Share

Part 8

"Breng-sek kamu, Ambar. Teman sendiri lagi kesusahan malah nggak mau nolongin. Awas saja, aku adukan kamu nanti sama Mas Haris, biar dia mengambil kembali apa yang sudah diberikan!" teriak Devi sambil terus mengusap wajahnya yang sudah terlihat seperti monster.

"Maaf, Devi. Untuk kali ini aku tidak lagi mau membantu kamu. Kapok. Kamu itu kan ditulung malah mentung!" ujarku sambil mengayunkan kaki meninggalkan selingkuhan suami yang masih berada di dalam kubangan.

Pun dengan Azriel yang langsung masuk ke dalam dengan terburu-buru.

"Ada apa, Bang? Kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku sambil menghampiri si sulung di kamarnya.

"Ada tugas aku yang ketinggalan, Ma. Makanya aku balik lagi ambil tugas ini, kebetulan juga jam pelajaran masih sepuluh menit lagi," jawabnya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu mencium pipi ini dan segera pergi.

Aku terus menatap punggung anak laki-lakiku yang semakin beranjak besar, bahkan sekarang menggantikan posisi Mas Haris untuk melindungi diriku dari segala marabahaya, termasuk dari serangan gundik suamiku.

Kalau saja tadi Azriel tidak datang tepat waktu, mungkin urusan dengan Devi akan semakin panjang dan tidak ada habisnya.

***

"Ma, Abang mau minta sesuatu boleh nggak?" tanya anakku selesai kami santap malam.

"Mau minta apa, Bang?" Aku menatap wajah tampannya sambil melekuk senyum.

"Nggak jadi deh!" Dia menggaruk kepala sambil menyeringai.

"Ada apa? Abang mau minta apa sama Mama, tinggal bilang saja, insyaallah kalau Mama mampu pasti Mama turuti."

"Emmm... Abang mau minta dibeliin motor. Bekas juga nggak apa-apa yang penting masih bisa jalan, soalnya Abang kasihan kalau pagi-pagi Mama harus nganterin Abang dan dede Qila ke sekolah. Tapi kalau uang Mama lagi tanggung nggak apa-apa, kok. Abang masih bisa nebeng sama temen-temen."

Ada yang tersayat perih mendengar permintaan Azriel yang terdengar begitu sederhana. Ah, anakku sudah besar dan begitu menghargai perasaan ibunya. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi kamu ya, Nak.

"Loh, kok Mama malah nangis? Kalau Mama nggak ada uang Abang nggak maksa kok. Itu cuma permintaan konyol Abang saja." Dia menatap sendu kedua netraku.

"Insyaallah ada. Abang mau minta motor apa? Mama menangis itu karena terharu melihat Abang yang semakin tumbuh dewasa dan mampu melindungi Mama. Menjaga hati Mama, begitu berhati-hati jika sedang berbicara kepada Mama. Mama sayang sama Abang." Tangan ini terulur mengusap pipi sulung yang mulai ditumbuhi jerawat dengan penuh kasih sayang.

"Serius, Ma?"

"Hu'um!"

"Alhamdulillah. Terima kasih, Mama. Besok Abang minta tolong temen-temen buat nyari motor seken buat Abang."

"Yang baru saja, Nak. Biar puas makenya. Kamu beli saja motor sport yang kaya dibeliin Papa. Insyaallah tabungan Mama lebih dari cukup, karena Papa memberikan separuh uangnya sama kita!"

Wajah pria berusia tujuh belas tahun itu mendadak berubah saat aku menyinggung tentang papanya.

"Harga motor itu terlalu mahal. Nanti Abang beli sendiri kalau Abang sudah kerja. Abang cuma mau yang biasa, biar tidak terlalu merepotkan Mama setiap paginya."

"Iya, Nak. Besok pulang sekolah kita beli. Tapi Abang harus janji sama Mama supaya lebih rajin belajar, rajin solat dan jangan lupa selalu doakan Mama supaya sehat terus agar bisa mendampingi kalian hingga sukses nanti."

"Aamiin. Abang janji akan selalu menjadi pelindung Mama dan Qila." Pria dengan perawakan persis seperti Mas Haris itu beranjak dari kursi, menghampiriku lalu memelukku dengan erat.

"Yasudah. Sebaiknya Abang istirahat. Sudah malam, biar besok tidak terlambat bangun pagi."

Dia mengangguk lalu segera mengayunkan kaki menuju kamarnya setelah mencium keningku dan membisikkan kata sayang.

Padahal Azriel itu begitu santun juga penyayang. Akan tetapi Mas Haris selalu saja menilai anaknya kasar, kurang didikan dan bahkan sekarang ini sering melontarkan kata kotor kepada putranya. Hal itulah yang mungkin membuat cinta di hati Azriel untuknya memudar dan dia selalu bersikap bar-bar.

***

'Terima kasih, Sayang kalung berliannya. Aku semakin sayang sama kamu.'

Aku tersenyum miris melihat story w******p yang dibagikan oleh Devi. Dia memamerkan sebuah kalung berlian yang aku yakin harganya cukup mahal, dan pasti itu pemberian dari mantan suami.

Segitunya dia memanjakan selingkuhannya, sampai-sampai apa yang sudah diberikan kepada anak-anak diminta kembali. Padahal jika dia sudah tua dan tidak bisa apa-apa nanti, kepada anak-anak lah dia akan kembali, bukan kepada Devi. Sebab aku sangat yakin seribu persen kalau perempuan itu akan meninggalkan Mas Haris jika sudah tidak memiliki apa-apa lagi.

'Duh, kayaknya ada yang lagi panas liat story aku. Kasihan deh, lu.'

Lagi, Devi membuat status di aplikasi berwarna hijau, dan aku sangat yakin kalau saat ini dia sedang menyindirku.

Sebenarnya ingin sekali memblokir kontak wanita itu. Namun jika aku melakukannya, dia akan bertambah besar kepala serta merasa menang.

[Bang, Mama dan dedek sudah menunggu di depan gerbang sekolah.] Aku segera mengirimkan pesan kepada Azriel karena sudah banyak teman sekelasnya yang keluar akan tetapi dia belum terlihat batang hidungnya.

Tidak lama kemudian seraut wajah tampan dengan senyum menawan berjalan menghampiri, mengambil tanganku dan menciumnya dengan takzim seperti biasa.

"Maaf, tadi Abang ada urusan sedikit jadi Mama kelamaan nunggunya," ucapnya sambil membuka pintu dan segera duduk di kursi kemudi menggantikan posisiku seperti biasa.

"Nggak apa-apa, Nak. Ayo, kita pergi ke showroom sekarang, mumpung masih siang."

"Baik, Bu Bos." Dia segera menyalakan mesin kendaraan roda empat milikku lalu melajukannya secara perlahan menembus jalanan ibukota yang padat merayap, hingga perputaran keempat roda mobil yang kami tumpangi berhenti di depan showroom milik Mas Salim.

Dengan semangat empat lima si sulung turun dari kendaraan kami, langsung melihat-lihat deretan motor yang terpajang dengan tatapan takjub apalagi saat melihat sebuah motor sport keluaran terbaru yang mungkin sedang digandrungi anak remaja.

"Eh, ada Mbak Ambar. Apa kabar? Baru kelihatan?" sapa Ning Azalia, istri pemilik showroom dengan ramah.

"Alhamdulillah baik, Ning? Lagi mbobot lagi?" tanyaku melihat perut perempuan berhijab panjang menjuntai itu terlihat membukit.

"Iya, Mbak. Alhamdulillah diberikan kepercayaan lagi sama Allah."

"Anak ke empat berarti ya, Ning?"

"Iya." Dia melekuk senyum sambil mengelus perutnya.

Ning Azalia kemudian mempersilakan aku untuk duduk di dalam, sementara Azriel bersama Mas Salim terlihat sendang memilih-milih kendaraan.

Kebetulan aku dan Ning Azalia juga masih satu kampung, dan dulu sering bertemu saat aku masih menimba ilmu di pondok pesantren milik Gus Fauzan pamannya.

Setelah lebih dari satu jam bercengkrama, jagoanku yang sudah tumbuh dewasa menghampiri, menunjukkan sepeda motor yang dia pilih dengan wajah terlihat berbinar.

Kami pun pamit pulang setelah melakukan transaksi pembayaran karena hari semakin beranjak siang, sementara motor milik Azriel akan dikirim ke rumah oleh karyawan Mas Salim.

***

Hari ini aku ada jadwal arisan bulanan bersama para istri-istri rekan bisnis mantan suami. Sebenarnya aku merasa sudah tidak pantas lagi berada di tengah mereka semua, karena statusku saat ini bukan lagi nyonya Haris.

Tetapi mau bagaimana lagi. Arisan baru berjalan dua kali dan aku sudah dapat pas pengocokan pertama. Tidak mungkin jika tiba-tiba mengundurkan lalu mengembalikan uang mereka semua. Kesannya tidak sopan juga tidak tahu aturan.

Untuk sementara aku masih akan bergabung bersama mereka, hingga arisan ini selesai dan aku benar-benar resmi bercerai dengan ayahnya anak-anak. Sebab aku juga tidak mungkin terus menerus mengikuti gaya hidup mewah sementara kehidupanku kali ini telah berubah.

Rencananya juga ingin segera membuka bisnis kecil-kecilan supaya uang yang Mas Haris berikan tidak habis begitu saja, juga ingin membuktikan kepada laki-laki itu kalau aku bisa berdiri tegak tanpa dia.

"Selamat siang jeng-jeng semua, perkenalkan saya Devi, calon istrinya Mas Haris Aji Setiawan, pemilik perusahaan Haris Aji Setiawan Sejahtera." Kami yang sedang mengobrol tiba-tiba dikejutkan dengan hadirnya Devi di tengah-tengah acara arisan.

"Maksud kamu apa?" tanya Mbak Artika sambil menelisik tampilan Devi dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Begini loh, Jeng. Sebentar lagi Ambar itu bakalan cerai sama suaminya, karena dia sudah dijatuhi talak dua sama Mas Haris. Jadi, saya yang akan menggantikan posisi Ambar sebagai nyonya Haris juga menggantikan posisi dia di acara arisan kalian." Dengan penuh percaya diri dia memperkenalkan diri.

"Apa bener itu, Mbak?" Kini mata Mbak Rianti terpantik ke wajahku.

Aku mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya menganggukkan kepala mengiyakan.

"Mas Haris mentalak saya karena lebih memilih wanita itu. Dia dulu sahabat saya yang justru malah menghancurkan kebahagiaan saya!" ucapku dengan nada parau.

Byur!!

"Oh, jadi kamu ini pelakor? Jadi pelakor kok bangga. Memangnya siapa yang mau menerima pelakor di sini. Pelakor itu tempatnya di tong sampah, bukan di tengah-tengah kami. Walaupun nanti Mbak Ambar bukan lagi istrinya Pak Haris, tetapi dia tetap saudara kami, dan kami semua akan melindungi dia dari parasit seperti kamu!"

Mulut Devi menganga lebar ketika Mbak Rianti menyiramkan segelas jus mangga ke wajahnya yang sudah dipoles makeup sedemikian rupa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
rasain lo emangnya punya tempat lo di lingkungan mereka masyarakat yang ANTI PELAKOR
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status