Share

BAB 6 - Kecelakaan Kecil Berefek Besar

"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"

Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara Bu Asri kembali menegur kami dengan nada ketus.

"Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafe saja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."

Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanas karena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenang saja menghadapi kegusaran Bu Asri.

"Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Aku mengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai.

"Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawab pertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-laki dulu," ujar Bu Asri tegas.

Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan dengan materi mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar. Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya.

"Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang saya sampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya menerangkannya tadi. Tapi akan lebih bagus lagi kalau kamu bisa lebih berkonsentrasi menyimak penjelasan saya," kata Bu Asri.

"Nah, sekarang. Pertanyaan kedua..."

"Biar saya saja Bu yang menjawab semua pertanyaan Ibu. Soalnya saya yang mengajak teman saya ngobrol. Dia tidak salah apa-apa," cetus Boy tiba-tiba memotong ucapan Bu Asri.

"Baik, kalau itu mau kamu. Walaupun yang namanya mengobrol tentunya ada lebih dari satu orang yang berbicara," tukas Bu tajam.

Aku merasa dia sedang menyindirku, mengusik hati nuraniku agar tak lari dari tanggung jawab.

Jari-jemariku yang berkeringat bergerak-gerak gelisah di pangkuanku. Rasa percaya diriku melesak sampai ke titik terendah. Dan di titik terendah itulah, aku tak punya tempat untuk melarikan diri yang lain, selain melenting ke atas.

Mendadak ada keberanian yang muncul di dalam diriku, setelah merasa tertekan karena menjadi pusat perhatian dalam hal yang buruk. Tekad ingin menyatakan bahwa penilaian Bu Asri terhadapku salah besar mendorongku untuk segera mendongakkan wajah dan bicara pada dosen itu.

"Sa... Saya saja Bu yang menjawab soalnya," kataku. Walaupun sekujur badanku gemetaran.

"Wow!" komentar Boy lirih sembari mendecakkan lidahnya dengan kagum.

"Kalau begitu, dengarkan baik-baik pertanyaannya," kata Bu Asri.

Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya yang memakai lipstik berwarna merah tua. Dia memandangku dengan ekspresi senang. Apalagi saat aku bisa menjawab soal yang dia berikan kepadaku dengan benar dan tepat.

"Kerja bagus," puji Bu Asri.

"Terima kasih, Bu," jawabku diplomatis.

"Kamu keren juga," cetus Boy.

"Makasih," sahutku. Takut melambung tinggi sampai terbentur langit-langit ruang kelas itu.

Begitu kelas Bu Asri berakhir, Nava langsung beranjak mendekati bangkuku.

"Kalian tadi ngapain aja sih?" tanya Nava penasaran. Dia melirik Boy yang meninggalkan bangkunya dengan gaya acuh tak acuh.

"Kalau jadi ngomongnya, ikuti aku," kata Boy tanpa menoleh padaku.

"Y... Ya," jawabku.

"Jadi ngomong apa?" cecar Nava.

"Yang 'itu'," tukasku.

"Oh iya ya! Sori, aku lupa. Ya udah, kalau gitu, aku tunggu kamu di tempat parkir aja ya," kata Nava sambil nyengir kuda.

"Oke," sahutku.

"Udah, sana. Buruan ikutin mas Boy!" Nava pura-pura menarik tanganku agar aku cepat bangun dari tempat dudukku.

‘Sekarang atau nggak sama sekali!’ batinku.

"Semangat ya, Ris!" seru Nava ketika aku pergi menemui Boy di luar kelas.

"Akhirnya jadi?" kata Boy santai. Aku menemukannya bersandar ke salah satu pilar di selasar depan kelas.

‘Maksudnya apa 'akhirnya jadi'?’ batinku.

Apa Boy tahu tekadku sempat goyah beberapa kali tadi?

"Ya..." timpalku.

"Kamu mau ngomong apa?" tanya Boy.

"Di... sini?" Aku mengedarkan pandangan ke sekitar kami yang ramai.

"Di mana lagi emangnya?" tukas Boy geli.

"Mungkin... Kita bisa ngobrol di selasar lantai 3," usulku.

"Nggak apa-apa nih kamu berduaan sama aku?" celetuk Boy usil.

Aku diam. Sedikit salah tingkah menghadapi kenyataan bahwa akulah yang mengusulkan supaya naik ke lantai 3 gedung itu, lantai terakhir sebelum atap.

Kami menaiki tangga tanpa bercakap-cakap sedikitpun. Boy berjalan di depanku, sehingga aku bisa mengamat-amatinya dengan bebas. Kulitnya, rambutnya, langkahnya... Aku baru menyadari bahwa tinggi badanku cuma sebatas pundaknya.

Boy berhenti di selasar depan sebuah ruang kelas yang kosong di lantai 3 itu. Dia mendudukkan diri di bangku panjang yang tersedia di sana.

"Ayo, duduk," ujar Boy.

"Ng... Nggak usah. Aku berdiri aja," tanggapku sambil menyiapkan mental untuk mengungkapkan unek-unekku pada Boy sebentar lagi.

"Ya udah. Kamu mau ngomong soal apa?" tanya Boy.

Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya kuat-kuat sebelum mulai berbicara.

"Aku... Aku udah nggak mau jadi pacar pura-pura kamu lagi."

"Kenapa?" tanya Boy ringan.

Kok dia terdengar biasa-biasa saja seperti tak punya keinginan sedikitpun untuk memintaku tetap melanjutkan akting kami?

Jangan-jangan dia sudah berbaikan lagi dengan Cinta?

Kalau begitu, berarti aku bisa melepaskan diri dari Boy dengan lebih mudah, 'kan?

"Itu... Beban buat aku," jawabku.

"Beban gimana?" cecar Boy heran.

"Aku... Nggak bisa kalau suruh deket-deket terus sama kamu," dalihku.

"Kenapa nggak bisa?" tanya Boy heran. Tapi dia langsung menimpali ucapannya sendiri, tepat ketika aku mau menjawab pertanyaannya tersebut. "Oh... Gara-gara aku duduk sama kamu tiap hari?" tebak Boy.

"Bu... Bukan itu," sanggahku.

"Terus apa?" Kini Boy bersedekap. Dari nada bicaranya aku tahu jika dia kesal padaku. Padahal aku sama sekali tak berniat untuk bicara berbelit-belit begini.

"Pokoknya... Mulai besok aku udah nggak mau jadi pacar bohongan kamu lagi," tegasku.

"Ada yang ngancem kamu, ya 'kan?" ucap Boy.

"Ng... Nggak," sahutku bingung.

‘Kok malah dibilang ada yang ngancem sih?’ pikirku.

"Siapa orangnya?" interogasi Boy.

"Ng... Nggak ada," jawabku.

"Yakin nih?" Mata elang Boy menatapku lekat-lekat.

‘Duh, nggak kuat!’ batinku panik.

Kakiku lemas ditatap sedemikian rupa dalam jarak yang sedemikian dekat oleh Boy. Posisi tubuhnya yang sedang duduk di bangku panjang itu dan aku yang berdiri tak jauh di hadapannya membuat pandangan mata kami jadi sejajar.

"I... Iya. Yakin," sahutku. Terintimidasi.

Kepalaku menunduk karena aku tak kuat menanggung rasa gugup.

"Duduk dulu di sini kalau mau denger jawabanku," tukas Boy. Dia meraih pergelangan tanganku dan menariknya pelan. Tetapi, aku yang terkejut karena tiba-tiba ditarik olehnya jadi tergelincir dan jatuh terduduk di atas pangkuannya.

Aku terperangah. Kedua mataku terbeliak lebar. Dan wajahku terasa sangat panas menyadari bahwa kedua lengan Boy sekarang sedang melingkar di pinggangku. Sementara setengah badanku bersandar ke dadanya.

Entah karena syok entah karena hal lain yang tak ku pahami, aku terpaku selama beberapa detik sebelum akhirnya mengerahkan segenap daya dan upaya untuk kembali ke realita.

"Ma... Maaf!" cetusku otomatis.

Buru-buru aku bangkit dari posisi yang terasa begitu aneh dan memalukan itu. Untung saja Boy juga segera mengendurkan pelukannya.

"Hati-hati," ujar Boy.

"Tolong... Jangan bikin aku jadi makin terbebani," tandasku sambil cepat-cepat pergi dari tempat itu dengan gemetaran.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status