Share

Part 4

"Emm... Memangnya Qila ketemu Tante Devi di mana?" tanyaku lagi.

"Tante Devi kemarin ke sekolah sama Papa. Katanya Qila juga mau dipindahkan dari sekolah Qila. Qila nggak mau Mama..."

Benar-benar sudah keterlaluan Mas Haris. Belum cukupkah luka yang dia torehkan dalam dada? Aku sudah berusaha sabar menghadapi mereka berdua, akan tetapi sepertinya mereka malah mengibarkan bendera perang.

"Qila dengar ya, Sayang. Selamanya Qila akan bersama Mama dan Abang. Apa pun yang terjadi nanti." Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menatap mata bening itu penuh dengan kehangatan sambil melekuk bibir walau hati sedang terbakar emosi.

Syaqila mengangguk perlahan lalu segera menyantap cereal yang sudah kubuatkan, meneguk susu coklat kesukaannya kemudian mengambil tas dan segera berjalan bersisian denganku dengan mode bergandengan tangan menuju parkiran.

Seperti hari-hari sebelumnya aku tetap mengantarkan Qila ke sekolah menggunakan mobil yang dibelikan oleh Mas Haris sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami yang ke empat belas empat tahun yang lalu.

"Maaf, Bu Ambar, memangnya Syaqila benar-benar mau pindah dari sekolah ini?" tanya salah seorang tenaga pengajar yang tidak sengaja berpapasan dengan diriku di pintu gerbang.

"Enggak, Bu. Qila akan tetap sekolah di sini sampai lulus." Aku menjawab lugas seraya menerbitkan senyuman.

"Soalnya kemarin Pak Haris datang dan mengurus surat pindahan Syaqila."

"Saya minta tolong ya, Bu. Kalau besok-besok papanya anak-anak datang lagi, tolong kabari saya. Soalnya saya tidak mau anak saya sampai pindah sekolah. Syaqila sudah betah dan merasa nyaman menimba ilmu di sekolah ini. Dia sampai murung terus gara-gara mendengar kabar kalau dia akan dipindahkan dari sekolah ini oleh papanya."

"Iya, Bu Ambar. Kalau Pak Haris datang lagi ke sekolah, saya akan segera menghubungi Ibu."

"Terima kasih, Bu Guru. Yasudah kalau begitu saya permisi dulu. Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam!"

Lekas kembali ke dalam mobil, niatnya ingin menemui suami di kantor dan menanyakan maksudnya memindahkan Syaqila dari sekolah, juga memperingati dia agar tidak menyuruh gundiknya untuk mencuci otak anakku.

Aku rela kehilangan suami dan harta, asal jangan dipisahkan dengan anak-anak. Aku tidak akan bisa melanjutkan hidup jika tanpa buah hati yang selalu menjadi kekuatanku.

Perputaran keempat roda mobil milikku berhenti di parkiran kantor milik suami. Gegas turun dari kendaraan roda empat tersebut, mengayunkan kaki dengan anggun memasuki gedung perkantoran itu.

"Maaf, Bu. Ibu dilarang masuk ke dalam!" cegah salah seorang satpam ketika kaki ini baru saja menginjak lantai lobby.

"Kenapa saya dilarang masuk? Ini kantor suami saya lho?" Menatap tajam wajah satpam yang menghadang.

"Saya tahu, Bu. Tetapi Bapak yang memerintah kami untuk melarang Ibu masuk."

Ya Tuhan...

Benar-benar sudah lupa daratan dia. Sudah berani melarangku masuk ke kantor yang dimodali menggunakan warisan dari orangtuaku. Pasti ini juga karena pengaruh Devi.

"Tolong beri saya jalan, ya Pak. Saya mau masuk menemui suami saya," perintahku masih dengan nada santai, berusaha tenang tidak terpancing emosi.

"Sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Kalau saya melanggar saya bisa dipecat. Anak dan istri saya mau makan apa kalau saya sampai dipecat, Bu?" Pria berseragam putih biru itu menatap penuh permohonan.

"Pak, saya juga ada perlu dengan suami saya. Ini juga menyangkut masa depan anak-anak saya?"

"Mau apa kamu mencariku, Ambar?!" Aku segera menoleh mendengar suara bariton Mas Haris.

Devi berdiri di sebelah suami, menggamit tangannya dengan mesra tanpa perduli dengan orang-orang di sekitar yang menatap tidak suka.

Dasar tidak tahu malu.

"Apa maksud kamu memindahkan Qila dari sekolah lamanya, Mas?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Suka-suka aku dong. Aku yang punya uang. Memangnya kenapa? Kamu mau protes?" Dia menjawab dengan nada jumawa.

"Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan anak kamu, Mas? Dia itu langsung down, apalagi ketika Devi mengatakan kalau dia akan dipisahkan denganku. Kamu itu benar-benar ayah yang tidak berperasaan. Hanya demi menyenangkan selingkuhan kamu, kamu rela mengorbankan perasaan anak-anak kamu, darah daging kamu sendiri yang mungkin akan menjadi tempat kamu berlindung nanti jika sudah tua renta dan tidak bisa apa-apa!"

"Aku melakukan itu karena tidak mau sampai anakku salah mendapat didikan dari kamu!"

"Salah mendarat didikan bagaimana maksud kamu? Aku justru takut kalau dia sampai mengikuti kelakuan kamu yang bejat itu! Kalau kamu mau pergi dan lebih memilih Devi silakan. Aku tidak akan melarang. Kalian kan memang pasangan serasi!"

"Ya iya dong... Baru nyadar?" timpal Devi sambil menatapku dengan mimik sombong.

"Serasi, seperti sampah dan tongnya!" lanjutku seraya mengangkat satu ujung bibir.

"Diam kamu, Ambar. Mulut kamu itu memang benar-benar seperti orang yang tidak berpendidikan. Dasar orang kampung. Udik. Mulai hari ini, aku jatuhkan talak kepadamu Ambar Atmaranti. Kamu sudah bukan lagi istriku. Silakan kamu pergi dari tempat ini dan jangan pernah lagi menampakkan wajah di depanku!" ucap Mas Haris dengan lantang sembari menunjuk wajahku, sementara wanita di sebelahnya terlihat tersenyum puas.

Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak menitikkan air mata meski rasanya air bah nan asin itu terus saja memaksa untuk diburaikan.

Aku tidak boleh menangis dan terlihat lemah di depan mereka, meskipun nyatanya tidak jua bisa setegar batu karang yang terus saja berdiri kokoh walau terus menerus diterjang sang ombak.

"Satpam, usir perempuan itu dari tempat ini!" titah Devi sambil berkacak pinggang dan memasang wajah congkaknya.

"Tidak! Tidak ada yang bisa mengusir Ambar dari sini. Dia yang lebih berhak atas semua yang ada di sini. Bukan kamu, ataupun Haris!" Suara berat seorang laki-laki di belakangku membuat mata Mas Haris terkesiap dan melebar sempurna. Begitu pula dengan perempuan yang ada di sebelahnya. Dia segera menurunkan tangan dari pinggang, dan aku lihat wajahnya sudah memucat seperti mayat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status