Share

Part 3

"Tutup mulut kamu, Azriel!" Mas Haris menarik kerah baju putranya, ingin melayangkan tinju akan tetapi dengan cepat kutangkis tangan kekar tersebut. Tangan yang dulu selalu mengusap lembut rambut anak-anak. Tangan yang selalu menjadi pelindung kami semua.

Kini semuanya telah berubah. Sikap lemah lembut suami yang selalu ditunjukkan di depan kami telah musnah.

"Didik anak kamu dengan benar, Ambar. Ajari dia supaya menjadi anak yang tahu diri agar tidak pernah berani melawan orang yang sudah susah payah membesarkan dan membiayai dia sekolah!" sungut laki-laki berusia empat puluh tahun itu seraya melewati tubuhku lalu keluar sambil membanting pintu.

Azriel ingin mengejar, akan tetapi tubuhnya segera kutahan, memeluknya, menenangkan dia agar tidak ikut terbawa emosi.

Sementara Syaqila, gadis berusia sepuluh tahun itu masih duduk memeluk lutut di pojok kamar dengan tatapan kosong serta terlihat ketakutan.

Ini kali pertamanya Mas Haris berbicara dengan nada meninggi di depan anak-anak. Meskipun selama ini dia tegas, Mas Haris itu paling anti bersuara keras.

"Sini, Sayang peluk Mama. Jangan takut!" Menarik tubuh gadis kecilku ke dalam pelukan, mengusap lembut rambut panjangnya lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala Syaqila.

"Udah nggak usah takut. Ada Mama dan Abang di sini." Mempererat dekapan, memberikan kenyamanan serta ketenangan kepada anak gadisku yang sudah begitu ketakutan.

Azriel berjalan mendekat, mengusap kepala adiknya lalu ikut memeluk tubuhnya.

Mengamati lamat-lamat wajah kedua buah cinta kami, tersayat perih hati ini menghadapi sikap suami yang mendadak menjadi arogan. Apa seperti itulah cara dia menutupi kesalahan?

Ketahuan selingkuh bukannya minta maaf dan berusaha memperbaiki diri juga hubungan, akan tetapi malah menyalahkan semua orang termasuk anak-anak yang tidak mengerti apa-apa.

Sebegitu berartikah Devi, orang yang baru beberapa tahun dia kenal dibandingkan kami semua yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun.

Terutama aku yang sudah menemani dia nol. Dari Mas Haris belum memiliki apa-apa, bahkan untuk makan saja susahnya luar biasanya.

Aku dan Mas Haris memang menikah muda pada saat itu. Aku masih berusia delapan belas tahun, sementara Mas Haris dua puluh dua tahun.

Kami menikah untuk menghindari zina sebab hampir setiap hari suami datang mengunjungi, bahkan tidak jarang dia mengajak pergi meski hanya duduk-duduk di taman.

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan dari pihak keluarga suami datang meminang, meminta kami untuk segera menghalalkan hubungan sebab saat itu banyak tetangga yang ketahuan hamil diluar nikah. Ibu dan ayah tidak mau kalau sampai itu terjadi kepada kami karena kebetulan suami juga berasal dari keluarga religius.

Kami berdua pun akhirnya melangsungkan pernikahan. Hidupku dan Mas Haris begitu bahagia meski dalam kesederhanaan.

Saat itu Mas Haris hanya bekerja sebagai pelayan toko yang gajinya hanya cukup untuk makan saja, sementara aku tidak bisa membantu mencari nafkah karena di tahun pertama pernikahan kami Tuhan langsung menitipkan amanah pertamanya yaitu Azriel.

Setelah putra pertama kami lahir, Mas Haris memutuskan untuk mengajakku pindah ke Jakarta, katanya ingin mengubah nasib sebab jika terus saja tinggal di daerah kehidupan kami tidak akan maju.

Sebagai seorang istri aku menurut saja apa yang dikatakan oleh suami, dan ternyata hidup di ibukota itu tidak semudah bayangan kami. Semuanya serba beli, harus menyewa rumah sedangkan pekerjaan belum dia dapatkan.

Untung saja ibu mertua membekali uang yang cukup untuk membayar sewa rumah selama tiga bulan meski hanya sebuah bangunan semi permanen serta berlantai semen, sedangkan sisanya untuk kami belikan alas tidur juga untuk makan sehari-hari.

Selama Mas Haris belum mendapatkan pekerjaan aku memutuskan untuk bekerja di sebuah rumah makan, karena kebetulan aku memiliki keahlian memasak dan pemilik warung makan merasa cocok dengan semua olahan tanganku.

Hingga akhirnya Mas Haris mendapatkan pekerjaan sebagai seorang penjaga keamanan di komplek tidak jauh dari kontrakan, lalu dia menyuruhku berhenti bekerja dan fokus menjaga Azriel. Akan tetapi itu pun hanya bertahan beberapa bulan saja sebab penjaga keamanan yang lama kembali dan mengambil pekerjaan suami.

Mas Haris terus saja berusaha mencari pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, namun meski memiliki ijazah dari fakultas ternama di kota kami tidak menjamin mudahnya mendapatkan pekerjaan di ibukota.

Di saat hampir menyerah, seorang taman menawarkan pekerjaan di salah satu perusahaan properti milik saudaranya. Mas Haris ditempatkan sebagai pengawas lapangan dengan gaji yang lumayan, meskipun setiap kali waktunya gajian tidak pernah dibayarkan tepat waktu.

Tetapi hidup kami sangat bahagia dalam naungan payung cinta. Dan dari situlah Mas Haris belajar banyak tentang proyek pembangunan, hingga akhirnya dia memilih untuk mengambil proyek kecil-kecilan dengan modal menjual perhiasan juga rumah peninggalan orangtuaku dan merangkak jatuh bangun hingga perusahaannya menjadi besar seperti sekarang ini.

Akan tetapi setelah dia sukses, ternyata ini balasan yang dia berikan atas semua cinta, pengorbanan juga kesetiaan yang selalu aku berikan.

Dia memilih membagi hati, cinta juga raga, dan yang lebih menyakitkan lagi dia membaginya dengan sahabatku sendiri. Orang yang pernah aku bantu saat kesusahan, bahkan dalam tubuhnya mengalir darahku juga sebab saat dia dan suaminya mengalami kecelakaan, aku lah orang yang mendonorkan darah untuk menyelamatkan hidupnya.

***

Sudah hampir satu pekan Mas Haris tidak pulang ke rumah, semenjak pertengkaran yang terjadi di dalam kamar Syaqila.

Akan tetapi puluhan pesan dia kirimkan, terus menyalahkan diriku atas semua yang terjadi.

Dia bilang aku terlalu banyak mengatur dan menyebalkan, cerewet dan tidak pernah bisa menyenangkan hatinya. Aku juga dicap sebagai ibu yang gagal serta tidak mampu mendidik anak. Sungguh menyakitkan.

"Ma, Abang berangkat sekolah dulu ya? Mama nggak apa-apa kan, ditinggal sendirian di rumah?" pamit Azriel sambil menyalami tanganku dan menciumnya dengan takzim.

"Nggak apa-apa kok, Sayang. Kamu sekolah saja yang bener. Biar jadi orang sukses nanti!" Mengusap rambut anakku sambil melekuk senyum.

"Aamiin. Abang sayang sama Mama. Maaf kalau Abang selalu bikin Mama susah!" Dia lalu memeluk tubuhku erat.

"Mama juga sayang sama Abang Azriel dan dedek Qila. Kalian adalah permata hati Mama yang akan selalu Mama jaga walaupun nanti nyawa yang akan menjadi taruhannya."

"Yasudah, Abang jalan sekarang. Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam." Aku melambaikan tangan sambil terus menatap tubuh anakku yang semakin tumbuh besar, bahkan sekarang tingginya sudah melebihi diriku dan Mas Haris.

Sementara Syaqila. Aku lihat dia masih melamun di meja makan, mengaduk-aduk sereal yang terhidang dengan wajah hampa seperti kehilangan separuh hidupnya. Apa dia merasa kehilangan ayahnya karena sudah satu minggu Mas Haris tidak pulang?

"Kok sarapannya belum dimakan, Dek? Kenapa? Nggak enak?" tanyaku dengan nada lembut, mengusap rambutnya yang hitam tergerai lalu melekuk senyum ketika mata bulat bernaung bulu lebat nan lentik itu memindai wajahku.

"Qila nggak mau pisah sama Mama. Qila mau di sini sama Mama!" ucapnya membuat kedua alisku bertaut hingga hampir menyatu.

"Memangnya siapa yang mau ninggalin Qila? Qila itu anak Mama. Sudah pasti akan selalu bersama Mama dan Abang!"

"Tapi Tante Devi bilang, katanya Qila mau dibawa Papa dan dipisahkan sama Mama. Tante Devi bilang kalau Mama ini racun dan hanya bikin Qila jadi anak nakal dan bandel kalau Qila tetep sama Mama."

Deg!

Mendadak dadaku memanas mendengar pengakuan Syaqila. Tega sekali Mas Haris menyuruh gundiknya untuk mencuci otak anakku. Tidak akan kubiarkan ini terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status