Share

Bab 4

Bab 4

     "Apa? aku dan Naura? Kenapa harus kami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini?

     Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu  mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura.

     "Kenapa harus aku sama Naura, Bu?" Ulang Arsyad.

     "Tidak usah banyak tanya. Cukup kamu ikuti saja. Kau tahu? ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Jadi tidak usah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak."

     Arsyad sadar betul, setiap Ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ibunya. Dia tidak meragukan itu. Demi mencegah agar keadaan tidak semakin keruh, Arsyad diam.

     "Arsyad Ibu tahu kamu mencintai Ika. Dan juga Ika istri yang baik. Namun ingatlah, Nak. Seorang laki-laki butuh anak untuk mewarisi garis keturunan. Apalagi kamu anak tunggal. Karena cintamu pada Ika, Ibu tidak menginginkan kamu menceraikannya. Tapi, mintalah ijin padanya untuk menikahi Naura."

     Bu Melia berbicara cukup pelan. Dalam keadaan bimbang, sebenarnya Arsyad menyadari masih ada kebenaran dalam ucapan sang ibu. Ia memang membutuhkan anak untuk meneruskan garis keturunannya.

     "Ya Bu nanti Arsyad pertimbangkan."

     "Berhenti berkata mempertimbangkan. Ibu ingin kamu tidak bersikap bertele-tele seperti seorang pengecut. Kamu laki-laki Arsyad, pasti kamu tahu apa yang harus kamu lakukan ketika istrimu tidak bisa memberimu keturunan."

     "Ya Bu aku tahu itu."

     "Nanti malam bicarakan lah hal itu pada Ika. Kalau dia benar-benar istri yang baik dia pasti mengizinkanmu menikahi Naura. Kalau dia istri yang berbakti, sudah pasti dia akan menerima Naura sebagai adik madunya dengan lapang dada. Ika seharusnya sadar, bahwa Ibu sudah terlalu baik tidak menyuruhmu untuk menceraikan dia."

    "Sudah, tidak usah bicara panjang lebar mengenai Ika, Bu. Semua yang menyangkut soal Ika, biar aku yang mengurusnya." Arsyad bicara sedikit keras.

     "Apa maksudmu bicara seperti itu Arsyad? kamu ingin menentang ibumu ini?"

     "Aku tidak menentang Ibu. Tapi mohon jangan membicarakan Ika terus menerus. Sakit telinga aku mendengarnya." Arsyad bicara tegas.

     Mendengar suara Arsyad yang sedikit meninggi, Bu Melia ragu meneruskan kata-kata. Padahal masih banyak yang ingin Ia ceritakan soal Ika. Dia tahu betul bagaimana sifat Arsyad. Arsyad jarang meninggikan volume suara. Apa lagi di depan ibunya.

     Setelah itu, keduanya diam membisu. Sampai akhirnya mereka tiba di rumah kediaman Naura dan orang tuanya. Sebuah rumah yang lumayan besar berdiri kokoh bergaya minimalis modern.

     Pintu gerbang terbuka untuk mereka. Pelan-pelan Arsyad mengendalikan mobil masuk ke area pekarangan yang juga cukup luas. Seorang wanita seusia Ibunya datang menghampiri.

     "Selamat datang Bu Melia... Sudah ditunggu dari tadi lho, calon besan." Bu Ema, ibunda Naura menyambut senang.

     Arsyad semakin tidak enak mendengar sebutan "Besan" dari mulut Bu Ema. Bu Ema mengulurkan tangannya pada Arsyad, mau tidak mau Arsyad menerima uluran tangan tersebut diiringi dengan senyum yang dipaksakan.

     "Ayo ayo masuk. Saya akan panggilkan Naura."

     Bu Ema mengajak mereka masuk ke ruang tamu.

     "Sebentar ya saya panggilkan Naura nya dulu." Pamit Bu Ema.

     "Iya dong cepat panggilkan dia bilang Arsyad sudah tiba." Bu Melia pun antusias.

     Arsyad hanya bisa diam melihat perilaku dua orang wanita paruh baya di dekatnya. Ada rasa tak suka pada sikap keduanya. Namun apapun keadaannya Bu Melia adalah ibu kandung yang harus dihormati.

     Tidak berapa lama kemudian muncullah Naura dengan berurutan gamis yang anggun menyejukkan mata.

     Seperti perkataan ibunya, Arsyad mengakui Naura memang cantik. Namun sosok Ika terlanjur menguasai hatinya. Akankah posisi Ika tersingkirkan dan diganti oleh Naura? Entahlah, saat ini Arsyad belum mampu untuk menjawabnya.

     "Nah Naura, ini Arsyadnya sudah datang." Bu Ema tidak kalah sumringah.

     Naura mengulurkan tangannya. Mau tidak mau Arsyad kembali menerima uluran tangan itu.

     "Sebentar ya, Naura buatin minuman."

     "Wah Nak Naura tidak usah repot-repot. Tante dan ibumu ingin menyuruh kalian untuk mengambil pesanan kemarin."

     Naura menghentikan langkahnya.

     "Maksudnya aku dan Bang Arsyad yang mengambilkan?" Tanyanya.

     "Iya benar. Kamu dan Arsyad. Tidak keberatan kan?" Bu Ema melirik putrinya.

     "Mmm... Boleh juga sih. Tapi nanti dulu, Naura buatkan minuman dulu sebelum pergi. Kan kasihan Bang Arsyad baru sampai juga." Jawab Naura. Bu Melia terlihat senang mendengarnya.

     "Lihatlah, Naura memang gadis baik, Arsyad." Bu Melia menoleh ke arah Arsyad.

     "Iya, Bu." Jawab Arsyad malas bicara panjang-panjang.

     "Bu Mel, undangannya sudah, tinggal kita mempersiapkan acara pestanya." Bu Ema bercerita.

     "Seperti rencana kita kemarin kan?" Sambut Bu Melia.

     "Iya tidak ada yang berubah. Kecuali untuk gaun itu sesuai selera Naura dan Arsyad."

     Arsyad semakin dibuat bingung dengan percakapan mereka.

     "Kenapa harus sesuai selera saya, Bu?" Arsyad heran. Ada pikiran lain yang singgah di benaknya. Namun pikiran itu dengan cepat ia tepis jauh-jauh.

     "Halah, Nak. Tidak usah bingung. Nanti Naura akan mengajakmu untuk melihat-lihat mana yang kau suka." Timpal Bu Ema.

     "Bisa dijelaskan Bu. Arsyad kurang mengerti arah pembicaraan ibu sama Tante Ema."

     "Arsyad, nanti juga kamu akan mengerti. Yang penting sekarang senangkanlah hati  dengan bepergian bersama calon istrimu. Naura. Dia gadis yang cantik bukan? Pasti mampu membuatmu senang." Bu Melia mengelus pundak putranya.

     "Iya nak Arsyad. kalian harus mendekatkan diri terlebih dahulu. Naura sudah lama merindukan Nak Arsyad." Tambah Bu Ema.

     Tidak lama berselang muncullah Naura bersama 4 gelas minuman dalam nampan yang ia bawa.

     "Nih silakan diminum ya Bang Arsyad, Tante Melia."

     "Terima kasih cantiik." Bu Melia meraih minuman tersebut dan menyeruputnya.

     "Minuman yang sungguh nikmat. Sepertinya Naura memang calon istri yang luar biasa. Sudah cantik, tahu tugas istri bagaimana, sudah begitu berpendidikan tinggi juga. Wanita luar biasa." Kembali bu Melia melontarkan puji-pujian untuk Naura, membuat perempuan itu tersipu.

    Arsyad berpikir, wajar saja ibunya suka dengan Naura. Sepertinya Naura memang baik. Di samping itu, lihatlah kostum yang dikenakannya. Terlihat anggun dan menutupi lekuk tubuh. Tidak salah apabila Bu Melia mengatakan Naura gadis yang alim.

     Namun Arsyad juga sadar bahwa sikap asli dari seseorang tidak bisa dinilai begitu saja dari penampilan.

     "Ya sudah nak Arsyad tidak usah bingung terus. Tuh Naura sudah selesai bersiap-siap. Kalian pergi sekarang ya." Ujaran Bu Ema mengejutkan Arsyad.

     Arsyad melihat Naura sudah rapi dengan gamis panjang lengkap dengan hijabnya.

     "Ayo Bang Arsyad, kita pergi sekarang."

     Naura memegang kunci mobil dan wanita itu mulai melangkahkan kaki keluar air saat mengikuti dari belakang.

     Di dekat mobil, Naura menunggu Arsyad.

     "Bang, Abang yang bawain mobilnya ya. Nih Kuncinya." Naura menyerahkan kunci mobil.

     "Kenapa nggak pakai mobil Abang saja."

     "Katanya nanti ibu ibu kita akan pergi bareng pakai mobil Bang Arsyad. Makanya sekarang kita pakai mobil aku aja deh."

     Tidak mau berdebat Arsyad menuruti keinginan Naura.

***

     "Bang, Abang suka gaun pengantin yang warna apa?" Di dalam perjalanan Naura membuka percakapan.

     "Entahlah, semuanya sesuai selera masing-masing." Arsyad menjawab tanpa menoleh.

     "Iya Abang benar semuanya sesuai selera. Tapi sepertinya kita harus belajar mempunyai selera yang sama."

     "Oh ya? Kenapa?"

     "Abang pura-pura nggak tahu atau gimana sih? Ya sudah kita belok ke sana. Berhenti di sana." Naura menunjuk sebuah gedung besar.

      Arsyad menurut. Dengan segera ia membelokkan mobilnya ke arah yang ditunjuk Naura.

     "Ayo Bang kita masuk ke dalam."

     Arsyad masuk mengikuti langkah kaki Naura. Baru saja masuk, Arsyad dibuat terheran-heran. Rupanya itu sebuah toko yang menjual aneka gaun pengantin mahal.

     "Kok ke sini, Naura? Untuk siapa kita membeli gaun pengantin?" Arsyad yang sedang kebingungan bertanya.

     "Untuk Kita." Jawab Naura tanpa rasa bersalah.

Bersambung...

  

    

 

    

    

    

    

    

    

    

     

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Pake hijab tertutup pakaiannya giliran sama co yg blm mahram malah jabat tgn situ sadar ora?
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
laki2 kok lembek nggak punya pendapat sendiri, bisa disetir.hih gemes .pengen brjek2.
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
suami yang tidak memiliki komitmen mengasihi istrinya yang pertama.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status