Share

Bab 7

Bab 7 

 

 

    Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana.

 

     Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit  itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan.

 

     Krieet...

 

     Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh.

 

     Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri.

 

    "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?"  

 

     Arsyad merengkuh pundak istri tuanya. Ika memaksakan  untuk tersenyum.

 

     "Ah tidak, Bi. Ami tidak apa-apa. Cuma sedang fokus nonton aja. Tuh, lihat sinetron kesukaan Ami lagi tayang tuh."

 

     Ika menunjuk ke layar televisi. 

 

     "Mmm... Mi, Abi kangen." Arsyad mendekat dan mengecup kening Arsyad.

 

    Ika tak bergeming, kecupan Arsyad tidak lagi menimbulkan nuansa hangat seperti dulu. Melainkan hambar dan dingin.

 

     "Mi, maafkan Abi ya, beberapa malam ini Abi belum sempat tidur di kamar kamu. Ami bisa memaklumi sikap Naura yang sedikit manja. Dia belum mengizinkan Abi untuk berbagi malam denganmu."

 

     Ika hanya mengangguk pelan, baru beberapa hari saja menjalani rumah tangga dengan dua istri,  Arsyad sudah tidak mampu memegang kendali keadilan sebagai seorang suami.

 

    Ika masih teringat dengan gamblang bagaimana janji Arsyad sebelum ia menikahi Naura dulu. Bagaimana pria itu berjanji akan berlaku seadil-adilnya terhadap istri tua dan istri muda. 

 

     "Mi, kok ngelamun terus? Ami marah ya?"

 

     Ika hanya tersenyum tipis. Perempuan tersebut berpikir tidak seharusnya Arsyad bertanya seperti itu, tanpa ia menjawab seharusnya Arsyad bisa merasakan apa yang Ika rasakan saat ini.

 

     "Mi? Ami marah?" Ulang Arsyad kembali.

 

     "Marah untuk apa?" Ika balik bertanya.

 

     "Mmm..."

 

     "Kenapa?"

 

     "Tidak, tidak apa-apa. hanya saja Abi bingung dengan sikap Ami yang terasa semakin dingin. Semakin jarang Abi mendengar senda gurau Ami seperti sebelumnya." Arsyad bercerita dengan tatapan kosong.

 

     "Terkadang Abi rindu dengan canda tawa Ami dulu." Masih terdengar kata-kata dari bibir Arsyad. 

 

     Ika menyimak.

 

     "Rindu?"

 

     "Iya, Mi. Abi merindukan kehangatan Ami."

 

      "Bukannya  Ami selalu di sini? Dekat sama Abi.  Lalu buat apa kata-kata rindu? Kecuali apabila aku jauh."

 

      Ucapan itu terdengar begitu ringan namun tidak juga meninggalkan kesan kaku dan dingin.

 

     "Tuh cara ngomongnya juga sudah berubah.  Cobalah tersenyum seperti dulu, Mi. Abi tidak ingin Ami seperti orang stress? Atau apakah Ami merasa tertekan?"

 

     Huuuufh.... Ika menarik nafas panjang.

 

     "Tidak, Ami sama sekali tidak merasa tertekan. Sudahlah tidak usah berbicara soal perasaan ku. Apakah aku tertekan ataupun tidak, aku rasa Abi bisa menebaknya." 

 

     Ika menahan pilu, Bahkan Arsyad melupakan momen penting yang jatuh pada hari ini. Hari ini adalah ulang tahun Ika yang ke-26, sekaligus hari anniversary pernikahan mereka. Pada tanggal yang sama 5 tahun yang lalu pria itu mempersuntingnya. Namun hari ini sepertinya Arsyad sudah tidak mengingatnya lagi.

 

     Sedari pagi, Ika menunggu-nunggu, jikalau ada sodoran kado dari sang suami sebagaimana sebelum-sebelumnya.

 

     Namun nihil, sampai malam tiba, bahkan hingga kini jarum jam hampir menunjukkan pukul 10 malam. Tidak ada kado ataupun hanya sekedar ucapan selamat. 

 

     "Paaaa?... Paaa? Kok lama sekali, Pa?" Tiba-tiba seorang perempuan memanggil-manggil di luar sana. 

 

     Dengan cepat Arsyad bangkit, terlalu tergesa-gesa melangkahkan kaki.

 

     "Maaf, Mi. Naura memanggil. Abi tinggal dulu ya. Emmmuach..." Sebelum pergi Arsyad menyempatkan diri kembali mengecup kening  istri tuanya.

 

     Ika memandang punggung Arsyad yang dengan cepat menghilang seiring pintu kamar yang Arsyad tutup.

 

     "Ya Allah... Mengapa begitu sulit mengikhlaskan hati ini. Apakah aku ini memang wanita egois? Mengapa kurasa berbagi ini teramat sakit. Ya Tuhan beri aku kesabaran dan ketabahan. Anugerahkanlah rasa ikhlas dan lapang padaku."

 

     "Lembutkanlah hati hamba untuk menerima  situasi ini. Hamba hanya mencoba untuk belajar ikhlas dengan berbagi seseorang yang aku cintai.  Berilah hamba kekuatan untuk tetap bertahan. Tolong jangan biarkan aku menjadi wanita egois. Semoga dengan keikhlasan itu, hamba bisa menjadikan rumah tangga kami , sebagai ladang pahala bagi hamba."

 

     "Semua ini hamba terima karena mengharap surga-mu ya Allah."

 

     Ika mengusap kedua telapak tangannya pada wajah.

 

      Di balik prahara cinta segitiga yang menghampiri rumah tangganya yang bisa disebut datang secara tiba-tiba, sungguh sulit rasanya mendengar nyinyiran orang-orang di sekeliling. Yang mengatakan mengapa tidak minta cerai saja.

 

     Tetapi bagi Ika meminta cerai tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya itu adalah keputusan yang sulit. Mengapa? karena ia sadar poligami diperbolehkan dengan alasan-alasan tertentu. Keinginan akan seorang anak sebagai generasi penerus adalah salah satu alasan yang bisa diterima.

 

     Namun sekarang Ika menyadari, seorang lelaki jarang yang mampu bersikap adil. Setidaknya itulah yang ia rasakan saat ini. Arsyad seakan-akan mulai melupakannya seiring dengan kehadiran sang istri baru.

 

 

 ***

 

 

 "Mbak Ika, saya bantu masaknya ya." Naura menghampiri Ika yang sedang sibuk menyiapkan masakan.

 

     "Silahkan."

 

     Naura mengambil bawang lalu mengiris-irisnya tipis. Belum terlalu lama,

 

      "Aduh kenapa tangan Naura jadi pegal ya Mbak, kayaknya Naura tidak bisa nerusin deh. Karena biasanya Naura selalu olahraga di pagi hari. Bukan belepotantan di dapur. Maaf ya Mbak."

 

     Naura menyodorkan sedikit irisan bawang. Namun hanya sedikit saja, sebagian besar belum ia selesaikan.

 

     "Naura tidak bisa mengiris semuanya Mbak. Mata Naura pedih. Lihat nih. Aduuuh kok jadi begini ya."

 

     "Kalau begitu biar mbak saja yang menyelesaikannya, Naura." Ika mengambil alih bawang-bawang tersebut.

 

     "Maaf ya Mbak Ika, Naura harus mempersiapkan diri ini untuk siap-siap pergi kerja." Naura bangkit dari duduknya.

 

     Memang Naura bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah bank swasta. 

 

    Dengan segera Naura bergegas melangkah meninggalkan area dapur.

 

      Tanpa peduli dengan sikap Naura, Ika melanjutkan pekerjaannya. Istri pertama Arsyad itu tidak merasa kesulitan ataupun keterpaksaan, karena begitulah rutinitasnya selama ini. Di sela-sela kesibukannya dalam mengurus usaha online, Ika tetap menyelesaikan tugasnya sebagai seorang istri.

 

     Biasanya, setelah semuanya selesai, maka Ika akan kembali bergelut dengan dunia maya, membaca pesan-pesan dari pelanggan dan para reseller. Ya , Ika mempunyai beberapa reseller-reseller aktif di berbagai daerah. Para reseller itulah yang mendukung kemajuan dan perkembangan usaha online yang ia rintis mulai dari nol.

 

     Setelah semua urusan daur selesai, Ika melangkah kedepan bermaksud ingin memanggil Arsyad untuk sarapan.

 

      "Udah selesai, Mbak?" Tanya Naura yang baru saja muncul. Semerbak wangi parfum mengiringi langkahnya. Pakaian seragam yang ia pakai nampak begitu rapi. Dengan dandanan yang natural, namun sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, membuat penampilan Naura begitu anggun. 

 

     Satu kalimat yang muncul di kepala Ika,    

 

     "Wajar saja jika perhatian Arsyad lebih besar tercurahkan untuk wanita ini, dia memang wanita yang patut untuk dikagumi"

 

     "Ya, semuanya sudah selesai. Sekarang sudah waktunya untuk sarapan." Jawab Ika.

 

     "Baiklah saya akan panggilkan Arsyad, terlebih dahulu."

 

      Tanpa menunggu jawaban dari Ika, Naura melangkah menuju ke kamar, di mana suaminya berada.

 

      Sedari pagi, sejak Ika terbangun dari tidurnya hingga makanan siap terhidang, Ika belum juga melihat Arsyad keluar dari kamar yang dikhususkan untuk Naura. Memang kamar Naura dan juga kamar Ika dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan toilet. sehingga tidak mengharuskan para penghuninya untuk keluar masuk kamar hanya untuk membersihkan tubuh.

 

     Sementara itu di kamar Naura, 

 

     "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya.

 

     "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." 

 

     "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura.

 

     "Maksudmu?"

 

     "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?

 

 

 

 

Bersambung...

 

   

     

     

 

    

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
ya qllah kasian ika.mendingan cerai malah bakal jd pembantu bukan jd istri tua.
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
buntut2nya jadi pembantu istri kedua dech.
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
arsyad ini bego ya, pertanyaannya kok nggak mutu amat, ya sedihlah ami.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status