"Tutup mulut kamu, Azriel!" Mas Haris menarik kerah baju putranya, ingin melayangkan tinju akan tetapi dengan cepat kutangkis tangan kekar tersebut. Tangan yang dulu selalu mengusap lembut rambut anak-anak. Tangan yang selalu menjadi pelindung kami semua.
Kini semuanya telah berubah. Sikap lemah lembut suami yang selalu ditunjukkan di depan kami telah musnah."Didik anak kamu dengan benar, Ambar. Ajari dia supaya menjadi anak yang tahu diri agar tidak pernah berani melawan orang yang sudah susah payah membesarkan dan membiayai dia sekolah!" sungut laki-laki berusia empat puluh tahun itu seraya melewati tubuhku lalu keluar sambil membanting pintu.Azriel ingin mengejar, akan tetapi tubuhnya segera kutahan, memeluknya, menenangkan dia agar tidak ikut terbawa emosi.Sementara Syaqila, gadis berusia sepuluh tahun itu masih duduk memeluk lutut di pojok kamar dengan tatapan kosong serta terlihat ketakutan.Ini kali pertamanya Mas Haris berbicara dengan nada meninggi di depan anak-anak. Meskipun selama ini dia tegas, Mas Haris itu paling anti bersuara keras."Sini, Sayang peluk Mama. Jangan takut!" Menarik tubuh gadis kecilku ke dalam pelukan, mengusap lembut rambut panjangnya lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala Syaqila."Udah nggak usah takut. Ada Mama dan Abang di sini." Mempererat dekapan, memberikan kenyamanan serta ketenangan kepada anak gadisku yang sudah begitu ketakutan.Azriel berjalan mendekat, mengusap kepala adiknya lalu ikut memeluk tubuhnya.Mengamati lamat-lamat wajah kedua buah cinta kami, tersayat perih hati ini menghadapi sikap suami yang mendadak menjadi arogan. Apa seperti itulah cara dia menutupi kesalahan?Ketahuan selingkuh bukannya minta maaf dan berusaha memperbaiki diri juga hubungan, akan tetapi malah menyalahkan semua orang termasuk anak-anak yang tidak mengerti apa-apa.Sebegitu berartikah Devi, orang yang baru beberapa tahun dia kenal dibandingkan kami semua yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun.Terutama aku yang sudah menemani dia nol. Dari Mas Haris belum memiliki apa-apa, bahkan untuk makan saja susahnya luar biasanya.Aku dan Mas Haris memang menikah muda pada saat itu. Aku masih berusia delapan belas tahun, sementara Mas Haris dua puluh dua tahun.Kami menikah untuk menghindari zina sebab hampir setiap hari suami datang mengunjungi, bahkan tidak jarang dia mengajak pergi meski hanya duduk-duduk di taman.Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan dari pihak keluarga suami datang meminang, meminta kami untuk segera menghalalkan hubungan sebab saat itu banyak tetangga yang ketahuan hamil diluar nikah. Ibu dan ayah tidak mau kalau sampai itu terjadi kepada kami karena kebetulan suami juga berasal dari keluarga religius.Kami berdua pun akhirnya melangsungkan pernikahan. Hidupku dan Mas Haris begitu bahagia meski dalam kesederhanaan.Saat itu Mas Haris hanya bekerja sebagai pelayan toko yang gajinya hanya cukup untuk makan saja, sementara aku tidak bisa membantu mencari nafkah karena di tahun pertama pernikahan kami Tuhan langsung menitipkan amanah pertamanya yaitu Azriel.Setelah putra pertama kami lahir, Mas Haris memutuskan untuk mengajakku pindah ke Jakarta, katanya ingin mengubah nasib sebab jika terus saja tinggal di daerah kehidupan kami tidak akan maju.Sebagai seorang istri aku menurut saja apa yang dikatakan oleh suami, dan ternyata hidup di ibukota itu tidak semudah bayangan kami. Semuanya serba beli, harus menyewa rumah sedangkan pekerjaan belum dia dapatkan.Untung saja ibu mertua membekali uang yang cukup untuk membayar sewa rumah selama tiga bulan meski hanya sebuah bangunan semi permanen serta berlantai semen, sedangkan sisanya untuk kami belikan alas tidur juga untuk makan sehari-hari.Selama Mas Haris belum mendapatkan pekerjaan aku memutuskan untuk bekerja di sebuah rumah makan, karena kebetulan aku memiliki keahlian memasak dan pemilik warung makan merasa cocok dengan semua olahan tanganku.Hingga akhirnya Mas Haris mendapatkan pekerjaan sebagai seorang penjaga keamanan di komplek tidak jauh dari kontrakan, lalu dia menyuruhku berhenti bekerja dan fokus menjaga Azriel. Akan tetapi itu pun hanya bertahan beberapa bulan saja sebab penjaga keamanan yang lama kembali dan mengambil pekerjaan suami.Mas Haris terus saja berusaha mencari pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, namun meski memiliki ijazah dari fakultas ternama di kota kami tidak menjamin mudahnya mendapatkan pekerjaan di ibukota.Di saat hampir menyerah, seorang taman menawarkan pekerjaan di salah satu perusahaan properti milik saudaranya. Mas Haris ditempatkan sebagai pengawas lapangan dengan gaji yang lumayan, meskipun setiap kali waktunya gajian tidak pernah dibayarkan tepat waktu.Tetapi hidup kami sangat bahagia dalam naungan payung cinta. Dan dari situlah Mas Haris belajar banyak tentang proyek pembangunan, hingga akhirnya dia memilih untuk mengambil proyek kecil-kecilan dengan modal menjual perhiasan juga rumah peninggalan orangtuaku dan merangkak jatuh bangun hingga perusahaannya menjadi besar seperti sekarang ini.Akan tetapi setelah dia sukses, ternyata ini balasan yang dia berikan atas semua cinta, pengorbanan juga kesetiaan yang selalu aku berikan.Dia memilih membagi hati, cinta juga raga, dan yang lebih menyakitkan lagi dia membaginya dengan sahabatku sendiri. Orang yang pernah aku bantu saat kesusahan, bahkan dalam tubuhnya mengalir darahku juga sebab saat dia dan suaminya mengalami kecelakaan, aku lah orang yang mendonorkan darah untuk menyelamatkan hidupnya.***Sudah hampir satu pekan Mas Haris tidak pulang ke rumah, semenjak pertengkaran yang terjadi di dalam kamar Syaqila.Akan tetapi puluhan pesan dia kirimkan, terus menyalahkan diriku atas semua yang terjadi.Dia bilang aku terlalu banyak mengatur dan menyebalkan, cerewet dan tidak pernah bisa menyenangkan hatinya. Aku juga dicap sebagai ibu yang gagal serta tidak mampu mendidik anak. Sungguh menyakitkan."Ma, Abang berangkat sekolah dulu ya? Mama nggak apa-apa kan, ditinggal sendirian di rumah?" pamit Azriel sambil menyalami tanganku dan menciumnya dengan takzim."Nggak apa-apa kok, Sayang. Kamu sekolah saja yang bener. Biar jadi orang sukses nanti!" Mengusap rambut anakku sambil melekuk senyum."Aamiin. Abang sayang sama Mama. Maaf kalau Abang selalu bikin Mama susah!" Dia lalu memeluk tubuhku erat."Mama juga sayang sama Abang Azriel dan dedek Qila. Kalian adalah permata hati Mama yang akan selalu Mama jaga walaupun nanti nyawa yang akan menjadi taruhannya.""Yasudah, Abang jalan sekarang. Assalamualaikum!""Waalaikumussalam." Aku melambaikan tangan sambil terus menatap tubuh anakku yang semakin tumbuh besar, bahkan sekarang tingginya sudah melebihi diriku dan Mas Haris.Sementara Syaqila. Aku lihat dia masih melamun di meja makan, mengaduk-aduk sereal yang terhidang dengan wajah hampa seperti kehilangan separuh hidupnya. Apa dia merasa kehilangan ayahnya karena sudah satu minggu Mas Haris tidak pulang?"Kok sarapannya belum dimakan, Dek? Kenapa? Nggak enak?" tanyaku dengan nada lembut, mengusap rambutnya yang hitam tergerai lalu melekuk senyum ketika mata bulat bernaung bulu lebat nan lentik itu memindai wajahku."Qila nggak mau pisah sama Mama. Qila mau di sini sama Mama!" ucapnya membuat kedua alisku bertaut hingga hampir menyatu."Memangnya siapa yang mau ninggalin Qila? Qila itu anak Mama. Sudah pasti akan selalu bersama Mama dan Abang!""Tapi Tante Devi bilang, katanya Qila mau dibawa Papa dan dipisahkan sama Mama. Tante Devi bilang kalau Mama ini racun dan hanya bikin Qila jadi anak nakal dan bandel kalau Qila tetep sama Mama."Deg!Mendadak dadaku memanas mendengar pengakuan Syaqila. Tega sekali Mas Haris menyuruh gundiknya untuk mencuci otak anakku. Tidak akan kubiarkan ini terjadi."Emm... Memangnya Qila ketemu Tante Devi di mana?" tanyaku lagi."Tante Devi kemarin ke sekolah sama Papa. Katanya Qila juga mau dipindahkan dari sekolah Qila. Qila nggak mau Mama..."Benar-benar sudah keterlaluan Mas Haris. Belum cukupkah luka yang dia torehkan dalam dada? Aku sudah berusaha sabar menghadapi mereka berdua, akan tetapi sepertinya mereka malah mengibarkan bendera perang."Qila dengar ya, Sayang. Selamanya Qila akan bersama Mama dan Abang. Apa pun yang terjadi nanti." Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menatap mata bening itu penuh dengan kehangatan sambil melekuk bibir walau hati sedang terbakar emosi.Syaqila mengangguk perlahan lalu segera menyantap cereal yang sudah kubuatkan, meneguk susu coklat kesukaannya kemudian mengambil tas dan segera berjalan bersisian denganku dengan mode bergandengan tangan menuju parkiran.Seperti hari-hari sebelumnya aku tetap mengantarkan Qila ke sekolah menggunakan mobil yang dibelikan oleh Mas Haris sebagai hadiah ulang t
Ibu mertua memelukku erat sambil menangis, sementara Bapak segera menghampiri laki-laki yang baru saja menalakakku dan menamparnya di depan semua orang."Tidak tahu diri kamu, Haris. Kacang lupa kulitnya, tidak tahu malu dan tidak tahu balas budi. Apa kamu lupa, kamu bisa seperti ini itu karena siapa? Karena Ambar. Kalau bukan karena dia, kamu itu bukan siapa-siapa. Mungkin kamu masih menjadi karyawan biasa yang gajinya tidak pernah dibayar secara tepat waktu oleh bos kamu dan harus putar otak jika waktunya bayar kontrakan dan bahan pokok habis semua. Sekarang, setelah sukses dan punya segalanya, kamu mau membuang Ambar? Kalau kamu mau pisah dari dia, lepaskan semua kemewahan yang kamu punya, sebab ini semu milik Ambar. Dia yang mengeluarkan modal, sedangkan kamu hanya mengelola saja!" rutuk bapak mertua panjang lebar, membuat wajah Mas Haris memerah padam. Mungkin dia malu dikata-katai seperti itu oleh bapaknya sendiri di depan para karyawan."Pak, kita bisa bicarakan masalah ini ba
"Bapak mengancam?" tanya Mas Haris sambil menyeka keringat menggunakan saputangan, padahal jelas-jelas ruangan ini berpendingin udara dengan suhu enam belas derajat Celcius.Dia memang akan berkeringat secara berlebihan jika sedang ketakutan. Aku paham betul itu, karena sudah belasan tahun mendampingi dirinya."Bapak tidak mengancam. Hanya memperingatkan!" tekan seraya menatap tajam."Oke, begini saja. Aku akan memberikan rumah yang sekarang ditinggali oleh Ambar dan juga mobil yang sedang dia pakai," usul lelaki berusia empat puluh tahun itu."Tidak. Itu belum cukup. Bapak maunya kamu menyerahkan segalanya!""Ya Tuhan... Sebenarnya yang anak Bapak ini siapa, sih? Aku, apa Ambar?""Bapak hanya membela yang benar. Walaupun yang anak kandung Bapak itu kamu, tetapi karena kamu salah Bapak tidak akan memihak.""Oke. Begini saja, bagaimana kalau semua aset yang aku miliki dibagi dua. Biar adil. Dulu pertama usaha memang menggunakan uang Ambar untuk modal, dan aku yang mengelolanya sampai m
"Urusannya sudah selesai 'kan? Sekarang sebaiknya kita pulang, Mas. Aku malas berada di rumah ini terus!" sungut Devi seraya beranjak dari sofa dan menarik tangan Mas Haris tanpa memberi izin mantan suamiku untuk berpamitan kepada ibu dan bapak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya, pun dengan mertua. Mata dan hati Mas Haris sudah benar-benar buta karena cinta, sampai tidak bisa melihat keburukan yang selalu Devi tunjukkan."Astaghfirullahaladzim... Sebenarnya setan apa yang merasuki Haris sampai dia menjadi seperti itu, Bu. Bapak doakan semoga saja usahanya bangkrut dan dia merasakan seperti apa sakitnya dibuang oleh orang yang dia sayang, agar bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ambar saat ini!" ucap Bapak membuat pandangan kami semua tertuju kepadanya."Ya Allah, Pak. Jangan nyumpahin anak seperti itu. Nggak baik. Sebaiknya Bapak doakan semoga Allah segera membuka pintu hatinya dan mengubah sikapnya yang buruk itu. Doa orangtua itu langsung didengar dan dikabu
"Breng-sek kamu, Ambar. Teman sendiri lagi kesusahan malah nggak mau nolongin. Awas saja, aku adukan kamu nanti sama Mas Haris, biar dia mengambil kembali apa yang sudah diberikan!" teriak Devi sambil terus mengusap wajahnya yang sudah terlihat seperti monster."Maaf, Devi. Untuk kali ini aku tidak lagi mau membantu kamu. Kapok. Kamu itu kan ditulung malah mentung!" ujarku sambil mengayunkan kaki meninggalkan selingkuhan suami yang masih berada di dalam kubangan.Pun dengan Azriel yang langsung masuk ke dalam dengan terburu-buru."Ada apa, Bang? Kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku sambil menghampiri si sulung di kamarnya."Ada tugas aku yang ketinggalan, Ma. Makanya aku balik lagi ambil tugas ini, kebetulan juga jam pelajaran masih sepuluh menit lagi," jawabnya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu mencium pipi ini dan segera pergi.Aku terus menatap punggung anak laki-lakiku yang semakin beranjak besar, bahkan sekarang menggantikan po
"Hus! Hus! Hus! Pergi dari sini, jangan kotori persaudaraan kami!" Mbak Rika mengibas-ngibaskan tangan mengusir Devi dari hadapan kami."Tapi, Jeng? Aku ini..." Perempuan ulet keket itu masih bersikeras untuk bergabung."Sudah kami bilang kalau kami tidak menerima pelakor di tengah-tengah kami! Ini itu circle-nya wanita baik-baik, bukan perebut laki orang seperti kamu!" potong Mbak Rianti semakin terlihat emosi."Kalian akan menyesal sudah nolak aku di sini. Aku akan mengadukan kalian sama Mas Haris biar dia memutuskan kerjasama dengan suami-suami kalian!" ancam Devi sambil menghentakkan kaki dan pergi meninggalkan kami.Beberapa orang yang ada di acara arisan langsung mendekatiku, memeluk serta memberikan kata-kata motivasi supaya aku kuat menghadapi pelakor seperti dia."Saya juga akan mengandukan perselingkuhan Pak Haris ke suami saya supaya dia dikasih pelajaran. Mbak Ambar nggak keberatan kan, kalau saya memberitahu suami tentang hal ini?" ujar Mbak Rianti. Dia adalah istri dari
"Dasar anak se*an. Awas saja kamu Azriel. Saya tidak akan melepaskan kamu!" ancam Mas Haris seraya berusaha bangun, mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah lalu berjalan gontai meninggalkan kamar.Napas Azriel masih naik turun tidak beraturan menahan emosi. Aku terus memeluk tubuhnya, menumpahkan air mata sambil tidak henti-hentinya mengingatkan dia untuk mengucap istighfar.Tidak lama kemudian Syaqila berlari masuk dan menghambur ke dalam pelukan, ikut menangis sambil mendekap erat pinggang ini."Qila takut, Mama," lirihnya dengan suara bergetar."Qila nggak usah takut. Ada Abang yang akan melindungi Qila dan Mama dari si Haris breng-sek itu!" sungut si sulung masih dengan nada meninggi, bahkan sekarang malah memanggil ayahnya tanpa embel-embel papa."San, tolong ambilkan minum buat abang!" titahku kepada Sani yang tengah berdiri di muka pintu dengan mata sudah berembun. Sepertinya dia juga ketakutan melihat kelakuan mant
"Sialan si Azriel. Disekolahin tinggi-tinggi tapi malah berani melawan orang tua. Ini pasti ajaran si Ambar yang gagal mendidik anak!" Aku mencengkram kemudi hingga buku-buku tanganku memutih. Kesal, marah, emosi karena perbuatan putra sulungku yang sudah berani menghajarku hingga babak belur.Memangnya salah kalau aku masih menggauli ibunya. Toh, baru jatuh talak dua. Masih bisa rujuk jika aku mau merujuknya. Dasar Ambar sok suci, pura-pura nolak, padahal dalam hati begitu menginginkan sentuhan lelaki.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota, tidak perduli dengan suara klakson kendaraan lain yang mungkin memperingatkan aku untuk hati-hati dalam mengemudi. Amarahku saat ini sedang meninggi dan sulit terkendali, mengingat apa yang sudah dilakukan anakku sendiri di rumah tadi.Arghh! Sialan. Awas saja kamu Ambar. Aku pastikan hidup kamu akan hancur perlahan, dan kamu akan mengemis untuk kembali kepadaku.Dasar peremp