Share

Aku Bukan Budak (Iparku Ternyata Selingkuhan Suamiku)
Aku Bukan Budak (Iparku Ternyata Selingkuhan Suamiku)
Penulis: flam_boyan

Bab 1. Gelagat Mencurigakan

"Ini uang untuk satu bulan!" ucap Mas Arga sambil melempar uang kertas berwarna merah sebanyak lima lembar ke kasur di dalam kamar.

Hari ini memang Mas Arga gajian. Dan selalu sama jumlah uang yang dia berikan padaku. Aku memang tidak pernah tahu berapa gaji suamiku di pabrik konveksi di kotaku. Tapi, selama ini Mas Arga selalu mengeluhkan gajinya yang tak seberapa habis hanya untuk keperluan rumah.

Di rumah peninggalan orang tuaku ini, aku dan suamiku tinggal bersama dengan adik Mas Arga, Cindi. Cindi memang kebetulan ikut Mas Arga karena kedua orang tua Mas Arga sudah meninggal. Kami berdua memang sama-sama anak yatim piatu. 

Sebenarnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Hanya saja kehidupan Cindi selalu serba mewah. Makan pun harus ada ayam atau daging. Dengan uang lima ratus ribu satu bulan, aku harus memutar otak mencari tambahannya.

Aku memungut uang yang bercecar di kasur. Lalu kusimpan dalam dompet. Saat aku keluar dan melewati kamar Cindi, aku mendengar pembicaraan Mas Arga dan Cindi.

Pintu kamar Cindi yang terbuka sedikit tak aku sia-siakan. Dari celah itu aku bisa melihat Mas Arga dan Cindi sedang duduk bersebelahan di ranjang. Cindi memegang uang yang bisa kupastikan itu tidaklah sedikit.

"Wah, terima kasih, Mas. Nanti kalau sudah habis, Cindi minta lagi, ya, Mas," ucap adik iparku dengan senyum yang mengembang.

Ucapan adik iparku barusan membuatku bertanya-tanya, berapa uang yang diberikan suamiku padanya?

"Gampang itu. Jangankan dua juta, kalau adik Mas ini minta sepuluh juta pasti Mas kasih," jawab Mas Arga dengan mencubit hidung mancung Cindi.

"Dua juta?" kataku dengan suara pelan.

Mas Arga memberi uang dua juta pada Cindi. Sedangkan denganku hanya lima ratus ribu?! Hebat sekali kamu, Mas! 

"Tapi ingat lho, ya, jangan sampai Mbakmu tahu soal ini. Soalnya Mas gak pernah ngaku berapa gaji Mas ke Mbak iparmu," sambung Mas Arga yang membuatku semakin mengangga.

"Beres, Mas!" jawab Cindi dengan mengacungkan kedua jempolnya.

Oh ... jadi selama ini kamu seperti itu, Mas? Selama ini aku tidak protes karena mengira gajimu tak seberapa. Tapi ternyata ...? Aku kamu bohongi! Sebelum Mas Arga tahu kalau aku menguping, lebih baik aku lekas pergi dari sini saja. 

*****

Namaku Nirmala. Aku menikah dengan Mas Arga kurang lebih satu tahun yang lalu. Dan saat ini aku tengah mengandung buah cinta kami. Usia kandunganku sudah empat bulan.

Jangankan untuk menabung biaya persalinan, uang makan saja aku harus kadang berhutang pada warung tetangga. Uang yang Mas Arga berikan tidaklah cukup untuk makan kami bertiga selama satu bulan. Belum lagi kalau aku harus periksa kandungan. 

Aku masih menunjukkan sikap biasa ketika Mas Arga dan Cindi menghampiriku saat menonton televisi. Terlihat wajah mereka sangat bahagia. Entahlah! Setelah tahu Mas Arga membohongiku, aku sedikit kesal dibuatnya.

"La, buatkan aku kopi!" pintanya dengan nada tinggi. Seperti itulah Mas Arga ketika bicara padaku. Selalu saja dengan nada tinggi. Berbeda sekali ketika berbicara dengan Cindi tadi. 

Dulu aku pikir memang karakter Mas Arga seperti itu. Tapi sekarang aku baru sadar kalau Mas Arga seperti itu hanya padaku saja.

"Hei! Disuruh kok malah bengong!" bentak Mas Arga tepat disampingku. Hanya kulirik saja sekilas dia. Lalu aku pergi ke dapur untuk membuatkannya kopi. Itu kulakukan dengan terpaksa.

Belum saatnya aku bicara, karena aku masih ingin tahu kebohongan apa lagi yang suami dan iparku sembunyikan dariku.

Saat aku kembali ke ruang televisi, mereka berdua langsung terdiam. Padahal sebelumnya aku mendengar mereka tertawa bersama. Seketika hatiku makin bertanya-tanya. Ada apa ini?

Tanpa kata, aku meletakan satu gelas kopi di depan meja. Lalu aku pergi ke dalam kamar. 

"Jadi istri kok gak ada sopan-sopannya!" sindir Cindi yang dapat dengan jelas aku dengar.

Tak kuhiraukan sindirian Cindi. Hatiku saat ini masih kesal dengan kelakuan Mas Arga. Bukan aku tidak kerja. Aku memang kerja karena terdesak kebutuhan.

Hanya sebagai pegawai setrika di sebuah laundry yang tak jauh dari rumahku. Tapi aku tetap bersyukur. Walaupun gajiku tidak banyak, setidaknya aku bisa menutupi hutang-hutang di warung dan sedikit demi sedikit menabung. Mas Arga tak tahu kalau aku menyisihkan uang dari hasil kerjaku. 

Satu jam setelah aku masuk kamar Mas Arga tak kunjung menyusulku. Bertambah kesal hatiku karena suamiku tak peka dengan sikapku tadi. Penasaran dengan apa yang dilakukan kakak beradik itu, aku memutuskan untuk melihatnya.

Sampai aku mengelilingi rumah, Mas Arga dan juga Cindi tak kutemukan. Motor Mas Arga juga tidak ada. Kemana mereka malam-malam begini? Benar-benar mereka tak pernah menganggapku ada.

Aku menikah dengan Mas Arga karena kukira Mas Arga itu baik dan penyayang. Tapi kenyataannya sifat asli Mas Arga ketahuan setelah aku menikah denganku. Kemana, sih, mereka? Sudah dua jam mereka pergi tapi belum kembali.

Saat aku hendak masuk ke dalam rumah, aku mendengar suara motor milik Mas Arga. Benar saja, Mas Arga dan Cindi pulang. Mereka pulang dengan membawa banyak tentangan di tangan. 

"Dari mana saja, Mas? Pergi kok gak pamitan?" Aku langsung memberondong pertanyaan pada Mas Arga ketika dia ingin masuk rumah.

"Kamu ini gimana, sih, La? Suami pulang itu harusnya disambut dengan suka cita bukan dengan pertanyaan yang gak penting begitu," balas Mar Arga sewot.

"Gak penting gimana, Mas? Kalian lho pergi seenak jidatnya aja! Pamitan gitu kek sama aku! Memangnya kalian di sini cuma berdua aja?" balasku tak kalah sewot.

"Dahlah, aku males debat sama kamu! Aku mau istirahat, capek!" Mas Arga langsung masuk ke dalam kamar dan menutupku.

Kulihat Cindi sedang asyik membuka satu per satu plastik yang tadi dibawanya bersama dengan Mas Arga. Ada begitu banyak pakaian yang Cindi beli. Tak hanya itu, dia juga membeli kosmetik yang harganya tidak murah.

"Lagi banyak uang, Cin?" tanyaku yang ikut duduk di dekatnya. Dia tak menjawab pertanyaan dan tetap asyik melihat-lihat pakaian yang baru saja dia beli. Aku diacuhkan.

Aku tahu kalau dari dulu Cindi tidak menyukaiku dan aku tidak tahu alasannya. Kalau Mas Arga pergi kerja, dia selalu di dalam kamar dan tak pernah membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah. 

Setiap kali aku mengeluh pada Mas Arga, aku pasti selalu kena omelannya. Kata Mas Arga Cindi tidak boleh kerja kasar karena nanti akan merusak kulitnya yang putih. 

Aku hanya memperhatikan Cindi yang membawa semua belanjaannya ke dalam kamar. Setelah dia menutup kamar, aku menyusul Mas Arga yang sedang bermain ponsel di ranjang.

"Mas, uang bulanannya ditambahi sedikit kenapa? Masak Cindi Mas belanjain segitu banyak tapi uang untuk makan cuma segini-gini aja," protesku sembari duduk didekat Mas Arga.

Seolah tak mendengarku, Mas Arga masih tetap sibuk dengan ponselnya. Karena aku kesal, aku sahut ponsel itu dari Mas Arga.

"Nirmala! Apa-apaan, kamu?" teriak Mas Arga tidak terima. Dia menyahut kembali ponselnya dari tanganku.

"Makanya Mas itu dengerin kalau aku ngomong," kataku dengan mata menatap Mas Arga tajam.

"Kamu, kan, juga punya uang! Pakai uangmu itu untuk tambah-tambah uang dapur. Jangan hanya bisanya merongrong suami aja kamu kerjaannya!" sahut Mas Arga yang tetap mengotak-atik ponselnya.

"Merongrong kamu bilang, Mas? Kamu bisa membelikan Cindi segitu banyaknya barang. Sedangkan aku hanya minta uang sedikit untuk periksa ke puskesmas aja gak dikasih! Begitu kamu bilang merongrong, Mas?" Emosiku naik ketika Mas Arga menuduhku yang tidak-tidak.

"Dia itu adikku. Jadi wajar kalau aku membiayainya." jawab Mas Arga tanpa rasa bersalah.

"Lalu aku siapa, Mas? Aku ini istrimu, Mas! Dan ini juga calon anakmu!" ucapku sambil menunjuk perutku yang mulai kelihatan membuncit.

"Itu urusanmu! Dari dulu sudah aku bilang kamu jangan hamil dulu. Sekarang repot, kan? Uang saja gak punya, sok-sokan pakai hamil segala!" keluh Mas Arga. 

"Jadi, jangan salahkan aku kalau aku gak mau keluar uang untukmu dan calon anakmu itu," sambungnya lagi.

"Astagfirullah hal 'adzim, Mas! Nyebut, Mas ... nyebut! Ini juga anakmu, Mas. Tanggung jawabmu! Bisa-bisanya kamu ngomong seperti itu." Mataku mulai mengembun ketika Mas Arga menyalahkanku karena calon anak kami ini.

Tak pernah terpikirkan olehku kalau Mas Arga tak suka dengan kehamilanku ini. Aku berpikir selama ini Mas Arga acuh karena memang sifatnya seperti itu. Ternyata aku salah! Mas Arga seperti itu karena tidak suka dengan kehamilanku ini.

Ya Allah ....

Mas Arga yang kesal keluar begitu saja dari kamar tanpa mempedulikanku yang kini tengah menangis. Aku menangis sambil mengelus perutku sendiri. 

Karena kelelahan menangis, akupun terlelap hingga pagi datang. Aku terbangun karena suara pintu kamar yang dibuka kasar oleh Mas Arga.

"Bagus, ya, kamu jam segini belum bangun! Begitu kok protes aku kasih uang lebih ke Cindi. Cuih!" Mas Arga meludahiku yang masih belum bangun dari tempat tidur. Ternyata malam tadi Mas Arga tidak tidur di kamar bersamaku.

Aku yang malas berdebat karena masih pagi, memilih untuk langsung mandi dan menyiapkan sarapan. Walaupun aku masih kesal dan sakit hati dengan suamiku, aku masih menjalankan peranku sebagai istri.

Sarapan sudah siap di meja. Cindi yang baru saja keluar dari kamar pun tampak aneh dari biasanya. Jalannya sedikit kesusahan dan wajahnya pun tampak seperti orang yang kelelahan.

"Kamu kenapa, Cin?" tanyaku yang masih ada rasa khawatir pada iparku itu. Dia menoleh ke arahku sebentar lalu mengambil air putih dan meminumnya.

"Gak apa-apa," jawabnya singkat.

Aku pun tak menghiraukan lagi keanehan Cindi itu. Kami bertiga sarapan seperti biasa. Dan saat aku tengah mencuci piring, aku mendengar Cindi tengah berbisik-bisik dengan suamiku. Aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka karena memang suara Cindi terlalu pelan.

Sesekali mereka melirik ke arahku yang masih sibuk menata piring di rak. Aku bisa menangkap itu karena pantulan cermin dari rak. Ada apa dengan mereka?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status