Ambar hanya menganggukkan kepala pelan, ingin mengatakan sesuatu kepada mantan suaminya, akan tetapi suaranya tercekat di kerongkongan.Sekuat tenaga juga dia menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk agar tidak tumbuh ruah di hadapan suami serta temannya. Ia tidak mau terlihat rapuh juga menunjukkan kalau sebenarnya masih ada rasa cinta yang tertanam dalam dada."Kamu ini bicara apa sih, Ris. Kenapa tiba-tiba malah ngomongin masalah kematian?" Roy bertanya seraya menatap wajah pucat sahabatnya."Karena semua yang bernyawa pasti akan mengalami yang namanya kematian, Roy. Dan aku merasa kalau sebentar lagi waktunya aku meninggalkan dunia ini!" jawab Haris dengan suara serak."Hanya Allah yang bisa menentukan kapan kita akan mati!"Haris terdiam tidak lagi mendebat. Bibirnya terkatup rapat, sementara matanya terus saja menatap lurus ke tembok yang ada di depannya.Mungkin akibat terbawa perasaan juga kesepian sehingga memb
"Apa kamu ada hubungan serius dengan Roy?"Ambar mengambil napas dalam-dalam mendengar pertanyaan dari ibu mertuanya, kemudian menggelengkan kepala perlahan."Tapi sepertinya Roy ada rasa sama kamu, Ambar. Ibu bisa melihat dari cara dia memperlakukan kamu juga kala menatap wajah kamu. Ibu setuju kok, kalau kamu menjalin hubungan dengan dia. Roy itu orang baik. Insyaallah dia bisa menjaga kamu, menjadi imam yang baik buat kamu juga cucu-cucu Ibu.""Ambar belum memikirkan untuk mencari pengganti Mas Haris, Bu. Masih ingin fokus mengurus anak-anak.""Yasudah ibu mah terserah kamu saja, Ambar. Ibu hanya ingin melihat anak kesayangan Ibu bahagia.""Terima kasih, Bu."Ambar kembali menatap wajah ibu mertuanya, terharu karena dia masih saja memberikan perhatian juga kasih sayang, walaupun kini dia sudah tidak lagi menjadi istri dari anaknya.***Sore harinya, mereka semua pergi berziarah ke makam Haeroni, juga ke makam
"Dia juga yang sedang saya kagumi, Gus." Tentu saja kata itu hanya Roy ucapkan dalam hati, tanpa berani mengutarakannya kepada Gus Fauzan. Rasanya segan jika sang pemuka agama sampai tahu kalau diam-diam mereka mencintai perempuan yang sama."Menurut sampeyan bagaimana, Roy? Kira-kira dek Ambar mau nggak ya sama saya? Kan sampeyan tahu sendiri, kalau dek Ambar masih muda, sedang saya sudah berumur. Saya sendiri merasa malu kalau hendak menyampaikan maksud baik saya. Takut ditolak!" Gus Fauzan terkekeh, memamerkan deretan giginya yang rapi, dan tawa itu bagai ujung belati yang Merobek-robek dinding hati lawan bicaranya. Sakit tetapi tidak berdarah.Tentu saja jika Ambar tahu pasti dia akan lebih memilih Gus Fauzan, karena walaupun sudah berumur tapi dia masih terlihat seumuran denganku dan terlebih lagi beliau seorang kyai besar. Aku diibaratkan sebutir debu di antara berlian nan berkilauan. Pikir Roy sambil menghela napas."Jujur, Roy. Saya tidak mau menam
Setelah menempuh perjalanan lebih dari lima jam menyusuri jalan tol Cipali, mobil yang dikemudikan Gus Fauzan akhirnya menepi di depan rumah Ambar. Mereka semua segera turun dari kendaraan roda empat tersebut, istirahat di rumah Ambar sekaligus ingin melaksanakan ibadah shalat ashar."Njenengan mau minum apa, Gus?" tanya Ambar kala melihat guru ngajinya baru saja pulang dari musala bersama Roy."Apa saja, Dek. Teh hangat juga boleh, jangan terlalu manis tapi, ya." Gus Fauzan menjawab sambil melekuk senyum, sementara Roy mengembuskan napas kasar karena rasa cemburu terus saja menusuk kalbu.Ambar segera membalikkan badan, berjalan menuju dapur dan sepersekian menit kemudian kembali dengan tiga buah cangkir di atas nampan.Dua cawan berisi teh hangat untuk ibu mertua serta tamunya, sementara cangkir satunya berisi coklat hangat kesukaan Roy."Silakan diminum. Maaf, hidangannya seadanya." Perempuan berhijab panjang menjuntai itu me
Part 1"Maaf, Bu Ambar. Kami memanggil Ibu ke sekolah karena kami tanpa sengaja memergoki Syaqila dan dua orang temannya sedang menonton film dewasa, yang justru diperankan oleh ayahnya Syaqila sendiri. Yaitu suami Ibu," ucap kepala sekolah membuat jantung ini seketika seperti berhenti berdetak. Wanita berseragam dinas itu kemudian menunjukkan ponsel Syaqila juga video yang dimaksud kepadaku.Tubuhku mendadak gemetar dan lunglai. Dari mana putriku mendapatkan video seperti itu? Masa iya Mas Haris dengan sengaja menyimpan video syurnya bersama seorang perempuan di ponsel anaknya yang baru dibeli beberapa hari yang lalu?Dengan tangan gemetar mengambil benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu, mengamati lamat-lamat video tersebut, memastikan kalau itu nyata atau editan. Dan ternyata video itu asli yang direkam menggunakan ponsel.Tidak lupa juga melihat chat di aplikasi warna hijau milik putriku, ingin tahu dengan siapa saja dia berkirim pesan. Alhamdulillah semuanya aman terkendal
Azriel, anak pertamaku yang kini sudah menginjak remaja sudah berdiri di halaman rumah ketika aku sampai.Aku juga merasa kalau ada yang berbeda dengan si sulung. Sudah beberapa hari ini dia selalu menghindari sang ayah, bahkan sudah dua kali kepergok tengah cekcok dengan Mas Haris.Apa mungkin diam-diam dia sudah tahu kalau ayahnya memiliki wanita idaman lain dan merahasiakannya dariku?"Mama dari mana?" tanyanya seraya meraih tanganku dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat."Dari kantor Papa kamu. Abang tumben sudah pulang? Nggak eskul dulu?" "Lagi malas. Pengen cepet-cepet ketemu Mama. Kangen!""Udah gede masih saja manja!" Menarik hidung mancungnya lalu merangkul tubuh putraku yang sudah berusia tujuh belas tahun itu.Tidak lama kemudian terlihat mobil Mas Haris memasuki pekarangan rumah kami. Azriel lekas beranjak dari duduknya, mengayunkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Aku semakin curiga melihat tingkah bocah itu, karena sepertinya dia seda
"Tutup mulut kamu, Azriel!" Mas Haris menarik kerah baju putranya, ingin melayangkan tinju akan tetapi dengan cepat kutangkis tangan kekar tersebut. Tangan yang dulu selalu mengusap lembut rambut anak-anak. Tangan yang selalu menjadi pelindung kami semua.Kini semuanya telah berubah. Sikap lemah lembut suami yang selalu ditunjukkan di depan kami telah musnah. "Didik anak kamu dengan benar, Ambar. Ajari dia supaya menjadi anak yang tahu diri agar tidak pernah berani melawan orang yang sudah susah payah membesarkan dan membiayai dia sekolah!" sungut laki-laki berusia empat puluh tahun itu seraya melewati tubuhku lalu keluar sambil membanting pintu.Azriel ingin mengejar, akan tetapi tubuhnya segera kutahan, memeluknya, menenangkan dia agar tidak ikut terbawa emosi.Sementara Syaqila, gadis berusia sepuluh tahun itu masih duduk memeluk lutut di pojok kamar dengan tatapan kosong serta terlihat ketakutan. Ini kali pertamanya Mas Haris berbicara dengan nada meninggi di depan anak-anak. Me
"Emm... Memangnya Qila ketemu Tante Devi di mana?" tanyaku lagi."Tante Devi kemarin ke sekolah sama Papa. Katanya Qila juga mau dipindahkan dari sekolah Qila. Qila nggak mau Mama..."Benar-benar sudah keterlaluan Mas Haris. Belum cukupkah luka yang dia torehkan dalam dada? Aku sudah berusaha sabar menghadapi mereka berdua, akan tetapi sepertinya mereka malah mengibarkan bendera perang."Qila dengar ya, Sayang. Selamanya Qila akan bersama Mama dan Abang. Apa pun yang terjadi nanti." Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menatap mata bening itu penuh dengan kehangatan sambil melekuk bibir walau hati sedang terbakar emosi.Syaqila mengangguk perlahan lalu segera menyantap cereal yang sudah kubuatkan, meneguk susu coklat kesukaannya kemudian mengambil tas dan segera berjalan bersisian denganku dengan mode bergandengan tangan menuju parkiran.Seperti hari-hari sebelumnya aku tetap mengantarkan Qila ke sekolah menggunakan mobil yang dibelikan oleh Mas Haris sebagai hadiah ulang t