Share

Part 5

Ibu mertua memelukku erat sambil menangis, sementara Bapak segera menghampiri laki-laki yang baru saja menalakakku dan menamparnya di depan semua orang.

"Tidak tahu diri kamu, Haris. Kacang lupa kulitnya, tidak tahu malu dan tidak tahu balas budi. Apa kamu lupa, kamu bisa seperti ini itu karena siapa? Karena Ambar. Kalau bukan karena dia, kamu itu bukan siapa-siapa. Mungkin kamu masih menjadi karyawan biasa yang gajinya tidak pernah dibayar secara tepat waktu oleh bos kamu dan harus putar otak jika waktunya bayar kontrakan dan bahan pokok habis semua.

Sekarang, setelah sukses dan punya segalanya, kamu mau membuang Ambar? Kalau kamu mau pisah dari dia, lepaskan semua kemewahan yang kamu punya, sebab ini semu milik Ambar. Dia yang mengeluarkan modal, sedangkan kamu hanya mengelola saja!" rutuk bapak mertua panjang lebar, membuat wajah Mas Haris memerah padam. Mungkin dia malu dikata-katai seperti itu oleh bapaknya sendiri di depan para karyawan.

"Pak, kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik di dalam ruangan aku. Nggak usah teriak-teriak di sini, malu dilihat banyak orang," saran ayahnya anak-anak sambil memegang lengan Bapak.

"Malu? Kamu masih punya rasa malu juga toh? Bapak pikir urat malu kamu sudah putus karena berani bermesraan dengan perempuan yang bukan mahram kamu di depan umum, bahkan rela menjatuhkan harga diri orang yang sudah mengangkat kamu dari kubangan kemiskinan di depan banyak orang. Bapak yang seharusnya malu punya anak seperti kamu, Haris!" Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu menunjuk wajah putranya. Murka, itulah yang dia rasakan saat ini sepertinya.

"Tapi aku mencintai Devi, Pak. Dia yang bisa memberikan aku kenyamanan saat ini. Aku bosan sama Ambar yang hobi mengatur dan begitu cerewet!" sanggah pria yang sudah membersamaiku selama delapan belas tahun membela selingkuhannya.

"Itu bukan cinta. Tapi napsu. Coba kalau kamu bisa melawan hawa nafsu dan memperkuat iman, pasti kamu tidak akan tergoda dengan perempuan lain. Dan kamu, Devi, apa kamu lupa ketika kamu sekarat dan hampir saja mati, menantu saya lah yang menolong kamu, menyumbangkan darahnya, membiayai pengobatan kamu sampai sembuh, sekarang giliran sudah sehat kamu malah menggerogoti kebahagiaan anak menantu saya secara perlahan. Kamu sama Haris itu memang sebelas dua belas. Sama-sama tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih!"

"Kalau Ambar nggak rela donorin darah ke saya tinggal sedot saja lagi. Soal uang, berapa total yang dikeluarkan sama Ambar waktu itu, tinggal dihitung saja, nanti saya ganti!" Dengan nada menyombong Devi berkata seperti itu kepada Bapak.

"Bayar pakai apa? Duit Haris? Duit Haris itu duitnya Ambar juga!"

"Pak, ayo masuk ke ruangan aku. Jangan terus permalukan aku hanya demi Ambar. Dia itu bukan siapa-siapa Bapak. Aku sudah menjatuhkan talak kepadanya, dan itu artinya dia sekarang sudah menjadi orang lain!" Mas Haris menarik tangan Bapak masuk ke dalam ruang kerjanya, dan aku serta ibu mertua lekas mengikuti dari belakang.

Mas Haris memang sudah keterlaluan. Demi wanita yang hanya mencintai hartanya dia rela mengorbankan apa yang sudah dibangun selama belasan tahun, melupakan semua yang telah dilewati bersama. Untung saja aku masih memiliki mertua yang baik dan berpihak kepadaku. Setidaknya masih ada tempat bernaung serta menumpahkan segala lara yang tengah merajam dada.

Selama tabayun berlangsung, ibu terus merangkul pundakku, sementara tangan satunya tidak henti-hentinya mengusap air mata.

Sedangkan Mas Haris, dia terus saja bersikeras kalau dia tidak bersalah dan akulah yang salah dalam masalah ini. Katanya, dia melakukan itu karena aku tidak bisa mengurus keluarga dengan baik. Aku terlalu monoton dan tidak bisa menyenangkan dia.

"Oke, sekarang begini saja, Haris. Kamu sudah menalak Ambar, itu tandanya baru jatuh talak satu kepada istri kamu. Bapak ingin memberikan pilihan, apa kamu masih mau memperbaiki hubungan dan meninggalkan Devi, atau pisah tapi seluruh kekayaan kamu diberikan kepada Ambar karena itu memang haknya dia. Terserah kamu mau pilih yang mana!" Bapak memberi Mas Haris dua pilihan.

"Aku milih mundur, Pak. Maaf. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini,"timpalku dengan suara bergetar menahan lara di dada. Akhirnya cerita cinta yang sudah dibina selama delapan belas tahun ini akan bermuara pada perpisahan.

Tetapi sepertinya itu memang yang terbaik untuk kami. Walau berat aku rasakan, namun aku yakin tidak akan menghadapi kesakitan ini sendiri. Masih ada anak-anak yang selalu menguatkan. Mereka berdua sayapku, sumber kekuatanku, dan karena mereka berdualah aku memilih mengakhiri hubungan ini.

"Bapak dengar sendiri kan? Justru Ambar yang tidak mau kembali sama aku. Dia saja cukup tahu diri kok. Untuk apa Bapak memaksa!" sela Mas Haris disertai seringai puas oleh gundiknya.

"Ambar, apa kamu yakin dengan keputusan kamu, Nak?" tanya Ibu dengan intonasi sangat lembut, aku lihat di kedua sorot matanya, tersimpan rasa kecewa teramat dalam yang berusaha disembunyikan.

"Iya, Bu. Ambar sudah yakin seratus persen!" Lugasku.

"Apa kamu sudah tidak mencintai Haris?"

"Soal cinta, seiring berjalannya waktu perlahan akan terkikis dan habis. Aku tidak mau kembali jatuh jika mempertahankan dia. Mas Haris sudah pernah berkhianat bahkan sampai berbuat zina, dan aku sangat yakin suatu saat dia juga akan mengulangi perbuatan yang sama."

"Berzina?" Kedua orangtua Mas Haris terkesiap dengan kelopak membola mendengar pengakuan dariku.

"Iya, Bu. Mereka sudah sering melakukannya, dan bahkan Maura pernah mendapat teguran dari sekolah karena tanpa sengaja menonton video menjijikkan yang direkam oleh mereka berdua!" beberku lagi.

"Astaghfirullahaladzim... Ya Allah, Haris..." Ibu menangis tersedu, sementara Bapak masih diam terpaku juga syok mendengar ceritaku.

Bukannya sengaja menelanjangi suami di depan orangtuanya, tetapi aku juga pasti akan dipaksa untuk tetap mempertahankan rumah tangga ini jika tidak membela diri.

"Semu itu fitnah, Bu, Pak. Itu karangan Ambar saja. Dia itu suka memutar balikkan fakta!" sanggah Mas Haris lagi, sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

"Aku punya bukti, Mas." Menyodorkan ponsel, menunjukkan video yang sempat aku transfer dari memory card calon milik mantan suami ke ponsel milikku.

Bapak menggelengkan kepala, bahkan sampai menitikkan air mata kala melihat apa yang sudah dilakukan putra satu-satunya itu.

"Kalau begitu Bapak tidak akan memaksa kalian untuk kembali bersama. Sepertinya keputusan Ambar untuk tidak mempertahankan rumah tangga kalian memang sudah tepat."

"Yasudah kalau begitu, sekarang sebaiknya kalian bubar. Aku ada meeting sama klien penting. Jangan sampai gara-gara masalah ini aku sampai kehilangan proyek besar, sebab itu bisa merugikan perusahaan."

"Perusahaan ini bangkrut juga Bapak tidak perduli. Bapak lebih baik melihat kamu kembali miskin tapi tahu diri, daripada kaya tapi lupa daratan!"

"Nggak usah sumpah serapah, Pak! Sekarang sebaiknya Bapak pulang."

"Bapak tidak akan pergi sebelum kamu memberikan haknya Ambar dan anak-anak. Kamu harus mengembalikan semua milik Ambar dan silakan hidup bersama perempuan tidak tahu malu itu. Bapak pengen liat, kalau kamu miskin, apa dia masih mau sama kamu?"

"Tapi semua yang aku miliki sekarang ini didapat dari hasil jerih payah aku sendiri. Bukan karena Ambar!"

"Kamu lupa modal usaha kamu itu dari dia!"

"Aku akan mengembalikan modal itu!"

"Terserah kamu, Haris, kamu akan memberikan apa yang seharusnya menjadi milik Ambar, atau Bapak akan melaporkan kasus perzinaan kamu ke kantor polisi. Bukti sudah ada, saksi juga banyak. Kamu juga sudah melakukan tindak kekerasan kepada Azriel. Itu akan menambah berat hukuman kamu!" ancam Bapak membuat wajah anak lelakinya mendadak pucat pasi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
waaah kereeeenn. 1. istri sah tegar & cerdas. gak oon kyk kebanyakn novel lainnya. 2. mertua bersikap normal layaknya ortu waras lainnya. 3. anak laki2nya jg gentle. berani bela mamanya & tetap tegar klw cerita keren terus di bab2 selanjutnya, bakalan sering terima permata nih ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status