Share

Bab 2

Bab 2 

 

 

      Ada rasa getir menusuk jantung, ketika Ika mendengar ucapan pedas dari bibir mertuanya.

 

     "Sekali lagi ibu tegaskan, nikahilah Naura."

 

     Arsyad terdiam cukup lama.

 

     "Baiklah, Bu. Sepertinya ucapan ibu perlu di pertimbangkan. Dan juga aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Aku harus meminta pendapat Ika."

 

     Akhirnya terdengar juga lelaki itu bicara.

 

     "Pertimbangkan dengan baik, Arsyad. Jika kamu menikahi Naura,  maka secara tidak langsung kamu memperbaiki perekonomian keluarga. Dengan gelar pendidikannya, tidaklah sulit bagi Naura untuk menemukan pekerjaan yang layak. Tidak seperti Ika yang bergantung sepenuhnya pada gajimu."

 

     Dug... Kembali jantung Ika seperti tertusuk duri. Nyeri teramat nyeri. Berbagai pertanyaan silih berganti datang di pikiran. Apakah mungkin ia seburuk itu di mata sang mertua?  serendah itukah sosok Ika di mata Bu Melia? Apa perempuan itu tidak mengetahui usaha Ika selama ini? Entahlah...

 

     Padahal Bu Melia tahu bahwa Ika bukan sekedar seorang ibu rumah tangga yang hanya berdiam diri dirumah. Ika juga mempunyai usaha kecil-kecilan. Ia mempunyai toko online yang mulai berkembang. 

 

     Meski tidak menghasilkan uang dengan jumlah yang cukup banyak, namun penghasilannya bisa untuk mencukupi kebutuhan pribadinya sendiri dan membantu kebutuhan rumah tangga.

 

     Dengan begitu uang enam juta yang diberikan oleh Arsyad padanya setiap bulan selama ini, lebih dari cukup untuk membayar cicilan mobil dan rumah. Di luar itu, karena hanya hidup berdua, Ika masih bisa menyisihkan sebagian uang sebagai tabungan.  

 

     "Ibu tidak mau tahu, dua hari lagi kamu harus memberikan keputusan yang pasti." Kembali Bu Melia menegaskan.

 

    "Bu, apa Ibu tidak memikirkan perasaan Ika? dia pasti terluka apabila Arsyad menceritakan masalah ini. Apalagi sampai menyampaikan niat untuk menikahi Naura." Arsyad masih berusaha untuk mengurungkan niat ibunya.

 

     "Kamu ini bagaimana sih, Arsyad? Tadi kamu bilang kamu setuju dan ingin membicarakannya terlebih dahulu sama si Ika. Kok sekarang ngomongnya begitu. Kamu lebih peduli perasaan Ika, apa perasaan ibu? Ibu ini sudah lama menunggu kehadiran cucu. Tapi istrimu itu tidak bisa memberikan keturunan. Kalau dia sungguh-sungguh mandul kamu mau bilang apa? Apa kamu ingin selamanya Ibu tidak mempunyai cucu? Dan kamu ingin selamanya tidak mempunyai anak? Berpikirlah yang luas, Arsyad. Wanita bukan cuma Ika. Jangan berpikir hanya dari satu sisi saja. Kau hanya memikirkan perasaan Ika, tapi tidak memikirkan yang lain. Kamu ingin membuat Ibu kecewa?"

 

     "Bukan seperti itu yang Arsyad maksudkan, Bu. Tapi..."

 

     "Tidak ada tapi-tapian. Sekali ini ibu mohon kamu menuruti permintaan ibu. Sekali ini saja. Tolong jangan membantah."

 

     "Bu... Baiklah nanti malam akan kucoba membicarakannya baik-baik sama Ika."

 

     "Pokoknya Ibu tidak mau kamu hanya coba-coba. Kau adalah laki-laki,  lelaki berhak menentukan keputusannya sendiri. Jangan terlalu mengikat keputusanmu pada Ika, Arsyad. Aku tak suka kau menjadi lelaki pengecut. Jangan pernah jadi suami takut Istri. Kalau kamu mau  berpikir jernih, pasti kau sadar bahwa tidak ada yang bisa kamu banggakan dari istri semacam Ika."

 

     Sungguh, Ika yang mendengar percakapan mereka, dibuat tidak percaya dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh Bu Melia. 

 

     Ika merasa pilu, setelah kedua orang tuanya tewas beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan, maka Bu Melia lah yang ia anggap sebagai orang tua satu-satunya. Namun sekarang, orang yang ia hormati itu mengambil tindakan yang sangat menyakiti hatinya.

 

     Sebelum suami dan mertua menyadari kehadirannya, Ika segera mengambil dompet yang tadi tertinggal di atas meja, dan diam-diam meninggalkan rumah. 

 

    Dengan muka sayu, Ika kembali ke pasar. Tidak ada yang tahu akan kehadirannya di rumah tadi,   tidak ada juga yang tahu jika ia telah mendengar percakapan rahasia antara ibu mertua dan suaminya.

 

     Entah bagaimana menggambarkan suasana hati Ika saat itu. Sungguh sulit untuk diuraikan. Perkataan Ibu mertuanya tadi tidak bisa dianggap sebagai sebuah lelucon. 

 

     Dulu memang pernah Bu Melia bercerita tentang sosok Naura pada Ika. Bahkan dulu ibu mertua pernah membawa perempuan itu datang ke rumah tanpa sepengetahuan Arsyad.

 

     Bu Melia membangga-banggakan Naura adalah seorang sarjana ekonomi. Karena itu wajar saja jika saja Ika yang hanya lulusan SMA, dipandang sebelah mata oleh ibu mertua.

 

     Bertemu sekali dengan Naura, membuat Ika menyadari, dari segi wajah, putri dari sahabat bu Melia itu memang memiliki wajah yang cukup cantik. Dengan tubuh yang tinggi semampai, dan bentuk tubuhnya yang sintal dan berisi. sungguh dia adalah wanita idaman bagi sebagian pria yang melihatnya.

 

     Ika menyeka air mata yang mulai kembali bercucuran.

 

     "Wajar Ibu ingin menggantikan aku dengan menantu yang lebih baik. Hiks... Naura memang memiliki banyak kelebihan dibanding aku."

 

     Sebetulnya Ika tidaklah jelek, hanya saja ia lebih suka berpenampilan sederhana. Tidak terlalu sederhana, namun tidak berlebihan. 

 

     "Mungkin Ibu benar, tidak ada yang bisa dibanggakan dariku. Mungkin ini memang salahku tidak bisa memberikan keturunan. Hiks... Hiks... Maafkan Ami, Bi. Ami belum bisa melahirkan anak untukmu. Dan juga cucu buat ibu."

 

     Ika kembali menitikkan tetesan air mata.

 

     "Sudahlah, Ika. Ini adalah jalan hidup yang harus kamu lalui, bersabarlah." 

 

     Ika mengelus dada, berusaha menguatkan hati.

      

 

 

***

 

 

     Sebelum memasuki rumah, Ika memastikan tidak ada sisa-sisa kesedihan dan kepiluan di wajahnya. Melalui kaca spion sepeda motor, Ika bercermin, dan menekan-nekankan tisu di sekitaran matanya yang masih terlihat memerah. 

 

     "Sepertinya aku sudah terlihat baik-baik saja."

 

     Ika perlahan melangkah masuk, 

 

     "Ika? kamu sudah pulang? Kok lama sekali ya? Ibu nunggu-nunggu dari tadi lo. Ya sudah tidak apa-apa, bawa langsung ke dapur dan taruh di tempat semestinya. Kamu tahu kan di mana harus meletakkan bahan makanan dan sayuran?" 

 

     Ika yang baru saja datang disambut dengan celotehan mertuanya yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

 

     "Sudah tentu Ika tahu, Bu." Jawab Ika tanpa menoleh, karena takut jika mertua melihat matanya yang kemungkinan masih kemerahan.

 

     Dengan cepat ia melangkah ke dapur membuka kulkas dan menyusun bahan makanan yang baru saja ia bawa. Menghadap ke kulkas, Ika tidak bisa menahan air mata. Dalam hati Ika mengumpat-umpat, menyesali diri mengapa ia tercipta sebagai makhluk yang begitu cengeng. Mengapa bendungan air mata tidak mampu untuk menahan diri untuk keluar dari peraduan. 

 

     Ika membayangkan apa yang akan dikatakan oleh Arsyad nanti malam. apakah pria itu benar-benar akan menceraikannya atau meminta izin untuk menikahi Naura? Lalu apa jawaban yang akan Ika berikan? Gejolak pikiran membuat wanita berkulit bening tersebut seperti tidak mempunyai semangat hidup.

 

     "Ami, kenapa menangis? Apa yang sedang Ami pikirkan? Ayo ceritakan sama Abi."

 

     Sentuhan tangan Arsyad di pundaknya dari belakang, sontak membuat Ika terkejut. Dia merasa lalai, mengapa tangisannya sampai bisa menarik perhatian sang suami.

 

     Apa yang harus ia katakan?

 

 

Bersambung...

 

      

 

 

     

 

 

 

 

    

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rani Hermansyah
yang berkenan ya dikarya recehku istri yang tak dirindukan
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
Ngeri ah perasaan Istri Bila pihak ketiga ikut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status