Bab 53
Beberapa tahun kemudian,
Arsyad membanting begitu saja sebuah tas hitam yang berisi segenap berkas di tangannya.
"Ada apa, Arsyad?" Bu Melia mendelik heran.
"Tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerima aku lagi, Bu. Terpaksa Arsyad tetap bekerja di pencucian mobil yang menyebalkan itu. Dengan hasil yang jauh dari standar hidup. Selamanya kita akan terus terpuruk dalam kehidupan yang tidak menyenangkan ini," ucap Arsyad.
"Sabar dulu, nanti pasti ada-ada saja perusahaan yang mau menerima kamu. Kerja di perkantoran lebih baik daripada bekerja di tempat cucian mobil." Bu Melia menenangkan.
"Perusahaan mana lagi Bu, yang mau menerima seorang pria yang baru keluar dari penjara seperti aku? Bahkan perusahaan kecil pun menolak dengan kasar. Masih untung aku dapat pekerjaan di steam pencucian mobil. Kalau ti
Bab 54 "Ma, sini Papa yang jemur pakaiannya ya," ujar Erland sembari menarik keranjang yang berisi pakaian-pakaian yang baru saja dikeringkan dari dalam mesin cuci. "Aduh, Pa. Ntar nggak enak kalo di liat orang. Kok Papa yang jemur pakaian?" "Ah nggak apa-apa. Namanya rumah tangga itu harus sama-sama. Apalagi Bik Inah dan Bik Inun sedang tidak ada. Bisa-bisa Mama sakit bila harus mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, udah deh, Mama istirahat saja dulu sana. Ntar sakit kalo kecapean. Papa lihat saudari bangun pagi tadi Mama beristirahat. Sambil liat-liat si kembar" ujar Erland dengan senyuman. Erland keluar menuju ke jemuran disamping rumah. Ika mengucap syukur kehadirat Tuhan yang telah menganugerahinya sesosok lelaki yang sudah dianggapnya seperti malaikat Sedangkan Erland mulai sibuk dengan pak
Bab 1 Maaf, sayang. Bulan ini Abi cuma bisa ngasih segini ke kamu. Maaf ya. Soalnya dalam kondisi hamil, Naura membutuhkan lebih banyak uang. Ami tidak marah kan?" Arsyad menyodorkan sebuah amplop coklat tipis kepada Ika istri pertamanya. "Ya terimakasih, Bi. Masih bersyukur di kasih rezeki." Ika menerima amplop itu. "Abi ke kamar mandi dulu ya?" "Iya, Bi. Sementara Ami siapkan untuk makan malam. Ya hari adalah jadwal Arsyad berkunjung kerumah tersebut, setelah menikahi Naura dua bulan yang lalu. Sesuai komitmen Arsyad, dua minggu bersama Naura, maka ia akan kembali ke rumah yang di diami Ika selama dua minggu juga. Sepeninggal suaminya, Ika membuka amplop yang tadi di berikan Arsyad pa
Bab 2 Ada rasa getir menusuk jantung, ketika Ika mendengar ucapan pedas dari bibir mertuanya. "Sekali lagi ibu tegaskan, nikahilah Naura." Arsyad terdiam cukup lama. "Baiklah, Bu. Sepertinya ucapan ibu perlu di pertimbangkan. Dan juga aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus meminta pendapat Ika." Akhirnya terdengar juga lelaki itu bicara. "Pertimbangkan dengan baik, Arsyad. Jika kamu menikahi Naura, maka secara tidak langsung kamu memperbaiki perekonomian keluarga. Dengan gelar pendidikannya, tidaklah sulit bagi Naura untuk menemukan pekerjaan yang layak. Tidak seperti Ika yang bergantung sepenuhnya pada gajimu."
Bab 3 "Ami, kenapa menangis? Apa yang sedang Ami pikirkan? Ayo ceritakan sama Abi." Sentuhan tangan Arsyad di pundaknya dari belakang, sontak membuat Ika terkejut. Dia merasa lalai, mengapa tangisannya sampai bisa menarik perhatian sang suami. Apa yang harus ia katakan? Ika bingung, haruskah ia menyampaikan keluh kesahnya? Tapi tidak, wanita itu masih bisa mengontrol hatinya. Walaupun beban batin yang ia pikul begitu berat, tapi setidaknya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu. "Tidak, Bi. Ami tidak apa-apa?" "Tapi Ami menangis? Jangan bohong, Mi." "Tidak, Ami baik-baik saja. Ini tadi mata Ami kelilipan. Makanya terasa sedikit perih." 
Bab 4 "Apa? aku dan Naura? Kenapaharuskami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini? Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura. "Kenapa harus aku sama Naura, Bu?" Ulang Arsyad. "Tidak usah banyak tanya. Cukup kamu ikuti saja. Kau tahu? ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jadi tidak usah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak." Arsyad sadar betul, setiap Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ibunya. Dia tidak meragukan itu. Demi men
Bab 5 Menjelang sore barulahBu Melia mengajak Arsyad pulang. sebenarnya dari tadi Arsyad mengisyaratkan kepada ibunya agar segera pulang tapi perempuan itu itu tidak menggubris. "Bagaimana sosok Naura menurutmu? Apa dia cukup cantik untukmu?" "Entahlah, Bu. Iya, aku akui dia cantik." "Lalu apakah kamu masih ragu untuk menikahinya?" "Sekarang belum saatnya berbicara begitu. Bahkan aku belum bicarakan ini sama Ika. Oh iya Ika, dia pasti sudah lama menunggu." Arsyad melirik jam tangannya menjelang pukul 16.00. hatinya mulai gelisah. "Tadi pagi kita bilang sama Ika pergi tidak akan lama. Tapi tahu-tahu pulangnya sudah sore begini. Pasti ia merasa dibohongi."
Bab 6 Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya. "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan. "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan." Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan. Begitupun Ika, ia su
Bab 7 Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana. Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan. Krieet... Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh. Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri. "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?" Arsyad mere