Pikir dong!" balas Mas Arga sedikit membentakku.Baru kali ini aku mendapat bentakan dari Mas Arga. Sakit rasanya hatiku saat ini. Aku pun memilih untuk masuk kamar dan menangis seorang diri. Selang sepuluh menit, Mas Arga mengetuk pintu kamarku."Cin ... buka pintuny