Share

Part 6

"Bapak mengancam?" tanya Mas Haris sambil menyeka keringat menggunakan saputangan, padahal jelas-jelas ruangan ini berpendingin udara dengan suhu enam belas derajat Celcius.

Dia memang akan berkeringat secara berlebihan jika sedang ketakutan. Aku paham betul itu, karena sudah belasan tahun mendampingi dirinya.

"Bapak tidak mengancam. Hanya memperingatkan!" tekan seraya menatap tajam.

"Oke, begini saja. Aku akan memberikan rumah yang sekarang ditinggali oleh Ambar dan juga mobil yang sedang dia pakai," usul lelaki berusia empat puluh tahun itu.

"Tidak. Itu belum cukup. Bapak maunya kamu menyerahkan segalanya!"

"Ya Tuhan... Sebenarnya yang anak Bapak ini siapa, sih? Aku, apa Ambar?"

"Bapak hanya membela yang benar. Walaupun yang anak kandung Bapak itu kamu, tetapi karena kamu salah Bapak tidak akan memihak."

"Oke. Begini saja, bagaimana kalau semua aset yang aku miliki dibagi dua. Biar adil. Dulu pertama usaha memang menggunakan uang Ambar untuk modal, dan aku yang mengelolanya sampai menjadi maju dan berkembang seperti sekarang ini. Nggak adil, dong, kalau aku harus memberikan semuanya ke Ambar?"

Nah, itu sadar kalau modalnya dari aku. Tapi kenapa malah lupa daratan? Mengkhianati orang yang sudah membantunya berjuang mulai dari nol hingga akhirnya menjadi jaya seperti ini.

"Bagaimana, Ambar?" Kini Bapak menatap wajahku serius.

"Aku setuju-setuju saja, asalkan dibagi secara adil dan hak asuh anak-anak sama aku. Sebab yang paling penting buat aku adalah anak-anak," jawabku mantap.

"Tidak bisa begitu, Ambar. Harta kita bagi dua, pun dengan anak-anak. Azriel sama kamu dan Syaqila sama aku!" Urat-urat di leher pria berwajah tampan namun telah memporak porandakan hatiku itu mulai terlihat menegang.

"Oke, kalau kamu mau Syaqila, berarti semua harta buat aku!" tantangku kemudian. Aku yakin Mas Haris tidak akan mungkin memilih anak daripada harta.

"Udah lah, Mas. Ngalah aja. Soal anak nanti kita bisa buat yang lucu-lucu. Nggak bandel-bandel kaya anak-anak kamu sekarang ini. Aku masih bisa ngasih kamu keturunan, kok!" sela Devi sambil menggamit tangan lelaki yang terlihat sedang berpikir itu tanpa rasa malu secuil pun.

Harusnya mendengar ucapan Devi saat ini saja Mas Haris tahu kalau yang dia inginkan itu tidak lain adalah harta. Tapi yang namanya orang sedang dibutakan oleh cinta, yang salah pun tetap saja terlihat benar di matanya.

Cukup lama ruang kerja Mas Haris diselimuti keheningan. Pria yang dulu selalu menjadi pelindung aku serta anak-anak itu masih terlihat berpikir, sambil sesekali menyeka keringat yang terus saja menyembul di dahi dan memijat pelipisnya.

Hingga akhirnya dia memutuskan untuk memberikan hak asuh kedua buah hati kepadaku, dan dia memilih harta daripada anaknya.

Menyakitkan mungkin jika salah satu diantara kedua anak-anak mendengarnya. Akan tetapi lebih baik memang jika anak-anak hidup bersamaku, karena aku tidak yakin kalau Devi akan menerima Syaqila di kehidupannya. Aku khawatir dia akan meracuni otak anak itu juga menyakitinya.

"Oke kalau begitu, biar aku hubungi pengacara untuk mengurus masalah ini, Mas!" kataku lagi.

"Pengacara? Buat apa? Semuanya sudah jelas, kan? Harta kita bagi dua, anak-anak sama kamu, pake acara bawa pengacara segala!" dengkus Mas Haris sambil menatap tajam wajahku.

"Buat antisipasi. Aku mau ada hitam di atas putih, dan membuat surat perjanjian kalau apa pun yang terjadi kamu tidak akan mengambil kembali apa yang sudah diberikan dan tidak akan mengambil anak-anak dariku."

"Kamu nggak percaya sama aku, Ambar?"

"Memangnya kamu bisa dipercaya, Mas? Tidak bukan?"

"Shitt!!" Dia menatap murka. Pun dengan perempuan di sebelahnya yang terlihat tidak puas dengan keputusan yang Mas Haris ambil.

"Yasudah. Aku mau jemput Qila dulu. Sudah siang, takut dia terlalu lama menunggu. Kasihan!" ucapku seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan lalu segera beranjak dari kursi, memutar badan meninggalkan ruang kerja Mas Haris tanpa berkata apa-apa lagi.

Seluruh karyawan suami menatap iba ketika aku keluar dari ruangan tersebut. Mungkin mereka merasa kasihan kepadaku yang tiba-tiba saja dibuang oleh orang yang disayang.

Menarik tuas pintu mobil, menghempaskan bokong secara perlahan di kursi kemudi lalu memejamkan mata, meremas dada yang terasa nyeri luar biasa.

Tanpa bisa dibendung lagi buliran-buliran air hangat mengalir begitu saja melewati pipi. Aku berusaha untuk menahannya, akan tetapi air bah nan asin itu terus saja mendesak keluar.

Meski di depan orang berusaha setegar karang, namun tetap saja hati ini rapuh dan terluka karena pengkhianatan suami.

Ya Allah... Akhirnya pernikahan yang sudah dibina selama belasan tahun penuh dengan cinta, canda tawa juga air mata harus berakhir dengan perpisahan. Aku tidak pernah menyangka ini semua akan terjadi.

Menghapus air mata, mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang dihimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan.

Aku harus kuat. Tidak boleh terus meratap, karena itu hanya akan membuat diri ini lemah di hadapan mereka. Aku akan membuktikan kalau aku juga bisa hidup tanpa Mas Haris. Mungkin jodoh kami hanya sampai di sini, akhir cerita cinta harus berakhir seperti ini.

Bismillah. Akan kurajut mimpi baru bersama anak-anak, berjalan lurus ke depan tanpa lagi menoleh ke belakang apalagi berbalik arah.

***

Syaqila sedang duduk di depan kelas bersama Caterina teman sekelasnya dan langsung menyunggingkan senyuman saat melihat aku datang. Aku segera merentangkan tangan, memeluk gadis kecil itu dan mencium puncak kepalanya dengan penuh cinta.

"Qila pikir Mama nggak akan jemput Qila," katanya sambil mendongak menatap wajahku.

"Mana mungkin Mama nggak jemput anak Mama yang cantik ini!" Menarik hidung Syaqila yang mancung, persis seperti ayahnya.

"Qila sayang sama Mama."

"Mama juga lebih saaaayang sama Qila. Kita akan selalu bersama, dan Qila nggak akan pindah dari sekolah!"

"Apa Papa masih akan bersama kita juga?"

Aku menoleh sambil menggigit bibir bawah. Haruskah aku mengatakan kepada dia kalau sang ayah telah memilih pergi dari kehidupan kami?"

Ah, sepertinya belum waktunya Syaqila tahu. Biar saja kusembunyikan semua ini dari dia, dan akan kuberitahu nanti jika waktunya sudah tepat.

***

Hari ini, aku bersama mertua dan Mas Haris sudah berkumpul di ruang tamu untuk kembali membahas masalah pembagian harta. Sudah ada beberapa saksi, dan kami juga sudah membawa seorang pengacara.

Setelah semua dihitung, Mas Haris akhirnya memberikan separuh tabungannya, rumah, mobil juga sepetak tanah yang dia beli dan niatnya akan dibangun ruko untuk membuka kantor cabang.

Sedangkan Mas Haris, dia memilih perusahaan, separuh uang tabungan dan satu apartemen di kawasan Kalibata yang sekarang sedang ditinggali oleh dia juga gundiknya.

"Aku sengaja memilih perusahaan karena sangat yakin kamu tidak bisa mengurusnya. Kamu itu cuma punya keahlian di dapur dan di sumur doang. Jadi aku kasih lahan kosong supaya jika suatu saat kamu butuh uang tinggal dijual saja. Nggak perlu mikir untuk memajukan perusahaan.

Jadi, jika nanti perusahaan aku sudah lebih maju, kamu tidak berhak meminta bagian lagi, karena kamu sudah tidak ada hak. Aku juga menjatuhkan talak yang ke dua untuk kamu, dan tolong segera urus perceraian kita. Seharusnya harta gono-gini itu dibagi setelah majelis hakim memutuskan ikatan pernikahan kita. Tetapi karena aku ini orang baik, aku membaginya dari sekarang!" ucap Mas Haris tanpa rasa bersalah sama sekali.

"Baik kalau begitu. Tapi walaupun kita sudah berpisah, kamu masih punya kewajiban menafkahi anak-anak setiap bulannya. Kamu tidak boleh sampai lalai!"

"Nggak bisa gitu, dong. Enak saja. Harta sudah dibagi dua, tapi kamu masih menuntut nafkah. Dasar perempuan serakah!" protes Devi murka.

"Diam kamu, Devi!!" sentak Bapak sambil menggebrak meja.

"Oke. Aku akan tetap menafkahi anak-anak sampai mereka lulus kuliah," ucap Mas Haris kemudian.

"Mas? Kamu jangan gila dong?" Devi masih saja memprotes. "Kalau kamu masih memberikan uang sama anak-anak kamu, bagaimana dengan jatah aku dan keluarga aku. Aku nggak mau kalau uang bulanan aku sampai berkurang!"

"Tolong kamu diam dulu, Dev. Jangan bikin aku tambah pusing!" bentak Mas Haris pada selingkuhannya, membuat perempuan perebut laki orang itu mendengkus kesal.

"Kamu lihat, Haris, belum apa-apa saja dia sudah seperti itu. Bagaimana nanti kalau kalian sudah menikah? Apa kamu tidak bisa melihat keburukan yang selalu dia tunjukkan?" Bapak bertanya seraya menunjuk wajah Devi.

Mas Haris hanya diam membisu, menundukkan kepala tanpa lagi menjawab ucapan Bapak. Entah dia sedang berpikir dan mulai sadar kalau Devi hanya menginginkan hartanya saja, atau hanya karena malas berdebat dengan Bapak aku tidak tahu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status