Share

My 'Bad' Boyfriend
My 'Bad' Boyfriend
Author: Kanita Faraya

BAB 1 - Mr. Pusat Perhatian

"Pagi, Bu. Maaf saya terlambat.”

Sekitar 15 menit usai kelas dimulai, seorang cowok berjaket varsity berwarna biru-putih mengetuk pintu. Semua orang menoleh ke arah cowok itu, yang berjalan memasuki ruangan dengan gaya santai bercampur tengil.

Cowok bernama Boy itu malah tersenyum manis menghadapi dosen wanita yang dikenal galak—Bu Asri, yang kini tengah menatapnya dengan ekspresi muka marah.

“Tadi ban belakang motor saya bocor di tengah jalan, jadi saya ke bengkel dulu," kata Boy pada dosen dengan sopan namun penuh keberanian.

Senyum manisnya masih terulas di bibir, yang entah kenapa terlihat seksi di mata para cewek di kampus ini. Aku tidak paham mengapa bibir Boy dibilang seksi. Apakah yang mereka maksud seksi itu, karena bibir Boy sering menyunggingkan senyuman yang membuat mereka deg-degan setiap kali melihatnya?

Kalau memang itu definisi seksi, aku setuju. Karena aku pernah begitu deg-degan melihat senyum manis Boy dari jarak dekat. Walau cuma beberapa detik, momen tersebut selalu aku ingat.

Namun, aku yakin hal itu berbeda bagi cowok itu. Kejadian itu pasti sangat sepele baginya. Boro-boro dia mengingatku. Agaknya, senyumnya saat itu saja hanyalah sebuah kebiasaan yang dia lakukan tanpa banyak pertimbangan.

Ya, pasti begitu. Siapalah aku. Aku hanya seseorang yang antara ada dan tiada di mata orang-orang gaul macam Boy.

"Kamu tahu 'kan, aturan yang saya buat untuk semua mahasiswa yang datang terlambat di kelas saya?" kata Bu Asri dengan nada tajam.

"Tahu, Bu. Tapi, kalau tadi ban motor saya tidak bocor, pasti saya tidak akan datang terlambat ke sini. Saya minta keadilan, Bu. Saya benar-benar ingin mengikuti mata kuliah yang diajar Ibu dari dasar hati saya yang paling dalam," dalih Boy dengan nada tengil.

Semua mahasiswa di ruangan itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan Boy. Tak terkecuali sahabatku, Nava. Dia penggemar beratnya Boy.

"Apa yang kalian tertawakan?" Bu Asri menegur mereka yang tertawa itu dengan suara keras. Tak ada yang berani tertawa lagi. Boy sendiri masih setia berdiri tenang di tempatnya. "Ya sudah, kamu boleh duduk, karena ban bocor itu termasuk musibah. Tapi, lain kali kalau kamu terlambat lagi, kamu tidak boleh masuk ke kelas saya, dan saya tulis alpa di buku absensi, apapun alasannya," tandas Bu Asri galak.

"Baik, Bu. Terima kasih." Boy tersenyum manis, lalu melangkah tegap menuju deretan bangku terdepan.

"Dia pemberani banget ya, Ris." Satu-satunya temanku di kampus, Nava tiba-tiba berbisik ke telingaku. Dia memandang punggung Boy dengan tatapan memuja.

"Iya, iya. Tapi inget, dia udah punya pacar," timpalku.

Nava mendengkus kesal, "Sebel deh. Yang namanya Cinta itu kok segitunya banget ya hokinya? Di film, Cinta dapet Rangga. Di sini, Cinta dapet Boy. Apa aku ganti nama jadi Cinta aja, kali ya? Biar gampang dapetin cowok yang aku sukai."

"Masa sih?" ucapku geli mendengar omelan Nava.

**

Satu minggu setelah Boy datang terlambat di kelas Bu Asri....

Kali ini aku sendiri, sebab Nava absen karena ada keperluan keluarga. Sebagai seorang introver, aku bukan tipikal orang yang suka nongkrong di kantin, atau tipe orang yang suka bergabung dengan gerombolan cewek-cewek yang sekelas denganku.

Topik pembicaraan kami jika aku memaksakan diri bergabung pun pasti tak akan cocok. Tepatnya, aku tidak bisa dan tidak tertarik dengan topik-topik itu. Untuk itu, usai kelas dibubarkan dosen, aku lebih memilih menyendiri saja di sebuah tempat sambil memainkan game di ponsel, atau sekedar membaca novel online.

Kupilih spot yang menurutku paling nyaman untukku duduk menikmati bekal yang ku bawa dari rumah. Kali ini atap gedung jadi pilihanku. Kebetulan, jam mata kuliah berikutnya masih ada jeda 180 menit lagi, aku pun berencana melanjutkan membaca novel online berjudul 'Mendadak Menikah Dengan Idola Kampus' yang sudah kubaca sejak kemarin.

Sambil membaca, aku mengeluarkan sebuah kotak bekal berisi nasi dengan lauk telur mata sapi dan tumis kangkung dari tas, plus botol air minum berwarna merah. Aku berdoa sejenak, mengucapkan syukur kepada Tuhan yang sudah memberiku banyak berkah untukku dan Bapak selama ini.

"Lagi ngapain?"

Begitu membuka mata, aku dikejutkan oleh seseorang yang sudah berjongkok di depanku yang duduk lesehan beralaskan kantong kertas bekas bungkus semen yang tergeletak di lantai atap tersebut.

"B... Boy?" Aku menyebut namanya dengan sangat gugup. Lidahku terasa kelu. Mataku pun tak sanggup menatapnya dari jarak sedekat itu. Mata Boy begitu tajam sekaligus menyiratkan rasa ingin tahu yang usil. Wajahnya yang manis. Bibirnya yang....

"Kamu tau namaku?" tanya Boy dengan nada heran.

‘Ya tau lah. 'Kan kamu anak gaul dan populer di kampus ini. Mungkin seluruh umat manusia di alam semesta ini tau nama kamu. Justru kamu yang nggak tau namaku,’ batinku.

"Kalau ditanya, jawab dong. Kok malah nunduk terus?" sentil Boy. Aku malah jadi tambah bersikukuh untuk tetap menundukkan kepala. Benar-benar deh, aku tidak kuat bertatapan dengannya dalam jarak setipis ini.

"Mm... Maaf," kataku gelisah.

"Emangnya kamu salah apa?" Boy terkekeh sembari mendudukkan diri di tempat dia berjongkok barusan. Aku melihatnya dari ekor mata.

"Pakai ini. Jangan duduk di situ tanpa alas. Kotor."

Aku berniat bangkit untuk menyorongkan kantong kertas bekas bungkus semen yang kupakai pada Boy, tetapi dia malah terkekeh lagi.

"Kenapa ketawa?" Kuberanikan diri memprotesnya.

"Nggak usah. Buat kamu aja. Aku udah biasa sama yang kotor-kotor kok."

Entah kenapa, nada bicara Boy terdengar lembut di telingaku. Tanpa sadar, aku mendongak dan mata kami bersirobok. "Oh..." gumamku linglung seraya buru-buru menundukkan kepala lagi.

Boy tertawa lepas. Pasti karena baginya aku sangat lucu dan culun. "Nama kamu siapa sih? Sekelas sama aku, 'kan?" tanya Boy.

‘Tuh 'kan, kamu yang nggak kenal aku,’ timpalku di dalam hati.

"Boy. Ngapain kamu di sini? Pantesan aku cari-cari kamu di kantin tadi nggak ada." Tiba-tiba ada sebuah suara yang ku kenali sebagai suara Cinta menyela pembicaraan kami.

"Aku lagi pacaran, Ta. Kamu nggak liat? Nih, pacarku udah repot-repot bawain bekal buatku. Kamu aja deh yang makan di sana," kata Boy cuek.

"Pacar?"

Aku dan Cinta mengatakannya bersamaan. Rasa maluku musnah, berubah jadi rasa syok. Kini aku memandang Boy dengan mata terbeliak lebar.

Siapa yang dibilang pacar oleh Boy?

Aku, 'kan?

Maksudnya apa?

'Kan Cinta yang pacarnya.

Lagipula...

Sejak kapan kami pacaran???

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status