Share

Bab 6

Bab 6

 

 

   Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya.

 

      "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan.

 

     "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan."

     

     Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan.

 

     Begitupun Ika, ia sudah bisa menebak apa yang akan di sampaikan oleh Arsyad. Namun ia mencoba untuk tetap teguh dan tidak menjatuhkan air mata di depan Arsyad. Dia ingin membuktikan bahwa ia masih kuat.

 

     Arsyad meraih kedua tangan istrinya. Ika membiarkan Arsyad menggenggam jari-jemarinya. 

 

     "Mi..." Arsyad memastikan hatinya untuk memulai bicara.

 

     "Ya,"

 

     "Abi ingin membicarakan sesuatu yang penting sama Ami malam ini. Abi ingin Ami tidak terkejut. Tidak juga marah. Abi tahu ini adalah masalah yang teramat sulit bagi kita." Sampai di sana ucapan Arsyad berhenti.

 

     Ada sesak yang tertahan pada kerongkongan Arsyad untuk melanjutkan kata-kata. 

 

     "Tidak apa-apa, Bi. lanjutkan saja. Insya Allah Ami tidak akan marah."

 

     Huuuuufh... Arsyad menelan ludah.

 

     "Mi, maafkan Abi.... Abi ingin meminta Izin dan restu. Untuk... Untuk menikahi Naura."

 

     Dugh... 

 

     Terasa bagai petir di siang bolong yang menyambar hati Ika saat itu. Kata-kata yang sudah bisa dia tebak sebelumnya, keluar dengan jelas dari mulut Arsyad. 

 

     Namun sekuat tenaga, Ika menahan airmata. 

 

     "Mi, maaf." Arsyad memeluk istrinya.

 

     "Aku tidak bisa menceraikanmu, Mi. Tolong kamu jangan menggugat dan meminta cerai Abi. Meski ini berat bagi kita."

 

     "Setelah Abi menikahi Naura nanti, Abi akan berusaha untuk berlaku adil. Tidak akan membeda-bedakan diantara kalian. Abi akan menganggap kalian berdua dalam posisi yang sama. dan juga pernikahanku dan Naura tidak akan mengurangi rasa cinta Abi ke Ami."

 

     Ika benar-benar berada dalam dilema. Kalau boleh berkata-kata dengan kejujuran, maka  perempuan mana yang ingin diduakan? Istri mana yang ingin dimadu? 

 

     Namun dibalik perasaan serba salahnya, Ika sadar, dia tidak boleh egois. Meski terasa sakit, dia tahu Arsyad sudah sejak lama menginginkan seorang penerus yang belum mampu ia berikan. 

 

     Haruskah ia memaksakan diri untuk meminta bercerai? 

 

     Atau haruskah ia mencegah keinginan Arsyad dengan sekuat tenaga?

 

     Ika sudah memikirkan ini sejak mendengar percakapan antara Arsyad dan ibu mertua. Dengan beban perasaan yang berat, Ika menatap Arsyad lekat.

 

     "Bi, sebenarnya saya sudah tahu niat Abi. saya sudah mendengar percakapan antara Abi dan ibu."

 

     Tidak ada air mata yang jatuh ketika Ika berucap. Pertahanannya masih belum runtuh.

 

    Mendengar pernyataan Ika,  Arsyad bisa menyimpulkan, itulah mengapa wajah istrinya nampak berbeda semenjak pulang dari pasar, rupanya istrinya itu telah mendengar percakapannya bersama sang ibu di meja makan tadi pagi.

 

     "Lalu mengapa Ami tidak cerita?"

 

     "Untuk apa Ami cerita, keputusan itu ada di tangan Abi sendiri. Aku juga sadar, Bi. aku belum bisa memberikan ibu seorang cucu."

 

     "Jangan berucap seperti itu, Mi. Soal anak itu rahasia Tuhan. Kita tidak tahu kapan ia akan membuat kita anugerah itu."

 

     "Kalau Abi percaya hal itu, mengapa harus mencari rahim yang lain? Apa karena Abi yakin kalau rahimku ini benar-benar kering, seperti yang ibu katakan?"

 

     Arsyad semakin kebingungan. Ia kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan sang istri. Jauh dilubuk hatinya, Arsyad sangat membenarkan yang Ika sampaikan. 

 

     Namun apalah daya paksaan ibunya lebih dominan. Perintah ibunya juga terkesan sangat mengharuskan. 

 

     "Maafkan Abi, Mi. Abi tidak mampu untuk menolak keinginan ibu. Anggaplah ini permohonan terbesar Abi untukmu. Tolong ikhlaskan Abi untuk menikahi Naura."

 

      Ika diam. Ada kata yang ingin ia ucapkan namun untuk sementara tertahan. Ia sedang menyiapkan mental agar bisa dengan lantang berucap. Ika mengangkat kepalanya yang sedari tadi merunduk.

 

     "Ya, Ami mengizinkan Abi menikahi Naura. Ami ikhlas. Nikahi dia. Semoga kalian lekas di karuniai buah hati, sebagaimana yang ibu inginkan." Ucap Ika. 

 

     Arsyad semakin erat menggenggam jari-jemari Ika. Meskipun bagi Ika, Genggaman itu terasa hampa. 

 

     "Ami ikhlaskan?" Arsyad menekankan.

 

     "Ya, Ami Ikhlas."

 

     sebenarnya kata-kata ikhlas pada jawabannya Ika sulit untuk rasakan. Seperti yang tertulis sebelumnya, keikhlasan seorang istri untuk dimadu, tidaklah mudah untuk dilakukan. 

 

    Meski kata ikhlas itu diucap dengan lantang, namun tidak begitu dengan suasana hati. Memang soal perasaan, siapa juga yang ingin ikhlas untuk berbagi. Apalagi dalam kurun waktu yang tiba-tiba.

 

     "Maafkan Abi, Mi. Abi terpaksa melakukan ini."

 

     "Ya, Ami bisa memaklumi"

 

 

***

 

 

     "Sah..." 

 

     Ucapan para hadirin menggema di ruangan yang menjadi saksi bisu pernikahan Arsyad dan Naura.  

 

     Ika berusaha untuk bertahan.

 

     Pertahanannya tidak boleh runtuh di keramaian ini. 

 

     Balutan gaun putih membalut tubuh Naura, beserta hijab yang menutupi kepalanya, menambah pesona kecantikan perempuan itu. 

 

    Sepanjang acara resepsi, banyak juga nyinyiran para hadirin yang ditujukan untuk Ika.

 

     "Ika mau saja ya dimadu. Apa nggak sakit hati, tuh orang."

 

     "Kasihan Ika wanita sebaik dia, kok diduaan sama suaminya."

 

     "Kuat sekali Ika mampu menghadiri dan menyaksikan pesta pernikahan suaminya dan wanita lain."

 

     "Tapi tidak salah sih, Bu Melia menjodohkan anaknya dengan wanita lain. Lihat saja tuh Ika, sudah lima tahun menikah tidak juga dikaruniai anak. Mungkin Ika itu benar-benar wanita mandul. Makanya Arsyad memilih menikahi Naura."

 

     "Iya iya, bisa bener itu."

 

     Ika menahan diri dari nyinyiran para hadirin yang berhasil mampir di telinganya.

 

     Untuk meredakan rasa sesak, Ika beranjak menuju ke toilet.

 

     Belum juga kakinya masuk ke dalam toilet. Kembali terdengar nyinyiran seseorang di belakangnya.

 

     "Mungkin Ika terpaksa mau di madu. Secara Ika itu hidupnya sebatang kara, kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi. Dia juga tidak punya saudara. Tidak ada tempat dia untuk kembali. Satu-satunya cara agar dia bisa bertahan hidup adalah tetap menjadi istri Arsyad, meskipun harus menanggung rasa sakit hati. Kalau Arsyad masih nekat menceraikan Ika, maka tidak tahulah Ika akan hidup dengan cara bagaimana."

 

     "Iya, mungkin itu salah satu dari alasan mengapa Arsyad masih mau mempertahankan wanita mandul seperti dia. Hanya karena rasa belas kasihan saja."

 

     kedua orang itu tidak menyadari apabila Ika mendengar semua isi percakapan mereka. Kalau saja Ika tidak bersabar, maka kericuhan akan terjadi saat itu. namun Ika sadar apabila hal buruk terjadi, maka semua itu akan semakin memburuk reputasinya yang dianggap orang-orang sebagai istri pertama yang tersakiti.

 

     Tidak mau mendengar lebih lama lagi, Ika terus melanjutkan langkahnya ke toilet.  

 

     "Ya Tuhan beginikah nasib getir seorang perempuan yang belum bisa memberikan keturunan? Apakah setiap perempuan yang ber nasib sepertiku akan menerima nyinyiran pahit?"

 

 

***

 

     "Mi, untuk malam ini Abi akan membawa Naura bermalam di rumah kita. Boleh ya?" 

 

     Ya bagaimana Ika bisa menolak jika Naura nya sudah bawa ke rumah duluan.

 

      Ika diam sesaat.

 

     "Boleh ya Mi, sebelum Abi bisa membelikan rumah baru untuknya."

 

     Whatt?? Rumah baru? Secepat itukah? Padahal dulu Ika dan Arsyad harus menunggu beberapa tahun untuk bisa membeli rumah. Itu pun dengan cara menyicil. 

 

     "Ya tidak apa-apa, Bi." Jawab Ika pendek.

 

     "Terima kasih ya, Mi" Arsya mencubit dagu Ika gemas.

 

     "Mmm, iya mbak, terima kasih ya, udah ngizinin Naura untuk tinggal di sini." Naura yang sedari tadi ternyata melihat dari ambang pintu menimpali ucapan Arsyad.

 

     Ika menggangguk. 

 

     Soal bagaimana rasanya berada seatap dengan madu, hanya wanita yang pernah mengalaminya saja yang bisa merasakan sensasinya. 

 

 

Bersambung...

 

 

 

     

 

 

 

 

    

     

 

     

     

 

     

     

     

      

    

-benar wanita mandul. Makanya Arsyad memilih menikahi Naura."

 

     "Iya iya, bisa bener itu."

 

     Ika menahan diri dari nyinyiran para hadirin yang berhasil mampir di telinganya.

 

     Untuk meredakan rasa sesak, Ika beranjak menuju ke toilet.

 

     Belum juga kakinya masuk ke dalam toilet. Kembali terdengar nyinyiran seseorang di belakangnya.

 

     "Mungkin Ika terpaksa mau di madu. Secara Ika itu hidupnya sebatang kara, kedua orang tuanya sudah tidak ada lagi. Dia juga tidak punya saudara. Tidak ada tempat dia untuk kembali. Satu-satunya cara agar dia bisa bertahan hidup adalah tetap menjadi istri Arsyad, meskipun harus menanggung rasa sakit hati. Kalau Arsyad masih nekat menceraikan Ika, maka tidak tahulah Ika akan hidup dengan cara bagaimana."

 

     "Iya, mungkin itu salah satu dari alasan mengapa Arsyad masih mau mempertahankan wanita mandul seperti dia. Hanya karena rasa belas kasihan saja."

 

     kedua orang itu tidak menyadari apabila Ika mendengar semua isi percakapan mereka. Kalau saja Ika tidak bersabar, maka kericuhan akan terjadi saat itu. namun Ika sadar apabila hal buruk terjadi, maka semua itu akan semakin memburuk reputasinya yang dianggap orang-orang sebagai istri pertama yang tersakiti.

 

     Tidak mau mendengar lebih lama lagi, Ika terus melanjutkan langkahnya ke toilet.  

 

     "Ya Tuhan beginikah nasib getir seorang perempuan yang belum bisa memberikan keturunan? Apakah setiap perempuan yang ber nasib sepertiku akan menerima nyinyiran pahit?"

 

 

***

 

     "Mi, untuk malam ini Abi akan membawa Naura bermalam di rumah kita. Boleh ya?" 

 

     Ya bagaimana Ika bisa menolak jika Naura nya sudah bawa ke rumah duluan.

 

      Ika diam sesaat.

 

     "Boleh ya Mi, sebelum Abi bisa membelikan rumah baru untuknya."

 

     Whatt?? Rumah baru? Secepat itukah? Padahal dulu Ika dan Arsyad harus menunggu beberapa tahun untuk bisa membeli rumah. Itu pun dengan cara menyicil. 

 

     "Ya tidak apa-apa, Bi." Jawab Ika pendek.

 

     "Terima kasih ya, Mi" Arsya mencubit dagu Ika gemas.

 

     "Mmm, iya mbak, terima kasih ya, udah ngizinin Naura untuk tinggal di sini." Naura yang sedari tadi ternyata melihat dari ambang pintu menimpali ucapan Arsyad.

 

     Ika menggangguk. 

 

     Soal bagaimana rasanya berada seatap dengan madu, hanya wanita yang pernah mengalaminya saja yang bisa merasakan sensasinya. 

 

 

Bersambung...

 

 

 

     

 

 

 

 

    

     

 

     

     

 

     

     

     

      

    

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
dasar laki2 tdk punya perasaan mas bawa istri lain, digabung dg istri pertama, samacaja tuh mertua kayaknya bukan perempuan tapi setan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status