Semua Bab Nafkah Istri Pertama: Bab 1 - Bab 10
54 Bab
Bab 1
Bab 1       Maaf, sayang. Bulan ini Abi cuma bisa ngasih segini ke kamu. Maaf ya. Soalnya dalam kondisi hamil, Naura membutuhkan lebih banyak uang. Ami tidak marah kan?" Arsyad menyodorkan sebuah amplop coklat tipis kepada Ika istri pertamanya.     "Ya terimakasih, Bi. Masih bersyukur di kasih rezeki." Ika menerima amplop itu.      "Abi ke kamar mandi dulu ya?"      "Iya, Bi. Sementara Ami siapkan untuk makan malam.      Ya hari adalah jadwal Arsyad berkunjung kerumah tersebut, setelah menikahi Naura dua bulan yang lalu. Sesuai komitmen Arsyad, dua minggu bersama Naura, maka ia akan kembali ke rumah yang di diami Ika selama dua minggu juga.       Sepeninggal suaminya, Ika membuka amplop yang tadi di berikan Arsyad pa
Baca selengkapnya
Bab 2
Bab 2         Ada rasa getir menusuk jantung, ketika Ika mendengar ucapan pedas dari bibir mertuanya.      "Sekali lagi ibu tegaskan, nikahilah Naura."      Arsyad terdiam cukup lama.      "Baiklah, Bu. Sepertinya ucapan ibu perlu di pertimbangkan. Dan juga aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus meminta pendapat Ika."      Akhirnya terdengar juga lelaki itu bicara.      "Pertimbangkan dengan baik, Arsyad. Jika kamu menikahi Naura,  maka secara tidak langsung kamu memperbaiki perekonomian keluarga. Dengan gelar pendidikannya, tidaklah sulit bagi Naura untuk menemukan pekerjaan yang layak. Tidak seperti Ika yang bergantung sepenuhnya pada gajimu."  
Baca selengkapnya
Bab 3
Bab 3       "Ami, kenapa menangis? Apa yang sedang Ami pikirkan? Ayo ceritakan sama Abi."      Sentuhan tangan Arsyad di pundaknya dari belakang, sontak membuat Ika terkejut. Dia merasa lalai, mengapa tangisannya sampai bisa menarik perhatian sang suami.      Apa yang harus ia katakan? Ika bingung, haruskah ia menyampaikan keluh kesahnya? Tapi tidak, wanita itu masih bisa mengontrol hatinya. Walaupun beban batin yang ia pikul begitu berat, tapi setidaknya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu.      "Tidak, Bi. Ami tidak apa-apa?"       "Tapi Ami menangis? Jangan bohong, Mi."      "Tidak, Ami baik-baik saja. Ini tadi mata Ami kelilipan. Makanya terasa sedikit perih."  
Baca selengkapnya
Bab 4
Bab 4     "Apa? aku dan Naura? Kenapa harus kami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini?     Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu  mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura.     "Kenapa harus aku sama Naura, Bu?" Ulang Arsyad.     "Tidak usah banyak tanya. Cukup kamu ikuti saja. Kau tahu? ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jadi tidak usah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak."     Arsyad sadar betul, setiap Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ibunya. Dia tidak meragukan itu. Demi men
Baca selengkapnya
Bab 5
Bab 5      Menjelang sore baru lah Bu Melia mengajak Arsyad pulang. sebenarnya dari tadi Arsyad mengisyaratkan kepada ibunya agar segera pulang tapi perempuan itu itu tidak menggubris.      "Bagaimana sosok Naura menurutmu? Apa dia cukup cantik untukmu?"     "Entahlah, Bu. Iya, aku akui dia cantik."     "Lalu apakah kamu masih ragu untuk menikahinya?"     "Sekarang belum saatnya berbicara begitu. Bahkan aku belum bicarakan ini sama Ika. Oh iya Ika, dia pasti sudah lama menunggu."     Arsyad melirik jam tangannya menjelang pukul 16.00. hatinya mulai gelisah.     "Tadi pagi kita bilang sama Ika pergi tidak akan lama. Tapi tahu-tahu pulangnya sudah sore begini. Pasti ia merasa dibohongi."
Baca selengkapnya
Bab 6
Bab 6     Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya.       "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan.      "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan."          Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan.      Begitupun Ika, ia su
Baca selengkapnya
Bab 7
Bab 7       Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana.      Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit  itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan.      Krieet...      Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh.      Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri.     "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?"        Arsyad mere
Baca selengkapnya
Bab 8
Bab 8 Belang wanita kedua       "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya.      "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera."       "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura.      "Maksudmu?"      "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?"      Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda.      "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau
Baca selengkapnya
Bab 9
Bab 9       "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja."      Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura.      "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika.      Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya.      "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras.      Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.
Baca selengkapnya
Bab 10
Bab 10     Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba.     "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini."     Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya.     "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status