Share

Part 2

Azriel, anak pertamaku yang kini sudah menginjak remaja sudah berdiri di halaman rumah ketika aku sampai.

Aku juga merasa kalau ada yang berbeda dengan si sulung. Sudah beberapa hari ini dia selalu menghindari sang ayah, bahkan sudah dua kali kepergok tengah cekcok dengan Mas Haris.

Apa mungkin diam-diam dia sudah tahu kalau ayahnya memiliki wanita idaman lain dan merahasiakannya dariku?

"Mama dari mana?" tanyanya seraya meraih tanganku dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat.

"Dari kantor Papa kamu. Abang tumben sudah pulang? Nggak eskul dulu?"

"Lagi malas. Pengen cepet-cepet ketemu Mama. Kangen!"

"Udah gede masih saja manja!" Menarik hidung mancungnya lalu merangkul tubuh putraku yang sudah berusia tujuh belas tahun itu.

Tidak lama kemudian terlihat mobil Mas Haris memasuki pekarangan rumah kami. Azriel lekas beranjak dari duduknya, mengayunkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Aku semakin curiga melihat tingkah bocah itu, karena sepertinya dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku.

"Ambar, tunggu!" Mas Haris mencekal lenganku ketika aku hendak menyusul Azriel masuk.

"Jangan sentuh aku, Mas! Lepas!" Menepis kasar tangan suami, merasa jijik disentuh oleh tangan yang baru saja menjamah tubuh perempuan lain.

"Tolong dengarkan penjelasan aku dulu. Aku di sini cuma korban. Devi yang merayuku. Sebagai seorang lelaki normal, wajar saja jika aku sampai tergoda. Aku minta maafkan, Ambar. Aku khilaf. Aku menyesal!"

"Apa kamu bilang, Mas? Korban? Terus, bagaimana dengan video yang kamu simpan di kartu memori, hah? Baji-ngan kamu, Mas! Tega mengkhianati cinta aku, padahal sudah lebih dari delapan belas tahun kita hidup bersama. Apa kamu tidak memikirkan anak-anak kita saat melakukannya?!"

"Tolong jangan teriak-teriak seperti itu, Ambar. Malu kalau sampai didengar tetangga. Kamu jangan bersikap kekanak-kanakan. Kita ini sudah tua. Kalau ada masalah itu dibicarakan dengan cara baik-baik, bukan seperti ABG labil kaya gini. Aku juga nggak suka cara kamu tadi di kantor. Nggak beretika dan berprikemanusiaan. Memalukan!"

"Kenapa musti malu? Memangnya kamu masih punya rasa malu, Mas? Bahkan sekarang para guru di sekolah Qila tahu apa yang sudah kamu lakukan dengan Devi!"

"Tidak mungkin, Ambar. Tidak mungkin pihak sekolah sampai tahu tentang perselingkuhan aku sama Devi. Pasti kamu yang memberitahunya ya?"

"Mereka memergoki Qila sedang menonton video menjijikkan kamu dan memanggilku ke sekolah. Kamu begitu ceroboh sampai-sampai video seperti itu dilihat sama anak kita. Memang ada sisi baiknya, sih, karena dari video itu aku bisa tahu hubungan kamu dan Devi!"

Mas Haris melungguh lemas di kursi teras. Ia lalu mengusap wajah gusar, sebelum akhirnya masuk ke dalam dan melihat keadaan Syaqila putri kami.

"Qila, coba kamu katakan, dari mana kamu mendapatkan video itu?!" Dengan suara menggelegar Mas Haris bertanya, membuat wajah Syaqila langsung ketakutan dan berlari ke arahku.

"Bilang sama Papa, dari mana kamu mendapatkan video itu?!" ulangnya sekali lagi, sambil berusaha menarik tangan Syaqila yang tengah mendekap erat tubuh ini.

"Sudah, Mas! Kamu nggak usah teriak-teriak. Kamu sudah ketahuan salah bukannya introspeksi diri, malah menyalahkan anak kecil yang tidak tahu apa-apa!" belaku tidak terima melihat Syaqila diperlukan seperti itu.

"Ini pasti ajaran kamu, Ambar. Kamu yang mengajari anak-anak untuk mengambil barang-barang milik papanya tanpa izin. Dasar ibu tidak becus!"

"Apa, Mas? Kamu menyalahkan aku karena kasus ini? Dasar playing victim. Kamu yang berbuat salah, tetapi malah menyalahkan orang lain. Lagian, Mas. Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti tercium juga baunya!"

"Kamu memang salah. Kamu nggak becus jadi istri juga seorang ibu. Kamu membosankan, cerewet, banyak ngatur dan sudah tidak menarik lagi. Wajar jika aku berpaling dan mencari perempuan lain!" bentak Mas Haris.

"Aku memang cerewet dan membosankan. Tetapi apa kamu lupa, dengan perempuan tidak becus inilah kamu pernah berjuang dari nol, hingga akhirnya sukses seperti sekarang ini!"

"Aku berjuang sendiri, Ambar. Aku yang kerja banting tulang, sementara kamu hanya di rumah!"

"Aku memang berada di rumah. Tetapi aku yang selalu mendoakan kamu. Bahkan modal usaha kamu dari hasil menjual perhiasan peninggalan almarhumah ibu aku. Apa kamu tidak ingat itu, Mas?"

"Kamu hitung saja berapa harga perhiasan kamu, biar aku ganti sepuluh kali lipat!"

"Dasar laki-laki tidak tahu diri! Lupa daratan kamu, Mas. Apa kamu tidak takut kalau sampai Tuhan mengambil semua yang Dia titipkan?"

"Kamu menyumpahiku?!"

"Stop!! Diam!!" Kami menoleh secara serempak mendengar suara berat Azriel dari ambang pintu.

Pria berusia tujuh belas tahun itu mengepal tangan di samping tubuh, menghampiri sang ayah lalu melayangkan tinju di rahang Mas Haris.

"Sudah cukup aku sabar menghadapi sikap Papa. Selama ini aku diam bukan karena takut sama Papa, tetapi masih menghargai perasaan Mama dan takut menyakiti hati Mama kalau sampai Mama tahu papa sudah selingkuh sama Tante Devi. Tetapi kali ini aku tidak akan tinggal diam. Aku sudah besar dan sudah sepantasnya melindungi Mama dari orang seperti Papa!" sungut Azriel sambil menunjuk wajah Mas Haris dengan sorot amarah yang kian menyala-nyala.

"Jangan ikut campur kamu, Bocah bau kencur!" balas Mas Haris tidak kalah sengitnya.

"Asal Mama tahu, sebenarnya Papa sudah lama berhubungan dengan Tante Devi dan sering menghabiskan waktu bersama. Selama ini aku tahu tetapi selalu diam karena Papa selalu mengancam akan berhenti membiayai sekolah aku dan Qila, juga mengancam akan memisahkan kami dengan Mama!"

Aku menatap tidak percaya ke arah laki-laki yang menyandang gelar suami, syok mendengar pengakuan anakku.

Sekejam itu kah suamiku terhadap buah hatinya? Rela mengorbankan masa depan serta perasaannya hanya demi menutupi kebusukannya.

Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia bisa berbuat seculas itu terhadap anak-anak yang notabene adalah darah dagingnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status