Share

Part 7

"Urusannya sudah selesai 'kan? Sekarang sebaiknya kita pulang, Mas. Aku malas berada di rumah ini terus!" sungut Devi seraya beranjak dari sofa dan menarik tangan Mas Haris tanpa memberi izin mantan suamiku untuk berpamitan kepada ibu dan bapak.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya, pun dengan mertua.

Mata dan hati Mas Haris sudah benar-benar buta karena cinta, sampai tidak bisa melihat keburukan yang selalu Devi tunjukkan.

"Astaghfirullahaladzim... Sebenarnya setan apa yang merasuki Haris sampai dia menjadi seperti itu, Bu. Bapak doakan semoga saja usahanya bangkrut dan dia merasakan seperti apa sakitnya dibuang oleh orang yang dia sayang, agar bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ambar saat ini!" ucap Bapak membuat pandangan kami semua tertuju kepadanya.

"Ya Allah, Pak. Jangan nyumpahin anak seperti itu. Nggak baik. Sebaiknya Bapak doakan semoga Allah segera membuka pintu hatinya dan mengubah sikapnya yang buruk itu. Doa orangtua itu langsung didengar dan dikabulkan oleh Allah." Ibu memperingatkan.

Bapak terlihat menghela napas dalam-dalam lalu memijat pelipisnya, sedang wajahnya masih memerah padam menahan gejolak amarah yang belum juga meredam.

Tidak lama kemudian Azriel datang dengan kondisi sedikit kacau. Tubuh basah oleh keringat, sementara wajahnya terlihat kelelahan. Aku segera menghampiri anak remajaku, menanyakan kemana sepeda motornya karena saat dia pulang tidak mendengar suara deruman kendaraan.

"Motor aku diambil sama Papa. Katanya aku tidak berhak menggunakan barang miliknya!" Dia menjawab dengan ekspresi marah.

Aku mendengkus kesal mendengar pengakuan anakku. Benar-benar sudah keterlaluan Mas Haris. Tega dia kepada buah hatinya sendiri, yang memang sudah menjadi kewajibannya untuk dibahagiakan.

"Aku benci banget sama Papa. Sampai mati pun aku tidak akan pernah menganggap laki-laki bernama Haris itu sebagai ayahku!" ucapnya kemudian, sambil beranjak masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

Mengambil ponsel, mencoba menghubungi mantan suami akan tetapi panggilanku selalu saja ditolak. Mungkin dia tahu kalau aku akan membahas masalah sepeda motor Azriel yang disita olehnya.

[Mas, kok kamu tega ambil motor anak kita. Dia itu darah daging kamu loh, Mas. Ada mantan istri, tetapi tidak ada yang namanya mantan anak. Jangan hanya karena perempuan yang baru kamu kenal kamu sampai melukai hati anak kamu. Azriel itu sudah besar. Dia bisa membenci kamu kalau kamu terus menerus berlaku seperti itu kepadanya.] Send, Mas Haris.

Tidak lama kemudian pesanku dibaca oleh pria itu, akan tetapi hingga hampir satu jam menunggu dia tidak membalasnya, dan malah memblokir nomer ponselku. Keterlaluan memang.

Ya Allah... Sebenarnya ada apa dengan laki-laki yang dulu selalu berlaku lembut serta penyayang itu? Kenapa dia mendadak berubah kejam serta tidak berperasaan seperti sekarang ini?

"Azriel sudah pulang, Nduk? Kok motornya nggak ada?" tanya Ibu seraya menghampiriku.

"Motornya diambil Mas Haris, Bu. Makanya sekarang Azriel ngambek dan marah sama dia. Aku udah nggak tahu lagi harus bagaimana menghadapi laki-laki itu. Dia berubah secara drastis, bahkan mendadak menjadi seorang pria yang sangat kejam!" keluhku sambil menahan rasa sesak di dalam dada.

Ibu mengambil tanganku dan menggenggamnya, mengucap kata maaf atas segala yang sudah putranya lakukan.

Aku berusaha melekuk senyum walaupun hati menangis. "Ibu tidak bersalah. Untuk apa harus meminta maaf," ucapku kemudian.

"Ibu merasa bersalah sama kamu, Ambar. Ibu juga merasa gagal mendidik anak!" Kedua sudut netra perempuan yang telah melahirkan Mas Haris empat puluh tahun yang lalu itu terlihat mulai menganak sungai, membuat aku tidak tega melihatnya.

"Jika nanti kamu sudah benar-benar berpisah dengan Haris, tolong jangan larang Ibu dan Bapak untuk melihat cucu-cucu kami. Ibu sayang sama Syaqila dan Azriel, dan hanya mereka yang ibu miliki sekarang ini!" imbuhnya lagi.

"Ibu tenang saja. Ambar tidak akan pernah memisahkan anak-anak sama Ibu dan Bapak. Kalian ini juga kan orangtua Ambar, dan selamanya akan tetap begitu. Pernikahan Ambar dan Mas Haris memang berakhir, tetapi kalian berdua akan selalu menjadi orangtua Ambar, karena Ambar juga sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kalian berdua dan anak-anak."

Tangan keriput ibu terulur dengan gemetar mengusap pipiku sambil tersenyum. Dia lalu beranjak dari kursi, mengetuk pintu kamar Azriel akan tetapi si sulung tidak kunjung membukakan pintu untuk neneknya.

***

Pagi-pagi sekali Ibu dan Bapak pamit pulang ke Tegal karena ada saudara yang meninggal. Mereka berjanji akan kembali lagi setelah acara tujuh harian, karena mereka merasa tidak tega jika meninggalkan aku hanya bersama anak-anak saja. Takut Mas Haris dan gundiknya tiba-tiba datang dan berbuat macam-macam kepada kami bertiga.

Kini, tinggal aku sendiri di rumah, karena anak-anak juga sudah berangkat ke sekolah sedang Sani sedang berbelanja ke pasar membeli kebutuhan dapur dan lainnya.

Daripada terus menerus merasa kesepian lebih baik menyiram tanaman yang mulai layu seperti hatiku. Membuang daun-daun yang mulai mengering, seperti halnya membuang kenangan indah bersama mantan suami.

"Heh, Ambar! Tolong didik anak kamu si Azriel itu untuk tidak kurang ajar sama orang yang lebih tua darinya!" Aku yang sedang menikmati gemericik air yang mengecup dedaunan lalu mengalir diantara rerumputan tersebut menoleh mendengar suara Devi.

Untuk apa pagi-pagi seperti ini si pelakor sudah datang ke rumah. Apa belum puas menghancurkan rumah tanggaku dan juga merusak mental anak-anak?

"Memangnya apa yang sudah dilakukan oleh anakku, Devi?" tanyaku santai, tanpa menghentikan aktivitas menyiram tanaman.

"Anak kamu sudah berani melabrak aku di depan umum. Dia meneriakiku seorang pelakor di depan semua teman-teman arisan, bahkan berani melempar kotoran ke badanku!"

Aku melekuk senyum mendengarnya. "Memangnya ada yang salah dengan apa yang dikatakan Azriel? Enggak, kan? Kamu memang perebut laki orang. Kamu sudah memisahkan anak-anak dengan bapaknya, bahkan membuat Mas Haris lupa daratan dan menjadi begitu kejam!" pungkasku.

"Tapi dia melempar kotoran ke badan aku, Ambar? Apa jangan-jangan kamu yang menyuruh dia melakukan itu sama aku?"

"Mana ada sih, seorang ibu yang mengajarkan keburukan sama anaknya. Sudahlah Devi, sebaiknya kamu pulang sebelum aku memanggil keamanan komplek buat ngusir kamu!" usirku.

"Nggak! Aku nggak mau pergi sebelum kamu bayar ganti rugi!"

Brak!!

Aku berjingkat kaget ketika tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Azriel berdiri di belakang Devi, menggebrak pintu garasi lalu mengepal tangan di samping tubuh dengan rahang mengeras dan gigi bergemeletuk menahan emosi.

Devi lekas beringsut menjauh, mundur beberapa langkah hingga tidak menyadari ada selokan di belakangnya dan dia terperosok masuk ke dalam got yang sudah berwarna hitam pekat serta menguarkan bau tidak sedap.

Dia berteriak histeris sambil mengusap rambutnya yang sudah basah oleh air comberan, meminta bantuan supaya aku membantunya keluar dari dalam selokan akan tetapi kuabaikan.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
jangan di tolong panggil orang banyak bikin video VIRALKAN PELAKOR masuk got
goodnovel comment avatar
Hastariky Kitchen
puas sekali bayangin kondisi Devi saat ini hahahaaha rasakan kau pelakor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status