Bab 5
Menjelang sore baru lah Bu Melia mengajak Arsyad pulang. sebenarnya dari tadi Arsyad mengisyaratkan kepada ibunya agar segera pulang tapi perempuan itu itu tidak menggubris.
"Bagaimana sosok Naura menurutmu? Apa dia cukup cantik untukmu?"
"Entahlah, Bu. Iya, aku akui dia cantik."
"Lalu apakah kamu masih ragu untuk menikahinya?"
"Sekarang belum saatnya berbicara begitu. Bahkan aku belum bicarakan ini sama Ika. Oh iya Ika, dia pasti sudah lama menunggu."
Arsyad melirik jam tangannya menjelang pukul 16.00. hatinya mulai gelisah.
"Tadi pagi kita bilang sama Ika pergi tidak akan lama. Tapi tahu-tahu pulangnya sudah sore begini. Pasti ia merasa dibohongi." Gumam Arsyad.
"Ika lagi Ika lagi, bosan Ibu dengar kamu sebut-sebutin nama Ika terus. Seperti tidak ada perempuan lain saja. Istri mandul saja dibangga-banggakan."
"Bu, saya rasa tidak ada salahnya aku sebagai suami mengkhawatirkan Ika. Bukan maksud membangga-banggakan."
Bu Melia menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa kali beliau menghela nafas kasar.
"Kamu masih tidak mengerti juga. Lama-lama ibu bisa kecewa sama kamu. Pokoknya malam nanti kamu harus membicarakan soal ini sama Ika. Kalau tidak, ibu yang akan membicarakannya."
"Tidak, Bu. Biarkan aku saja."
"Ingat waktumu cuma tersisa malam nanti. Ibu tahu ini terkesan terburu-buru. Tapi mau bagaimana lagi, ibu dan Bu Ema telah terlanjur menyusun dan menyiapkan semuanya, termasuk gedung yang akan menjadi tempat resepsi kalian juga telah di siapkan. Pernikahan kalian akan diselenggarakan dalam waktu yang tidak lama lagi.
"Apa? Kalian sudah menyiapkan semuanya? Dan itu kalian lakukan tanpa sepengetahuanku?" Arsyad membulatkan kedua matanya.
Bu Melia juga tidak mau kalah. Kedua mata Bu Melia melotot melihat Arsyad.
"Arsyad, seharusnya kamu bersyukur pernikahanmu dan Naura akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Dan kamu tidak susah-susah mempersiapkannya. Karena semuanya ibu dan Bu Ema yang menghandle. Kamu tidak perlu bersusah payah. Tapi kamu bukannya berterima kasih, malah seperti tidak senang."
Arsyad geleng-geleng kepala semakin tidak mengerti dengan cara berpikir ibunya.
"Makanya ibu menyuruh kamu untuk membicarakan masalah ini cepat sama Ika. Ibu tidak mau nanti apabila Ika terkejut dan marah, lalu merusak acara pernikahan kalian."
Arsyad merasa kesulitan mencari alasan untuk mengelak dari permintaan ibunya. Ibunya dan ibu Ema sudah bertindak terlalu jauh. Rasa kesal dan marah tidak bisa Arsyad ungkapkan.
"Baiklah Bu, sepertinya ibu memang sangat menginginkan aku menikah dengan Naura. Bahkan tanpa persetujuanku terlebih dahulu, kalian diam-diam mempersiapkan semuanya."
"Sudah seharusnya kamu dengarkan ibu. Biar tidak jadi anak durhaka sebagai anak. Ibu sayang sama kamu, Arsyad. Kamu satu-satunya anak ibu. Ibu memikirkan masa depan kamu. Makanya ibu mau kasih kamu jodoh yang benar-benar bisa membawamu ke masa depan yang cerah dan bahagia."
"Iya, iya. Aku mohon ibu tidak usah bicara lagi. Kepalaku pusing, Bu."Arsyad mempercepat laju kendaraan yang ia kendalikan. Bu Melia berdecih melihat gelagat anaknya.
"Kepalamu pusing karena adanya Ika. Ika yang tidak bisa membahagiakanmu. Coba saja kalau dia bisa melahirkan seorang anak. tentu saja kalian akan menjadi keluarga yang bahagia, begitu juga dengan ibu, bisa menimang cucu. Tapi sayangnya perempuan itu tidak kunjung hamil."
Arsyad semakin di buat kalut dengan kata-kata ibunya yang terus-menerus memojokkan sosok Ika.
"Iya Bu, iya . Aku bilang berhenti dulu bicara. Aku akui Ika memang tidak sempurna."
"Makanya kalau kamu sadar Ika tidak sempurna, sudah semestinya kamu harus menerima Naura sebagai istri barumu. Wanita yang lebih berbobot dan berpendidikan."
Arsyad menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar. Sejenak Arsyad memperlambat laju mobil. Perlahan mulutnya berbicara dengan intonasi yang dipelankan.
"Bu, sekali lagi Arsyad mohon, coba berhentilan memojok-mojokkan Ika. Ibu tenang saja, aku akan menikahi Naura sebagaimana yang ibu mau."
Bu Melia tersenyum tipis.
"Bagus...!"
***
Dengan lesu Ika mempersiapkan pakaian suaminya yang baru saja selesai mandi. Tidak ada senyum di wajahnya, tidak ada senda gurau dan canda tawa seperti biasa. Wanita itu terlihat dingin.
"Itu, Bi. Pakaian Abi. Sudah Abi taruh di atas ranjang. kalau tidak suka dengan pakaian yang Ami ambilkan, Abi boleh ambil pakaian lain di lemari." Ujar Ika tanpa menoleh.
Arsyad yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi menatap heran kepada istrinya. Rasa khawatir menyeruak di hati.
Dengan segera Arsyad memakai pakaian yang tadi sudah disiapkan Ika untuknya. Arsyad bertanya-tanya dengan perubahan istrinya yang tiba-tiba.
Semula Arsyad mengira istrinya tersebut akan marah ketika sang suami pulang tatkala hari sudah menjelang sore. Namun diluar dugaannya, wanita itu cuma diam menyambut kepulangan Arsyad dan ibunya. Tidak ada kemarahan, tidak ada ujaran-ujaran kesal, tidak juga bertanya dari mana dan mengapa.
Ini kali pertama selama lima tahun pernikahan, Arsyad menyaksikan sikap dingin dari istrinya. Padahal biasanya Arsyad pulang kerja kelamaan saja, istrinya itu sudah bertanya ke mana-mana. Bukan cerewet, tapi Ika mengaku begitu mengkhawatirkan keadaan sang suami.
Biasanya meskipun belum dikaruniai anak, kehidupan mereka bahagia dengan keceriaan dan kehangatan Ika. Entah mengapa sore ini Arsyad merasakan perubahan besar dari istrinya.
Terasa semakin bingung, Arsyad mulai memikirkan cara bagaimana mengawali pembicaraan penting yang akan ia sampaikan pada Ika nanti, wanita yang telah menemaninya selama lima tahun belakangan.
Hari menjelang malam. Arsyad duduk di teras rumah.
"Bi, ayo masuk, sudah waktunya makan malam...!" Ajakan dari Ika mengagetkan Arsyad.
"Iya Mi, Abi masuk sebentar lagi."
Selepas itu, Ika masuk ke dalam. Bahkan jawaban dari Arsyad belum sepenuhnya terucap.
Arsyad membatin dalam hati, apa yang membuat istrinya bersikap kaku hari ini. padahal belum lagi ia ceritakan masalah permintaan ibunya untuk menikahi Naura.
"Apakah ibu yang lancang membicarakan hal ini pada Naura mendahului aku? Huuuuh, masalah ini menjadi benar-benar rumit."
Arsyad kembali mengacak-acak rambut. Namun untuk menghargai ajakan Ika barusan, Arsyad melangkah masuk menyusul langkah Ika. Meski saat itu ia sama sekali tidak memiliki nafsu makan.
Dilihatnya Ika dan Bu Melia duduk menghadap ke meja makan. Arsyad ikut nimbrung. Ika dengan cepat mengambilkan nasi untuk Arsyad dan menaruh lauk-pauknya. Sementara tangannya sibuk bekerja, namun mulut itu tetap lah diam. Sesekali terlihat senyum tipis yang nampak terlalu dipaksakan terlukis disudut bibirnya."Tidak usah terlalu banyak ya, Mi."
"Iya, Bi." Jawabnya sambil mengurangi porsi nasi di piring.
"Iya, tidak usah banyak-banyak, Ika. Tadi Arsyad sudah makan banyak di rumah Naura. Masakan Naura enak." Tiba-tiba saja Bu Melia menimpali pembicaraan mereka.
Arsyad tergugu. Sedikit mendelik ke arah sang ibu yang malah tersenyum sinis.
"Apa-apaan sih, Bu? aku tidak mau makan banyak-banyak karena memang selera makanku sedang kurang, bukan karena sudah makan di rumahnya Naura." Jawab Arsyad tidak senang.
Melihat Arsyad sedikit meninggikan volume suara, Ika mendelikkan mata.
"Abi, maaf, Abi tidak boleh berbicara seperti itu sama ibu kandung sendiri. Bicaralah yang sopan." Ika menyela.
"Nah tuh Ika benar kamu tidak boleh melawan ibu. Setidaknya kamu harus menuruti kata-kata ibumu sendiri" ujar Bu Melia menanggapi ucapan Ika barusan.
"Ya, Bu aku tahu."
Setelah itu Ika tidak lagi mempedulikan ocehan ibu mertuanya, sesendok dua sendok makanan ia masukkan ke mulutnya. Meski makanan itu terasa tidak sanggup untuk melewati tenggorokannya, Ika tetap berusaha. Agar Arsyad mengira ia akan selalu baik-baik saja.
tanpa Ika sadari, Arsyad memperhatikan tingkah istrinya. selama makan, istrinya itu tetap diam. Hanya sesekali terdengar suara perpaduan sendok dan piring kaca yang ia gunakan memecah suasana ruang makan.
***
Malam menjelang, Arsyad berpikir sudah saatnya untuk bicara. Arsyad menguatkan hati.
Setelah terasa waktu sedikit tenang, Arsyad mencari Ika ke sana ke mari. Di dapur, tidak ada. Di ruang tamu, di ruang keluarga, di teras, tidak ada.
"Kemana perginya dia?" Gumam Arsyad.
Akhirnya Arsyad melangkah menuju ke lantai atas, dilihatnya lah seorang perempuan tengah duduk di balkon seorang diri. Dengan tatapan mata menatap kosong ke luar sana.
Arsyad merasa perih melihat keadaan istrinya. Perlahan Arsyad mendekati Ika.
"Ika sayang, mengapa malam-malam malah berada di sini. Sendirian lagi. Kamu bisa kedinginan, Sayang." Arsyad menyapa sambil menyentuh pundak istrinya.
"Abi juga mengapa sampai menghampiri Ika ke sini. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan bukan? Duduklah, Bi. Ami akan dengarkan baik-baik."
Duggh...
Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya.
"Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan.
"Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan."
Bersambung...
Bab 6 Jantung Arsyad berdegup. Apakah mungkin sang istri sudah menebak maksud kali ini? Entah mengapa lidah itu terasa kelu. Ada rasa gugup dan ragu untuk menyampaikan maksud yang sebenarnya. "Apakah Ami sudah tahu semuanya?" Arsyad ingin memastikan. "Bicaralah dulu. Jangan ragu dan jangan kaku. Insya Allah Ami akan menerima dengan lapang dada apapun yang akan Abi bicarakan." Mendengarnya Arsyad merunduk. Sebenarnya matanya mulai merah. Ada bulir-bulir yang tertahan di sana. saat ini adalah perjuangan bagaimana ia akan menyampaikan sebuah berita yang tentu saja akan menghujam hati Ika. Namun Arsyad menahan diri. Seperti kata ibunya, dia adalah laki-laki. Tidak boleh menangis di depan perempuan. Begitupun Ika, ia su
Bab 7 Menjelang malam, Ika selonjoran di sofa kamar sembari menonton sinetron favoritnya. Meskipun kedua mata itu tertuju ke monitor televisi, namun sesungguhnya pikiran Ika tidaklah fokus ke sana. Malam ini Arsyad dan Naura kembali tidur bersama di kamar yang telah disulap sedemikian rupa. Dan itu satu atap dengan Ika. Apakah itu pilihan mudah baginya untuk menerima? Sakit, namun cukup rasa sakit itu ia pendam dihati. Tidak bisa ia uraikan. Krieet... Pintu kamarnya terbuka. Ika menoleh. Arsyad memandangnya tersenyum, lalu pria itu melangkah masuk menghampiri. "Mii, kenapa kok kelihatannya lesu sekali?" Arsyad mere
Bab 8 Belang wanita kedua "Pa, Mbak Ika telah selesai memasakkan masakan yang istimewa untuk sarapan kita. Kelihatannya sedap sekali, Pa." Naura menghampiri suami barunya. "Ya memang setiap masakan Ika pasti menggugah selera." "Kalau begitu Bagus lah, Pa. Artinya kita tidak perlu mencari asisten sebagai tukang masak." Lanjut Naura. "Maksudmu?" "Maksudku, kita bisa bekerja sama. Aku dan kamu mencari uang. Sedangkan Mbak Ika bertugas di rumah. beres-beres memasak mencuci mengepel dan sebagainya. Adil kan?" Arsyad memandang bibir sensual Naura yang menggoda. "Mmm, sayang. Pendapatmu tidak salah sih. Tapi... Bagaimana kalau
Bab 9 "Mbak, tolong ambilkan aku minum? Aku haus nih baru pulang kerja." Terdengar suara permintaan dari Naura. Ika yang sedang membalas pesan-pesan pelanggan yang masuk di ponselnya, merasa risih dengan permintaan Naura. "Apa kau tidak bisa mengambilnya sendiri ke dapur Naura?" Sahut Ika. Naura tidak suka mendengar jawaban kakak madunya. "Masa cuma ambilkan aku minum saja susah? Apa gunanya Mbak di rumah kalau cuma diam nongkrong. Padahal aku baru pulang dari banting tulang cari uang untuk makan kita. Supaya mulut mbak bisa makan. Ini aku cuma minta ambilkan minum saja mbak keberatan." Suara Naura kian keras. Ika bangkit dari duduknya, terus terang Ika tak suka dibilang demikian oleh Naura.
Bab 10 Arsyad memandang wajah Naura wajah itu masih tersedu dengan buliran air jatuh dari sudut matanya. Arsyad yang mulai merasa jatuh cinta pada istri keduanya itu, merasa iba. "Mi mengambil air itu bukan pekerjaan susah, apa salahnya Ami mengambilkannya. tidak perlu juga menjadi masalah besar apalagi sampai bertengkar. Lihat Naura menangis. Bersikaplah lebih dewasa, Mi. Kelakuanmu tidak seperti yang Abi lihat selama ini." Istri mana yang tidak sakit apabila suaminya membela sang istri kedua secara blak-blakan di depan mata. Tanpa mau menelisik duduk permasalahan yang sebenarnya. "Bi, kalau sekiranya Naura sakit atau tidak bisa berjalan, tentu saja aku ingin memenuhi permintaannya apalagi cuma sekedar mengambilkannya air minum. Tapi kalau kakinya masih kuat untuk berjalan. Tangannya juga masih kuat untuk menuangkan air putih ke gelas, maaf bi aku bukan orang suruhan. S
Bab 11 "Segitukah teganya Ami mengusirku? Apakah Ami ingin Abi tidur menemani Ami malam ini?" Cih, Ika berdecih halus. "Aku ingin istirahat. Keluarlah." Dengan terpaksa, Arsyad melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang telah banyak menyimpan kisah tersebut. Namun sekarang terasa kamar itu tidak sehangat dahulu. Yang ada hanya sikap dingin dari sang istri tuanya. *** Pagi hari telah tiba, pagi ini sengaja Ika tidak keluar kamar seperti biasanya. Ika hanya menghabiskan waktu di kamarnya, dengan menelisik pesan-pesan dari para pelanggan usaha online nya. Ika tersenyum melihat perkembangan usaha online nya cukup maju dibanding dengan toko pakaian yang ia jual secara offline. "Alhamdulillah, Tuhan memang mengerti akan perasaan hamba-hambanya. Dia pa
Bab 12 "Dan juga untukmu Arsyad, sekalipun kamu tidak pernah membelikan aku barang-barang mewah. Aku tidak masalah, lagi pula aku tidak pernah memintanya padamu. Tapi kau pikir aku tidak tahu kamu membelikan sebuah kalung mahal untuk Naura? Aku menyaksikan engkau memasangkan kalung itu di leher istri mudamu ini. Sedangkan aku, tidak pernah kau hadiahi barang-barang seperti itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. jadi sebaiknya mulai sekarang, kalian berdua tidak usah pusing dan tidak usah ikut campur dengan semua yang ku pakai dan apapun yang aku lakukan." Tegas Ika kembali. Gejolak amarahnyalah yang membuat ia mampu meluncurkan kata-kata seperti itu. "Hei Mbak Ika, Mbak mau tahu alasannya mengapa Arsyad memberikan aku hadiah? Sedangkan Mbak sendiri tidak pernah diberikan apapun. Itu artinya Arsyad lebih mencintai aku daripada Mbak. Mbak seharusnya introspeksi diri. Tidak usah salah menyalahkan. Perba
Bab 13 Dalam perjalanan menuju kantor, Naura terus saja bicara penuh penekanan pada Arsyad. "Pa, siapa membelikan sepatu dan tas mahal untuk Ika? Papa, kan?" "Tidak, bukan Papa yang membelikan. Papa saja tidak tahu dari mana Ika mendapatkan uangnya." Jawab Arsyad. "Memangnya berapa sih gaji Mbak Ika sebulan dari mengurus usaha online kecilnya itu?" Tanya Karin ingin memastikan. "Halah... Penghasilan kakak madumu tidak sampai tiga juta sebulan." Arsyad menjawab asal. Pada dasarnya memang Arsyad tidak tahu berapa nominal gaji Ika yang sebenarnya. Selama ini Arsyad mengakui ia tidak ambil pusing dengan penghasilan yang didapatkan Ika. Yang ia tahu apabila ada keperluan dan kebutuhan rumah tangga yang kurang, Ika bersedia menutupi. "Lalu bagaimana caranya dia bisa membeli sesuatu