"Emm... Memangnya Qila ketemu Tante Devi di mana?" tanyaku lagi.
"Tante Devi kemarin ke sekolah sama Papa. Katanya Qila juga mau dipindahkan dari sekolah Qila. Qila nggak mau Mama..."Benar-benar sudah keterlaluan Mas Haris. Belum cukupkah luka yang dia torehkan dalam dada? Aku sudah berusaha sabar menghadapi mereka berdua, akan tetapi sepertinya mereka malah mengibarkan bendera perang."Qila dengar ya, Sayang. Selamanya Qila akan bersama Mama dan Abang. Apa pun yang terjadi nanti." Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menatap mata bening itu penuh dengan kehangatan sambil melekuk bibir walau hati sedang terbakar emosi.Syaqila mengangguk perlahan lalu segera menyantap cereal yang sudah kubuatkan, meneguk susu coklat kesukaannya kemudian mengambil tas dan segera berjalan bersisian denganku dengan mode bergandengan tangan menuju parkiran.Seperti hari-hari sebelumnya aku tetap mengantarkan Qila ke sekolah menggunakan mobil yang dibelikan oleh Mas Haris sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami yang ke empat belas empat tahun yang lalu."Maaf, Bu Ambar, memangnya Syaqila benar-benar mau pindah dari sekolah ini?" tanya salah seorang tenaga pengajar yang tidak sengaja berpapasan dengan diriku di pintu gerbang."Enggak, Bu. Qila akan tetap sekolah di sini sampai lulus." Aku menjawab lugas seraya menerbitkan senyuman."Soalnya kemarin Pak Haris datang dan mengurus surat pindahan Syaqila.""Saya minta tolong ya, Bu. Kalau besok-besok papanya anak-anak datang lagi, tolong kabari saya. Soalnya saya tidak mau anak saya sampai pindah sekolah. Syaqila sudah betah dan merasa nyaman menimba ilmu di sekolah ini. Dia sampai murung terus gara-gara mendengar kabar kalau dia akan dipindahkan dari sekolah ini oleh papanya.""Iya, Bu Ambar. Kalau Pak Haris datang lagi ke sekolah, saya akan segera menghubungi Ibu.""Terima kasih, Bu Guru. Yasudah kalau begitu saya permisi dulu. Assalamualaikum!""Waalaikumussalam!"Lekas kembali ke dalam mobil, niatnya ingin menemui suami di kantor dan menanyakan maksudnya memindahkan Syaqila dari sekolah, juga memperingati dia agar tidak menyuruh gundiknya untuk mencuci otak anakku.Aku rela kehilangan suami dan harta, asal jangan dipisahkan dengan anak-anak. Aku tidak akan bisa melanjutkan hidup jika tanpa buah hati yang selalu menjadi kekuatanku.Perputaran keempat roda mobil milikku berhenti di parkiran kantor milik suami. Gegas turun dari kendaraan roda empat tersebut, mengayunkan kaki dengan anggun memasuki gedung perkantoran itu."Maaf, Bu. Ibu dilarang masuk ke dalam!" cegah salah seorang satpam ketika kaki ini baru saja menginjak lantai lobby."Kenapa saya dilarang masuk? Ini kantor suami saya lho?" Menatap tajam wajah satpam yang menghadang."Saya tahu, Bu. Tetapi Bapak yang memerintah kami untuk melarang Ibu masuk."Ya Tuhan...Benar-benar sudah lupa daratan dia. Sudah berani melarangku masuk ke kantor yang dimodali menggunakan warisan dari orangtuaku. Pasti ini juga karena pengaruh Devi."Tolong beri saya jalan, ya Pak. Saya mau masuk menemui suami saya," perintahku masih dengan nada santai, berusaha tenang tidak terpancing emosi."Sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Kalau saya melanggar saya bisa dipecat. Anak dan istri saya mau makan apa kalau saya sampai dipecat, Bu?" Pria berseragam putih biru itu menatap penuh permohonan."Pak, saya juga ada perlu dengan suami saya. Ini juga menyangkut masa depan anak-anak saya?""Mau apa kamu mencariku, Ambar?!" Aku segera menoleh mendengar suara bariton Mas Haris.Devi berdiri di sebelah suami, menggamit tangannya dengan mesra tanpa perduli dengan orang-orang di sekitar yang menatap tidak suka.Dasar tidak tahu malu."Apa maksud kamu memindahkan Qila dari sekolah lamanya, Mas?" tanyaku tanpa basa-basi."Suka-suka aku dong. Aku yang punya uang. Memangnya kenapa? Kamu mau protes?" Dia menjawab dengan nada jumawa."Apa kamu tidak pernah memikirkan perasaan anak kamu, Mas? Dia itu langsung down, apalagi ketika Devi mengatakan kalau dia akan dipisahkan denganku. Kamu itu benar-benar ayah yang tidak berperasaan. Hanya demi menyenangkan selingkuhan kamu, kamu rela mengorbankan perasaan anak-anak kamu, darah daging kamu sendiri yang mungkin akan menjadi tempat kamu berlindung nanti jika sudah tua renta dan tidak bisa apa-apa!""Aku melakukan itu karena tidak mau sampai anakku salah mendapat didikan dari kamu!""Salah mendarat didikan bagaimana maksud kamu? Aku justru takut kalau dia sampai mengikuti kelakuan kamu yang bejat itu! Kalau kamu mau pergi dan lebih memilih Devi silakan. Aku tidak akan melarang. Kalian kan memang pasangan serasi!""Ya iya dong... Baru nyadar?" timpal Devi sambil menatapku dengan mimik sombong."Serasi, seperti sampah dan tongnya!" lanjutku seraya mengangkat satu ujung bibir."Diam kamu, Ambar. Mulut kamu itu memang benar-benar seperti orang yang tidak berpendidikan. Dasar orang kampung. Udik. Mulai hari ini, aku jatuhkan talak kepadamu Ambar Atmaranti. Kamu sudah bukan lagi istriku. Silakan kamu pergi dari tempat ini dan jangan pernah lagi menampakkan wajah di depanku!" ucap Mas Haris dengan lantang sembari menunjuk wajahku, sementara wanita di sebelahnya terlihat tersenyum puas.Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak menitikkan air mata meski rasanya air bah nan asin itu terus saja memaksa untuk diburaikan.Aku tidak boleh menangis dan terlihat lemah di depan mereka, meskipun nyatanya tidak jua bisa setegar batu karang yang terus saja berdiri kokoh walau terus menerus diterjang sang ombak."Satpam, usir perempuan itu dari tempat ini!" titah Devi sambil berkacak pinggang dan memasang wajah congkaknya."Tidak! Tidak ada yang bisa mengusir Ambar dari sini. Dia yang lebih berhak atas semua yang ada di sini. Bukan kamu, ataupun Haris!" Suara berat seorang laki-laki di belakangku membuat mata Mas Haris terkesiap dan melebar sempurna. Begitu pula dengan perempuan yang ada di sebelahnya. Dia segera menurunkan tangan dari pinggang, dan aku lihat wajahnya sudah memucat seperti mayat.Ibu mertua memelukku erat sambil menangis, sementara Bapak segera menghampiri laki-laki yang baru saja menalakakku dan menamparnya di depan semua orang."Tidak tahu diri kamu, Haris. Kacang lupa kulitnya, tidak tahu malu dan tidak tahu balas budi. Apa kamu lupa, kamu bisa seperti ini itu karena siapa? Karena Ambar. Kalau bukan karena dia, kamu itu bukan siapa-siapa. Mungkin kamu masih menjadi karyawan biasa yang gajinya tidak pernah dibayar secara tepat waktu oleh bos kamu dan harus putar otak jika waktunya bayar kontrakan dan bahan pokok habis semua. Sekarang, setelah sukses dan punya segalanya, kamu mau membuang Ambar? Kalau kamu mau pisah dari dia, lepaskan semua kemewahan yang kamu punya, sebab ini semu milik Ambar. Dia yang mengeluarkan modal, sedangkan kamu hanya mengelola saja!" rutuk bapak mertua panjang lebar, membuat wajah Mas Haris memerah padam. Mungkin dia malu dikata-katai seperti itu oleh bapaknya sendiri di depan para karyawan."Pak, kita bisa bicarakan masalah ini ba
"Bapak mengancam?" tanya Mas Haris sambil menyeka keringat menggunakan saputangan, padahal jelas-jelas ruangan ini berpendingin udara dengan suhu enam belas derajat Celcius.Dia memang akan berkeringat secara berlebihan jika sedang ketakutan. Aku paham betul itu, karena sudah belasan tahun mendampingi dirinya."Bapak tidak mengancam. Hanya memperingatkan!" tekan seraya menatap tajam."Oke, begini saja. Aku akan memberikan rumah yang sekarang ditinggali oleh Ambar dan juga mobil yang sedang dia pakai," usul lelaki berusia empat puluh tahun itu."Tidak. Itu belum cukup. Bapak maunya kamu menyerahkan segalanya!""Ya Tuhan... Sebenarnya yang anak Bapak ini siapa, sih? Aku, apa Ambar?""Bapak hanya membela yang benar. Walaupun yang anak kandung Bapak itu kamu, tetapi karena kamu salah Bapak tidak akan memihak.""Oke. Begini saja, bagaimana kalau semua aset yang aku miliki dibagi dua. Biar adil. Dulu pertama usaha memang menggunakan uang Ambar untuk modal, dan aku yang mengelolanya sampai m
"Urusannya sudah selesai 'kan? Sekarang sebaiknya kita pulang, Mas. Aku malas berada di rumah ini terus!" sungut Devi seraya beranjak dari sofa dan menarik tangan Mas Haris tanpa memberi izin mantan suamiku untuk berpamitan kepada ibu dan bapak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya, pun dengan mertua. Mata dan hati Mas Haris sudah benar-benar buta karena cinta, sampai tidak bisa melihat keburukan yang selalu Devi tunjukkan."Astaghfirullahaladzim... Sebenarnya setan apa yang merasuki Haris sampai dia menjadi seperti itu, Bu. Bapak doakan semoga saja usahanya bangkrut dan dia merasakan seperti apa sakitnya dibuang oleh orang yang dia sayang, agar bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ambar saat ini!" ucap Bapak membuat pandangan kami semua tertuju kepadanya."Ya Allah, Pak. Jangan nyumpahin anak seperti itu. Nggak baik. Sebaiknya Bapak doakan semoga Allah segera membuka pintu hatinya dan mengubah sikapnya yang buruk itu. Doa orangtua itu langsung didengar dan dikabu
"Breng-sek kamu, Ambar. Teman sendiri lagi kesusahan malah nggak mau nolongin. Awas saja, aku adukan kamu nanti sama Mas Haris, biar dia mengambil kembali apa yang sudah diberikan!" teriak Devi sambil terus mengusap wajahnya yang sudah terlihat seperti monster."Maaf, Devi. Untuk kali ini aku tidak lagi mau membantu kamu. Kapok. Kamu itu kan ditulung malah mentung!" ujarku sambil mengayunkan kaki meninggalkan selingkuhan suami yang masih berada di dalam kubangan.Pun dengan Azriel yang langsung masuk ke dalam dengan terburu-buru."Ada apa, Bang? Kok kamu balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanyaku sambil menghampiri si sulung di kamarnya."Ada tugas aku yang ketinggalan, Ma. Makanya aku balik lagi ambil tugas ini, kebetulan juga jam pelajaran masih sepuluh menit lagi," jawabnya sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu mencium pipi ini dan segera pergi.Aku terus menatap punggung anak laki-lakiku yang semakin beranjak besar, bahkan sekarang menggantikan po
"Hus! Hus! Hus! Pergi dari sini, jangan kotori persaudaraan kami!" Mbak Rika mengibas-ngibaskan tangan mengusir Devi dari hadapan kami."Tapi, Jeng? Aku ini..." Perempuan ulet keket itu masih bersikeras untuk bergabung."Sudah kami bilang kalau kami tidak menerima pelakor di tengah-tengah kami! Ini itu circle-nya wanita baik-baik, bukan perebut laki orang seperti kamu!" potong Mbak Rianti semakin terlihat emosi."Kalian akan menyesal sudah nolak aku di sini. Aku akan mengadukan kalian sama Mas Haris biar dia memutuskan kerjasama dengan suami-suami kalian!" ancam Devi sambil menghentakkan kaki dan pergi meninggalkan kami.Beberapa orang yang ada di acara arisan langsung mendekatiku, memeluk serta memberikan kata-kata motivasi supaya aku kuat menghadapi pelakor seperti dia."Saya juga akan mengandukan perselingkuhan Pak Haris ke suami saya supaya dia dikasih pelajaran. Mbak Ambar nggak keberatan kan, kalau saya memberitahu suami tentang hal ini?" ujar Mbak Rianti. Dia adalah istri dari
"Dasar anak se*an. Awas saja kamu Azriel. Saya tidak akan melepaskan kamu!" ancam Mas Haris seraya berusaha bangun, mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah lalu berjalan gontai meninggalkan kamar.Napas Azriel masih naik turun tidak beraturan menahan emosi. Aku terus memeluk tubuhnya, menumpahkan air mata sambil tidak henti-hentinya mengingatkan dia untuk mengucap istighfar.Tidak lama kemudian Syaqila berlari masuk dan menghambur ke dalam pelukan, ikut menangis sambil mendekap erat pinggang ini."Qila takut, Mama," lirihnya dengan suara bergetar."Qila nggak usah takut. Ada Abang yang akan melindungi Qila dan Mama dari si Haris breng-sek itu!" sungut si sulung masih dengan nada meninggi, bahkan sekarang malah memanggil ayahnya tanpa embel-embel papa."San, tolong ambilkan minum buat abang!" titahku kepada Sani yang tengah berdiri di muka pintu dengan mata sudah berembun. Sepertinya dia juga ketakutan melihat kelakuan mant
"Sialan si Azriel. Disekolahin tinggi-tinggi tapi malah berani melawan orang tua. Ini pasti ajaran si Ambar yang gagal mendidik anak!" Aku mencengkram kemudi hingga buku-buku tanganku memutih. Kesal, marah, emosi karena perbuatan putra sulungku yang sudah berani menghajarku hingga babak belur.Memangnya salah kalau aku masih menggauli ibunya. Toh, baru jatuh talak dua. Masih bisa rujuk jika aku mau merujuknya. Dasar Ambar sok suci, pura-pura nolak, padahal dalam hati begitu menginginkan sentuhan lelaki.Mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota, tidak perduli dengan suara klakson kendaraan lain yang mungkin memperingatkan aku untuk hati-hati dalam mengemudi. Amarahku saat ini sedang meninggi dan sulit terkendali, mengingat apa yang sudah dilakukan anakku sendiri di rumah tadi.Arghh! Sialan. Awas saja kamu Ambar. Aku pastikan hidup kamu akan hancur perlahan, dan kamu akan mengemis untuk kembali kepadaku.Dasar peremp
Esok harinya, sesuai janji aku mengajak Devi ke sebuah showroom mobil tidak jauh dari apartemen. Wajah sang penghuni relung hati terlihat berbinar bahagia saat melihat-melihat koleksi mobil yang harganya membuat dada ini hampir tidak bisa bernapas itu.Namun demi cinta yang tengah membara dalam dada, apa pun akan kulakukan demi dia, meski harus menghabiskan uang tabuhan dan mengorbankan rumah tangga yang sudah belasan tahun dibina.Aku mencintai dia lebih dari apa pun di dunia ini, dan bahkan jika nyawa yang dia minta mungkin akan kuberikan juga.Bukannya terlalu berlebihan. Tetapi entahlah, semenjak bertemu dengan dia di acara anniversary perusahaan aku merasa jiwa mudaku kembali bergelora. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Padahal, dulu-dulu ketika Ambar memperkenalkan dia sebagai sahabatnya aku tidak pernah memiliki perasaan apa-apa.Hingga akhirnya Devi menghampiri, meminta bertukar nomer ponsel dan dia sering meminta pertolong