"Pagi, Bu. Maaf saya terlambat.”
Sekitar 15 menit usai kelas dimulai, seorang cowok berjaket varsity berwarna biru-putih mengetuk pintu. Semua orang menoleh ke arah cowok itu, yang berjalan memasuki ruangan dengan gaya santai bercampur tengil.
Cowok bernama Boy itu malah tersenyum manis menghadapi dosen wanita yang dikenal galak—Bu Asri, yang kini tengah menatapnya dengan ekspresi muka marah.
“Tadi ban belakang motor saya bocor di tengah jalan, jadi saya ke bengkel dulu," kata Boy pada dosen dengan sopan namun penuh keberanian.
Senyum manisnya masih terulas di bibir, yang entah kenapa terlihat seksi di mata para cewek di kampus ini. Aku tidak paham mengapa bibir Boy dibilang seksi. Apakah yang mereka maksud seksi itu, karena bibir Boy sering menyunggingkan senyuman yang membuat mereka deg-degan setiap kali melihatnya?
Kalau memang itu definisi seksi, aku setuju. Karena aku pernah begitu deg-degan melihat senyum manis Boy dari jarak dekat. Walau cuma beberapa detik, momen tersebut selalu aku ingat.
Namun, aku yakin hal itu berbeda bagi cowok itu. Kejadian itu pasti sangat sepele baginya. Boro-boro dia mengingatku. Agaknya, senyumnya saat itu saja hanyalah sebuah kebiasaan yang dia lakukan tanpa banyak pertimbangan.
Ya, pasti begitu. Siapalah aku. Aku hanya seseorang yang antara ada dan tiada di mata orang-orang gaul macam Boy.
"Kamu tahu 'kan, aturan yang saya buat untuk semua mahasiswa yang datang terlambat di kelas saya?" kata Bu Asri dengan nada tajam.
"Tahu, Bu. Tapi, kalau tadi ban motor saya tidak bocor, pasti saya tidak akan datang terlambat ke sini. Saya minta keadilan, Bu. Saya benar-benar ingin mengikuti mata kuliah yang diajar Ibu dari dasar hati saya yang paling dalam," dalih Boy dengan nada tengil.
Semua mahasiswa di ruangan itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan Boy. Tak terkecuali sahabatku, Nava. Dia penggemar beratnya Boy.
"Apa yang kalian tertawakan?" Bu Asri menegur mereka yang tertawa itu dengan suara keras. Tak ada yang berani tertawa lagi. Boy sendiri masih setia berdiri tenang di tempatnya. "Ya sudah, kamu boleh duduk, karena ban bocor itu termasuk musibah. Tapi, lain kali kalau kamu terlambat lagi, kamu tidak boleh masuk ke kelas saya, dan saya tulis alpa di buku absensi, apapun alasannya," tandas Bu Asri galak.
"Baik, Bu. Terima kasih." Boy tersenyum manis, lalu melangkah tegap menuju deretan bangku terdepan.
"Dia pemberani banget ya, Ris." Satu-satunya temanku di kampus, Nava tiba-tiba berbisik ke telingaku. Dia memandang punggung Boy dengan tatapan memuja.
"Iya, iya. Tapi inget, dia udah punya pacar," timpalku.
Nava mendengkus kesal, "Sebel deh. Yang namanya Cinta itu kok segitunya banget ya hokinya? Di film, Cinta dapet Rangga. Di sini, Cinta dapet Boy. Apa aku ganti nama jadi Cinta aja, kali ya? Biar gampang dapetin cowok yang aku sukai."
"Masa sih?" ucapku geli mendengar omelan Nava. **Satu minggu setelah Boy datang terlambat di kelas Bu Asri....
Kali ini aku sendiri, sebab Nava absen karena ada keperluan keluarga. Sebagai seorang introver, aku bukan tipikal orang yang suka nongkrong di kantin, atau tipe orang yang suka bergabung dengan gerombolan cewek-cewek yang sekelas denganku.Topik pembicaraan kami jika aku memaksakan diri bergabung pun pasti tak akan cocok. Tepatnya, aku tidak bisa dan tidak tertarik dengan topik-topik itu. Untuk itu, usai kelas dibubarkan dosen, aku lebih memilih menyendiri saja di sebuah tempat sambil memainkan game di ponsel, atau sekedar membaca novel online.
Kupilih spot yang menurutku paling nyaman untukku duduk menikmati bekal yang ku bawa dari rumah. Kali ini atap gedung jadi pilihanku. Kebetulan, jam mata kuliah berikutnya masih ada jeda 180 menit lagi, aku pun berencana melanjutkan membaca novel online berjudul 'Mendadak Menikah Dengan Idola Kampus' yang sudah kubaca sejak kemarin.
Sambil membaca, aku mengeluarkan sebuah kotak bekal berisi nasi dengan lauk telur mata sapi dan tumis kangkung dari tas, plus botol air minum berwarna merah. Aku berdoa sejenak, mengucapkan syukur kepada Tuhan yang sudah memberiku banyak berkah untukku dan Bapak selama ini.
"Lagi ngapain?"
Begitu membuka mata, aku dikejutkan oleh seseorang yang sudah berjongkok di depanku yang duduk lesehan beralaskan kantong kertas bekas bungkus semen yang tergeletak di lantai atap tersebut.
"B... Boy?" Aku menyebut namanya dengan sangat gugup. Lidahku terasa kelu. Mataku pun tak sanggup menatapnya dari jarak sedekat itu. Mata Boy begitu tajam sekaligus menyiratkan rasa ingin tahu yang usil. Wajahnya yang manis. Bibirnya yang....
"Kamu tau namaku?" tanya Boy dengan nada heran.
‘Ya tau lah. 'Kan kamu anak gaul dan populer di kampus ini. Mungkin seluruh umat manusia di alam semesta ini tau nama kamu. Justru kamu yang nggak tau namaku,’ batinku.
"Kalau ditanya, jawab dong. Kok malah nunduk terus?" sentil Boy. Aku malah jadi tambah bersikukuh untuk tetap menundukkan kepala. Benar-benar deh, aku tidak kuat bertatapan dengannya dalam jarak setipis ini.
"Mm... Maaf," kataku gelisah.
"Emangnya kamu salah apa?" Boy terkekeh sembari mendudukkan diri di tempat dia berjongkok barusan. Aku melihatnya dari ekor mata.
"Pakai ini. Jangan duduk di situ tanpa alas. Kotor."
Aku berniat bangkit untuk menyorongkan kantong kertas bekas bungkus semen yang kupakai pada Boy, tetapi dia malah terkekeh lagi.
"Kenapa ketawa?" Kuberanikan diri memprotesnya.
"Nggak usah. Buat kamu aja. Aku udah biasa sama yang kotor-kotor kok."
Entah kenapa, nada bicara Boy terdengar lembut di telingaku. Tanpa sadar, aku mendongak dan mata kami bersirobok. "Oh..." gumamku linglung seraya buru-buru menundukkan kepala lagi.
Boy tertawa lepas. Pasti karena baginya aku sangat lucu dan culun. "Nama kamu siapa sih? Sekelas sama aku, 'kan?" tanya Boy.
‘Tuh 'kan, kamu yang nggak kenal aku,’ timpalku di dalam hati.
"Boy. Ngapain kamu di sini? Pantesan aku cari-cari kamu di kantin tadi nggak ada." Tiba-tiba ada sebuah suara yang ku kenali sebagai suara Cinta menyela pembicaraan kami.
"Aku lagi pacaran, Ta. Kamu nggak liat? Nih, pacarku udah repot-repot bawain bekal buatku. Kamu aja deh yang makan di sana," kata Boy cuek.
"Pacar?"
Aku dan Cinta mengatakannya bersamaan. Rasa maluku musnah, berubah jadi rasa syok. Kini aku memandang Boy dengan mata terbeliak lebar.
Siapa yang dibilang pacar oleh Boy? Aku, 'kan? Maksudnya apa? 'Kan Cinta yang pacarnya. Lagipula... Sejak kapan kami pacaran??? BERSAMBUNGBoy meraih kotak bekalku dengan santai, lalu membuka tutupnya dan berkata dengan nada antusias. "Wah, kamu masak menu kesukaanku ya, Sayang? Makasih ya."Aku hampir pingsan ketika menyaksikan Boy mengambil sendok dan memakan nasi serta tumis kangkung dan telur mata sapi di kotak bekal itu.Masa sih, seorang Boy doyan makan makanan rakyat jelata sepertiku? Dengar-dengar, Boy anak seorang CEO salah satu perusahaan ternama di negara ini. Tidak mungkin 'kan, menu makannya sehari-hari berupa tumis kangkung dan telur mata sapi? Tapi, barusan kok dia bilang menu bekalku itu menu kesukaannya? Terus..., dia juga memanggilku 'Sayang'. Pasti aku yang salah dengar, 'kan?"Yang bener aja, Boy! Masa kamu bilang kamu pacaran sama cewek kampungan kayak gitu? Liat aja tuh, makanan yang dia bawa aja menu kampung," cetus Cinta seraya memelototiku dan tersenyum sinis."Mendingan kamu pergi aja deh. Jangan ganggu orang lagi pacaran kayak gini." Boy menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir seekor aya
"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah ajamanggil pacarnya 'Sayang'." Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkandiri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava."Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanyaPrima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu."Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara akutak berani menatap wajahnya sama sekali."Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis ginidi atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnyayang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orangbarbar kayak kamu.""Oh ya?" dengkus Prima pongah."Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukanurusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya kesandaran bangku di balik punggungku.Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasiperasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya."Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?"celetuk cowok
"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekalimengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.Dia bilang suka padaku?Masa sih?Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadarikeberadaanku sebelumnya.Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya,sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku jugaorang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa sajasepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku."Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamujawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boyterus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedarbergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagaiselingan.Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas BuGeraldine, Boy justru terlihat l
"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe
"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran
Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu
"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,
"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya