Share

Bab 8

Bab 8 Belang wanita kedua

 

 

     "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya.

 

     "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." 

 

     "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura.

 

     "Maksudmu?"

 

     "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?"

 

     Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda.

 

     "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau kalian mengerjakannya bersama-sama." Arsyad memberi usulan dengan suara lembut.

 

      Mendadak kedua bola mata Naura melotot.

 

     "Maksud papa? Aku harus terjun mengurus dapur juga? Apa papa tidak salah bicara?"

 

     "Bukan begitu sayang, sabar dulu dong. Kalau kamunya suka marah nanti cantiknya berkurang lho." Goda Arsyad sembari mengelus-elus kepala Naura.

 

     "Lalu apa maksud papa bicara begitu?"

 

     "Maksud papa, sesekali kamu bisa bantu-bantu Ika. Seperti membereskan rumah, memasak atau menata sarapan di meja makan. Tidak perlu yang berat-berat, misalnya menyapu. Kan tidak berat tuh mengerjakannya."

 

     Naura duduk di sisi tempat tidur. 

 

     "Pa, mana katanya papa ingin cepat punya keturunan."

 

     "Tentu saja, kamu juga kepingin kan? Kita akan langsung merencanakan program kehamilan dalam waktu dekat."

 

     "Ya Pa. Tapi kalau ingin program kehamilan kita berhasil dengan cepat, Papa harus mengerti keadaan Naura. Naura tidak seharusnya melakukan pekerjaan rumah dalam bentuk apapun yang tidak Naura sukai. Karena mood yang baik juga akan mempengaruhi kesehatan dan kesehatan rahim. Makanya papa jangan maksa-maksa aku buat jadi kaya asisten. Naura bela-belain bekerja buat bantu cari nafkah, kok malah mau dibebankan lagi dengan pekerjaan rumah yang seyogyanya bisa dikerjakan oleh Mbak Ika."

 

     Perlahan mata Naura mulai berembun. Membasahi pipi mulusnya yang sudah di polesi make up. Melihatnya, Arsyad mulai Iba. Ia merengkuh pundak sang istri baru,

 

     "Sudah, sudah sayang, tidak usah menangis. Papa tidak maksa.  Maafkan papa ya sayang. Maksud papa kalau Mama mau dan punya waktu luang saja. Kalau mama merasa repot, tidak usah. Nanti kecapean. Oh ya kalau kira-kira pekerjaan akan membuat program kehamilan kita terhambat, apa tidak lebih baik Mama juga berhenti kerja untuk sementara?" Usul Arsyad lebih berhati-hati takut jika membuat Naura tersinggung kembali.

 

     "Untuk sementara ini biarkan Mama untuk tetap bekerja. Pekerjaan adalah prioritas utama bagi Mama."

 

     "Mama memang seorang perempuan pekerja keras dan pantang menyerah, di tambah cantik pula. Sempurna." Arsyad memuji-muji. Membuat Naura tersipu.  

 

     "Terima kasih, Pa."

 

     "Sekarang yuk kita sarapan dulu. Nanti papa yang akan nganterin Mama ke tempat kerja."

 

 

***

 

 

     Di meja makan ketiganya menikmati sarapan.

 

     "Masakan mbak Ika enak. Mbak pintar masak. Kalau begini, kita tidak perlu bersusah payah memesan makanan di luar, Pa. Dan juga tidak butuh asisten rumah tangga. Karena di rumah kita punya koki yang luar biasa. Bener lho, Mbak Ika, saya tidak bohong. Masakan Mbak benar-benar amazing."

 

    Sambil makan Naura bercerita mengomentari masakan Ika, sambil mengacungkan jempolnya.

 

     Resep melirik istri tuanya, takut apabila wanita itu tersinggung dengan ucapan Naura. 

 

     Namun tidak, wanita itu masih terlihat kuat. 

 

     "Dari dulu juga kami tidak menyewa asisten. Karena dulu aku berusaha untuk menjadi bagaimana semestinya menjadi seorang istri yang seharusnya. Nun belum tentu untuk waktu kedepan." Jelas ika. Dalam hati Ika melanjutkan kata-katanya tersebut.

 

     Ucapan Ika membuat Arsyad merasa heran. Namun keheranan itu untuk sementara ia simpan.

 

     "Dalam waktu kedepan pun saya rasa kita tidak memerlukannya. Masakan Mbak sangat sedap."

 

     "Terima kasih." Ika menanggapi pujian Naura.

 

     Tapi bukan berarti Ika senang mendengar komentar tadi. Karena dia merasa bukan seorang koki yang harus melayani Naura. 

 

     "Sama-sama."

 

     Sembari memasukkan sarapan ke mulut, Naura bertanya,

 

     "kenapa Mbak Ika tidak membuka restoran saja kalau begini pasti banyak pengunjungnya?"

 

     "Ah, nanti terlalu repot, Naura. Mbak sekarang sedang fokus dengan usaha online Mbak." Jawab Ika.

 

     "Usaha online? Mbak punya usaha online? Memangnya apa saja yang Mbak jual?" Naura mengernyitkankan dahi.

 

     "Ya aneka pakaian wanita mulai dari daster, gamis, dan kerudung."

 

     "Wah, banyak juga ya mbak. Omong-omong dimana Mbak menaruh barang-barangnya nih? Mana? kok saya enggak lihat tuh ada barang-barang jualan Mbak di rumah ini?"

 

     "Ada di toko depan." Ika menjawab singkat.

 

     "Toko? Di mana tokonya?"

 

     "Tuh di depan gang anggrek sana. Dekat kok. Jadi Mbak bisa mengolah usaha kecil-kecilan Mbak itu sambil mengurus rumah. Memang usaha Mbak lebih aktif secara online daripada offline. Secara kalau online, lebih banyak mendapat penghasilan dari para reseller-reseller aktif di berbagai kota."

 

     Naura terdiam. Karena selama ini ia hanya menganggap Ika sebagai perempuan rumahan, yang hanya bergantung pada suami, dan tidak mengerti bisnis. 

 

     "Oh bisnis kecil-kecilan begitu ya mbak?" Naura menduga-duga.

 

     "Iya bisnis kecil-kecilan, hanya sampingan saja sebagai ibu rumah tangga." Jawab Ika.

 

     Naura merasa lega, setidaknya dugaannya benar. Kakak madunya itu hanya mempunyai bisnis skala rendahan. 

 

     "Yah dari tampangnya saja kan, aku sudah bisa menebak. Kira-kira bisnis seperti apa yang mampu di lakukan boleh kakak maduku ini. Wanita malang." Pikir Naura dalam hati.

 

     "Kira-kira berapa rata-rata kisaran harga gamis yang Mbak Ika jual? Mmm... apa hanya gamis yang seharga seratusan ribu saja?" Tanya Naura kepo.

 

     "Ya segitu juga ada?" 

 

     "Yang lebih mahal lagi ada nggak? Soalnya kalau ada yang cocok aku juga pengen beli. Asalkan brand-nya bagus dan tidak kaleng kaleng, saya rela untuk membayar lebih mahal. Tapi sepertinya hanya ada model seperti gamis yang biasa Mbak pakai itu ya?"

 

     Ika tersenyum kecut, apa pula maksud perempuan kedua suaminya itu bertanya demikian? Terkesan terlalu ingin tahu soal pekerjaan yang Ika lakoni.

 

     "Tergantung pilihan, Naura. Kalau selera Naura bisa beli, kalau tidak ya tidak apa-apa."

 

     "Maaf Mbak, aku sudah bisa tebak kualitas produk yang Mbak Ika jual. Maaf saran saya, lebih baik mbak mencari brand-brand yang sudah terkenal kualitasnya dan sudah tidak diragukan lagi. Daripada Mbak menjual gamis-gamis yang kurang berkualitas seperti itu. Ya lebih baik mencari yang pasti-pasti aja lah merk-nya. Supaya orang-orang tidak ragu untuk membeli." Kembali Naura memberi masukan. 

 

     Namun masukan yang dia ucapkan lebih terdengar seperti menyepelekan usaha Ika.

 

      "Saranmu memang bagus, Naura. Tapi semua tergantung selera. Dan rezeki kembali kepada yang kuasa." Jawab Ika santai.

 

     "Iya, siih. Tapi semua itu kan butuh usaha."

 

     "Benar sekali."

 

     "Mmm, kalau mbak mau menjual brand-brand terkenal, saya punya temen kok yang bisa membantu. Kalau di banding-bandingin soal harga dan kualitas, produk yang ia jual sangat fantastis, satu gamis berharga jutaan. Bukan ratusan ribu Mbak. Dia terbilang sukses sekarang. Tapi sebelumnya, memang modalnya gede sih, mbak. Mungkin Mbak akan mempunyai kendala masalah modal ini. Pertama-tama buka aja udah ratusan juta belum lagi kalau udah gede begitu." Naura bercerita dengan semangat.

 

     "Wah keren dong. Tapi kalau saya mainnya nggak tinggi-tinggi amat Naura. Target yang saya incar juga bukan orang-orang kaya. seperti yang Naura bilang tadi saya tidak mempunyai begitu banyak modal. Nanti kalau misalnya sudah berkembang, baru deh merencanakan menjual yang branded. Eh sebelumnya terima kasih sarannya Naura."

 

     "Iya sama-sama Mbak Ika."

 

      Semakin lama, Ika semakin bisa menebak sifat asli dari perempuan cantik di depannya tersebut. setiap berbicara wanita itu terkesan merendahkan. Padahal dia belum tahu bagaimana bisnis usaha Ika yang sesungguhnya. 

 

     Sedangkan Arsyad cuma manggut-manggut saja mendengar percakapan kedua istrinya.

 

      Naura melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan,

 

     "Astaga Pa. Tidak lama lagi saya harus tiba di kantor. Bisa papa antar Mama sekarang?" Ujar Naura tiba-tiba.

 

     "Ya boleh boleh. Sebentar ya, Ma."

 

     "Ayo cepetan dong nanti keburu telat nih."

 

     "Iya iya mari."

 

     "Maaf ya Mbak Ika. Saya tidak sempat membantu mbak untuk membereskan meja."

 

     Naura keluar begitu saja meninggalkan bekas sarapannya barusan.

 

     Ika berdecak kesal.

 

     "Huuuuuh... Aku apain ya perempuan seperti ini? Sebelumnya aku kira dia wanita baik. Taunya begini."

 

 

Bersambung...

 

 

 

     

     

 

     

     

     

 

 

 

     

 

 

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Aslinya iblis bgt si naura kampret emank berharap kakak madunya jd pembantu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status