Share

Bab 3

Bab 3

 

 

     "Ami, kenapa menangis? Apa yang sedang Ami pikirkan? Ayo ceritakan sama Abi."

 

     Sentuhan tangan Arsyad di pundaknya dari belakang, sontak membuat Ika terkejut. Dia merasa lalai, mengapa tangisannya sampai bisa menarik perhatian sang suami.

 

     Apa yang harus ia katakan? Ika bingung, haruskah ia menyampaikan keluh kesahnya? Tapi tidak, wanita itu masih bisa mengontrol hatinya. Walaupun beban batin yang ia pikul begitu berat, tapi setidaknya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu.

 

     "Tidak, Bi. Ami tidak apa-apa?"

 

      "Tapi Ami menangis? Jangan bohong, Mi."

 

     "Tidak, Ami baik-baik saja. Ini tadi mata Ami kelilipan. Makanya terasa sedikit perih." 

 

     "Kelilipan dimana?"

 

     "Tadi tiba-tiba saja ada serangga yang terbang, eh tiba-tiba masuk ke mata Ami. Sudah, Bi. Tidak apa-apa." 

 

     "Sini, coba Abi lihat, siapa tahu serangga ya masih ada di dalam." 

 

     Ika bingung. Ia takut apabila Arsyad tidak menemukan tanda-tanda adanya bekas gigitan serangga atau semacamnya, karena memang matanya merah bukan karena hal itu.

 

     "Sudah tidak ada lagi, Bi. Tadi sudah Ika keluarin serangganya."

 

     "Beneran?"

 

     "Iya, masa Ami bohong." Ika memaksa untuk tersenyum.

 

     "Abi heran sama Ami pagi ini, kok kelihatan agak sungkan sama Abi," lanjut Arsyad.

 

     Semula Ika mengira pertanyaan Arsyad akan berakhir, tapi nyatanya lelaki itu masih saja melontarkan pertanyaan yang lain. Membuat suasana hati Ika semakin tidak menentu.

 

     "Arsyad, Apa yang kau lakukan di sana? Ika bisa menyusun sayuran-sayuran itu sendiri di kulkas. Ia tidak perlu bantuanmu. Untuk apa kamu menunggunya di sana?"

 

     Suara ibu mertua dari ambang pintu dapur. Sontak membuat pasangan suami istri itu terkejut.

 

     "Ibu? Arsyad cuma duduk, tidak membantu apa-apa. Iya kan, sayang?" Arsyad menoleh ke istrinya sebagai syarat minta pendapat.

 

     "Iya Bu, Arsyad benar." Ika mengiyakan.

 

     "Baiklah kalau begitu. Arsyad, tolong kamu menemani ibu mengambilkan pesanan, dan mengantarnya ke rumah Naura."

 

    Arsyad terkejut.

 

    Sedangkan Ika, setelah mendengar mertuanya menyebut nama Naura, ada rasa perih yang menusuk hati Ika. Ada rasa yang sulit diungkapkan mendengar nama perempuan yang mertuanya sebut "Naura".

 

     "Pesanan apa, Bu? Kenapa harus mengantarnya ke rumah Naura?" 

 

     Arsyad sesekali melirik kearah Ika. Melihat reaksi istrinya. Namun saat sang istri tetap diam saja. Meski Ika terlihat tidak menanggapi ucapan Bu Melia, namun Arsyad bisa melihat wajah itu menunduk lesu. Ada gelagat yang tidak baik pada wajah sang istri.

 

     "Arsyad, tidak usah terlalu banyak tanya. Ibu cuma minta tolong menemani Ibu mengambilkan pesanan dan mengantarnya ke rumah Naura. Itu saja."

 

    Sesaat Arsyad diam, kembali ia menoleh pada Ika,

 

     "Mi, boleh Abi pergi menemani Ibu sebentar?"

 

     "Bagaimana kalau Ika ikut?" Usul Ika.

 

     "Apa? Ikut? Pekerjaanmu di rumah masih belum selesai. Maaf Ika, lebih baik kau selesaikan dulu pekerjaanmu." Timpal Ibu Mertua.

 

     "Ya sayang, lagian Abi cuma sebentar. Boleh ya?"

 

     "Ya silakan, Bi." Ika menjawab pendek.

 

     "Halah, Arsyad. Mau ambil pesanan saja pake pamit ke Ika. Sering Ibu bilang sama istri tidak perlu berlebihan. Biasa-biasa saja." Sela Bu Melia.

 

     "Ya, Ibu benar. Abi seharusnya mendengar apa kata ibu." 

 

     Arsyad menghirup nafas panjang, lalu mengelahnya perlahan.

 

     "Kalau begitu, Abi pergi ya, Sayang. Sebentar saja habis ngambil pesanan dan mengantarkannya, Abi akan segera pulang."

 

     "Ya, Bi pergilah."

 

 

***

 

     

     Dalam perjalanan,  Arsyad terus kepikiran pada istrinya. Membayangkan bagaimana apabila Ika mengetahui rencana sang ibu. Sikap Arsyad yang lebih banyak diam. Membuat Bu Melia dongkol. 

 

     "Arsyad? Apa Ika benar-benar telah menguasai hatimu? Sehingga membuatmu jarang bicara seperti ini. Kamu cuma diam saja, mengabaikan Ibu kandungmu sendiri."

 

     Arsyad tertegun. Dia tidak menyadari kalau dari tadi Bu Melia mengamati gerak geriknya.

 

     "Ah tidak Bu. Arsyad cuma merasa tidak enak saja sama dia."

 

     Mendengar jawaban itu, Bu Melia semakin kesal.

 

     "Tidak enak kenapa? Apa yang membuat perasaanmu terlalu condong sama Ika, dibanding sama Naura? Tidakkah kalian perbedaannya begitu besar di antara mereka?

 

     "Tentu saja karena dia istriku, Bu." Jawab Arsyad cepat.

 

     "Oh jadi karena dia istrimu, kamu lalu mengabaikan aku yang merupakan ibu kandungmu? Sekarang ibu tanya sama kamu, kamu lebih menyayangi Ika atau Ibu?"

 

     pertanyaan Bu Melia membuat Arsyad berada dalam dua pilihan yang berat. Karena memang kedua-duanya merupakan wanita yang ia sayang.

 

     "Tidak usah membuatkan aku pilihan seperti itu. Ibu maupun Ika sama-sama aku sayangi. Sama-sama aku cintai." 

 

     "Sepertinya kamu menyejajarkan posisi ibu dan Ika. Tidak bisa, Arsyad. Aku adalah ibumu, yang harus kau hormati. Kau tentu sudah tahu dengan pepatah yang mengatakan "Jasa Ibu tidak akan terbalaskan". Kau dan ibu terikat dengan ikatan darah yang kuat. Sedangkan kau Dan Ika hanya terikat dengan satu akad pernikahan. Dan bisa terpisahkan kapan saja. Apakah kamu masih menyejajarkan posisi ibu dan Ika di hatimu?"

 

     Arsyad bukannya tidak tahu dengan pepatah yang disebutkan oleh ibunya. Memang Arsya tidak menyalahkan pepatah itu. Memang jasa Ibu tidak akan pernah terbalaskan. Tapi tidak berarti semua perintah seseorang ibu harus dituruti. Karena ia sadar seorang ibu juga adalah manusia biasa. Tidak semua kemauan seorang ibu bisa dibenarkan.Termasuk perintah ibunya saat ini. Sungguh menikahi Naura adalah sebuah keputusan yang berat. 

 

     "Kemana kita harus mengambil pesanannya?"

 

     "Kita tidak langsung mengambil pesanannya, tapi terlebih dahulu kita ke rumah Naura."

 

     "Lha, tadi kata ibu mau ambil pesanan dulu?"

 

     "Tidak usah nanti kalian saja yang ambil."

 

     "Kalian siapa yang Ibu maksud?"

 

     "Kau dan Naura."

 

     "Apa? aku dan Naura? Kenapa harus kami berdua?" Arsyad melotot keheranan. Hatinya bertanya-tanya ada apa lagi kah ini?"

 

 

     Arsyad menerka-nerka bahwa sang Ibu  mengajaknya ke rumah Naura, pastilah ada niat tertentu menyangkut perjodohan yang ingin beliau lakukan. Dalam hati Arsyad memohon pada yang kuasa semoga saja Bu Melia terbuka hatinya dan menarik keinginan untuk menyuruh anak lelakinya menikahi Naura.

     

 

Bersambung...

 

     

     

    

 

     

     

     

     

 

 

 

 

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Emi Susanti
sebenarnya malas baca novel dgn tokoh wanita SPT ini, wanitangak berdaya padahal punya penghasilan,sok bakti akhirnya cerai juga,..
goodnovel comment avatar
Anitha Yunitha
,semoga mertuanya suatu saat menyesal krna melukai perasaan hati seorang istri ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status