Share

Bab 3. Digerebek Warga

Saat aku terbangun di pagi hari, aku melihat Mas Arga masih tertidur disampingku. Aku bangun dengan sangat pelan agar Mas Arga tak terbangun. 

Aku masih memikirkan buku harian Cindi yang belum selesai kubaca semalam. Belum lagi dengan kata-kata Mas Arga saat menerima telepon dari temannya.

Arrghhh! Kenapa pikiranku jadi aneh-aneh begini? Aku merutuki diriku sendiri dengan pemikiran-pemikiran yang tak masuk akal itu.

Seperti biasa, setiap pagi aku berbelanja sayuran di tukang sayur yang kebetulan mangkal di gang yang tak jauh dari rumahku.

Sudah banyak ibu-ibu yang berkerubung di sekitar abang-abang sayur. Maklumlah ibu-ibu kalau beli sayur sekalian ngeghibah. He ... he ... he ...

"Eh Mbak Nirmala," sapa Ibu Nuri dengan senyuman yang tak bisa kuartikan.

"Pagi, Bu Nuri. Belanja apa ini, Bu?" tanyaku basa-basi. 

Ibu-ibu yang lain tengah sibuk memilih sayuran yang hendak dibeli. Ada juga diantara mereka yang berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan tentang diriku. Yang jelas kalau sudah para ibu-ibu yang berbicara, pasti itu tidak menyenangkan topiknya.

"Eh, Mbak, adik iparmu itu kok lengket banget, sih, sama suamimu?" tanya Ibu Nuri tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.

Benar, kan! Pasti ibu-ibu ini sedang membicarakan tentang aku. Terbukti dengan pertanyaan Ibu Nuri barusan.

"Namanya juga kakak adik, Bu," jawabku sekenanya. 

"Kakak adik kok sikapnya kayak gitu. Iya, kan, ibu-ibu?" Ibu Nuri menyindirku dengan tersenyum sinis pada ibu-ibu.

"Iya, lho, Mbak Nirmala. Sekarang kudu hati-hati. Apalagi kemarin pas Mbak Nirmala menikah, kan, keluarga dari Mas Arga gak datang. Jangan-jangan dia bukan adik ipar Mbak Nirmala lagi," sambung ibu-ibu yang lain.

Deg! Jantungku seketika berhenti ketika mendengar ucapan ibu itu. Memang kuakui kalau aku tidak begitu mengenal dekat keluarga Mas Arga.

Mas Arga hanya mengenalkan Cindi sebagai adiknya karena kedua orang tua Mas Arga sudah meninggal. Kata Mas Arga, keluarganya yang lain ada di luar kota dan keadaannya tidak memungkinkan jika mereka datang ke pernikahan kami karena faktor ekonomi.

"Hush! Gak boleh bicara sembarangan ibu-ibu," nasehat Ibu RT yang kebetulan ikut berbelanja di sana.

Aku pun diam tak bisa menjawab apa-apa, karena yang dikatakan ibu-ibu tadi, aku juga merasakannya saat ini. Ada yang aneh dengan hubungan Mas Arga dan Cindi.

"Berapa semuanya, Bang?" tanyaku pada tukang sayur. 

"Tiga puluh ribu, Bu," jawabnya.

"Ini, Bang!" Aku memberikan uang pas kepada tukang sayur itu. Aku sudah ingin cepat-cepat pulang demi menghindari pertanyaan-pertanyaan lain dari ibu-ibu.

"Saya permisi dulu, ya, Bu. Mari semuanya," pamitku sopan pada sekumpulan ibu-ibu.

"Ingat kata-kata Ibu, Mbak Nirmala. Kamu harus selidiki suami dan iparmu itu," teriak Ibu Nuri saat aku sudah berjalan menjauh.

***

Selama perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya memikirkan kata ibu-ibu tadi. Bahkan sampai-sampai aku salah memasukkan bumbu ke dalam masakanku.

Duh, aku ini kenapa, sih? Fokus, Nirmala ... fokus! Aku menghela nafas panjang agar dadanya yang sesak agak sedikit lega.

Setelah dirasa baikan, aku melanjutkan membuat sarapan lagi dan memperbaiki rasa masakan yang sebelumnya aku salah memasukkan bumbu.

Selesai memasak, aku belum melihat Mas Arga maupun Cindi keluar dari kamar. Padahal Mas Arga sedang tidak libur kerja. Kalau Cindi gak usah ditanya lagi. Hari-hari sebelumnya memang dia seperti itu.

"Mas! Mas Arga, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh suamiku agar mau membuka matanya.

"Apa, sih, kamu?!" gerutu Mas Arga sambil bergeser tempat karena menghindariku.

"Sudah jam berapa ini, Mas! Nanti kami terlambat ke pabrik," kataku sambil melipat selimut yang kugunakan semalam.

Mas Arga tak merespon perkataanku karena dia memejamkan matanya kembali. Aku yang melihatnya hanya bisa mengelus dada.

"Jangan salahkan Nirmala kalau sampai Mas terlambat! Nirmala juga harus berangkat kerja ke tempat Bu Tuti lebih awal, Mas." Aku tak berhebti bicara agar Mas Arga mau bangun.

Ya, karena hari ini kerjaan di laundry Ibu Tuti agak banyak, jadi aku harus berangkat lebih awal agar semua bisa selesai tepat waktu sesuai jadwal.

"Punya istri, kok, sukanya ganggu suami sedang istirahat!" gerutu Mas Arga sambil beranjak dari tempat tidur.

"Mending istrinya cantik dan sexy. Lha ini? Kayak gajah bengkak!" sambungnya lagi.

Ya Allah ... astagfirullah! Sabar Nirmala, sabar! Aku menguatkan diri sendiri sambil beberes kamar tidur.

Setelah selesai, aku berniat untuk mandi. Tapi pemandangan apa yang aku lihat? Mas Arga kembali tidur di sofa tempat tidur. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh.

Tak kuhiraukan lagi suamiku itu. Aku harus berangkat jam setengah delapan pagi. Lebih baik aku bersiap saja daripada ikutan emosi karena kelakuan Mas Arga.

Sampai aku selesai mandi dan sarapan, Mas Arga belum juga bangun dari tidurnya. Aku pun juga sudah tak peduli dan memilih untuk berangkat kerja.

Ibu Tuti, pemilik laundry tempatku bekerja ini hanyalah pendatang di kampungku. Dia menyewa sebuah rumah yang tak jauh dari rumahku. 

Jika dibilang pekerjaanku berat, ya memang berat. Dari pagi sampai sore aku harus menyetrika berkilo-kilo pakaian. Posisiku kalau setrika harus berdiri karena setrikanya saja berat. Kalau duduk, maka hasilnya tidak akan maksimal.

Tapi Alhamdulillah Ibu Tuti juga mempekerjakan satu lagi karyawan. Sehingga aku tidak keteteran dan bisa pulang tidak terlalu sore. Apalagi sekarang aku sedang hamil.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Bu," ucapku pada Bu Tuti yang memberikan kami para karyawan sembako.

"Iya, sama-sama. Ini rejeki kalian. Saya juga terima kasih karena kalian sudah membantu usaha saya," jawab Bu Tuti.

Tentu saja ini menambah semangat untukku. Mendapatkan bos yang super baik kepada karyawannya. Kalaupun kami melakukan kesalahan, Ibu Tuti selalu menasehati kami dengan sabar dan lemah lembut.

Kerja di laundry ini bayarannya per kilo baju yang kusetrika. Rata-rata dibayar seribu dua ratus sampai seribu lima ratus rupiah setiap kilonya. 

Kalau sehari aku bisa menyelesaikan minimal tiga puluh kilo, maka tiap minggu aku bisa mendapat uang dua ratus sampai tiga ratus ribu rupiah. Dan dari uang itu aku sisihkan seratus ribu untuk biaya persalinan serta kebutuhan anakku kelak.

Tapi, kalau aku sedang capek, dua puluh kilo yang bisa kukerjakan saja aku sudah bersyukur. Mengingat keadaanku yang tengah berbadan dua.

Ketika aku tengah asyik membungkus pakaian konsumen, ada yang memanggilku dari luar. Suaranya kencang dan juga terdengar panik.

Ibu Tuti dan aku pun bergegas keluar. Ternyata Ibu Nuri yang tengah meneriakiku. Wajah Ibu Nuri tegang dan seperti ketakutan.

"La! Nirmala! Ayo buruan kamu pulang!" ajak Ibu Nuri sembari menarik tanganku. 

"Ada apa, Bu? Nirmala sedang kerja, Bu," jawabku. Ibu Nuri terlihat menghentikan langkahnya ketika aku menjawab. Lalu, Ibu Nuri mendekati Ibu Tuti.

"Bu ... izinkan Nirmala pulang sekarang juga, ya? Ada hal yang sangat penting yang harus Nirmala selesaikan," kata Ibu Nuri memintakan izin pada Ibu Tuti.

Sekilas Ibu Tuti memandangku dan kembali lagi memandang Ibu Nuri. 

"Tolong, Bu ... ini penting!" Ibu Nuri menangkupkan kedua tangannya di depan Ibu Tuti.

Aku yang melihatnya pun tak bisa berkata-kata karena memang tidak tahu Ibu Nuri hendak membawaku kemana.

"Baiklah. Aku izinkan Nirmala pulang sekarang juga," jawab Ibu Tuti yang pasrah karena melihat wajah memelas Ibu Nuri.

"Terima kasih, Bu. Terima kasih," ucap Ibu Nuri sambil menjabat tangan Ibu Tuti.

"Ayo, La! Ibu Tuti sudah mengizinkan," ajaknya lagi.

"Sebentar, Bu ... Nirmala mau ambil dompet dulu di dalam." Ibu Nuri mengangguk dan menungguku di luar.

Sebenarnya diperjalanan pulang aku hendak bertanya pada Ibu Nuri. Tapi melihatnya sedang buru-buru, aku urungkan niatku itu.

Saat sudah dekat dengan rumahku, aku melihat rumahku sudah dikerubungi banyak orang. Ibu-ibu, bapak-bapak dan juga anak-anak semua ada di sana.

"Ada apa ini?" seruku. Ibu Nuri hanya menolehku tanpa mau menjawab pertanyaanku.

Aku pun mempercepat langkah agar bisa segera sampai di rumah. Dan ketika aku sampai di halaman, banyak pasang mata yang menatapku sendu. Hatiku semakin tidak enak dibuatnya.

Dan ketika aku masuk ke dalam rumah, betapa terkejutnya aku ketika ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status