"Ris, ini apaan ya? Masa aku ditawarin kerja di Java Jaya Proud? Ini nggak ada hubungannya sama Boy dateng ke sini, 'kan?" kata Nava sambil duduk di kursi dapur. Sedangkan aku hanya menoleh sekilas padanya di sela-sela menggoreng pisang."Mungkin, Va. Tadi Boy tau kamu lagi nyari kerjaan dari Xander soalnya," timpalku."Ih! Kurang kerjaan banget tuh orang!" rutuk Nava. "Emangnya kamu ditawarin jadi apa di Java Jaya Proud? Itu cabangnya Java Jaya Group 'kan, ya? tanyaku. "Jadi staf HRD. Walaupun di cabang, tapi itu gila, 'kan? Nggak semua orang bisa dapet posisi itu," cetus Nava."Tapi nilai kamu bagus kok. IPK kamu aja 3,8." Aku meniriskan pisang goreng yang telah matang di atas sorok, lalu mendekati Nava di kursinya. Sahabatku itu tampak kebingungan. "Jujur aku ngerasa terbebani banget, Ris. Aku seneng dapet tawaran kerja. Apalagi ini dari perusahaan se-bonafit Java Jaya. Tapi kalau itu ada hubungannya sama Boy, namanya jadi nepotisme. Ya, 'kan?" ungkap Nava."Ya. Aku ngerti kok m
"Mau ke mana?" tanya Boy saat aku membukakan pintu untuknya. Matanya memindai blouse berwarna merah bata dan celana jeans yang aku kenakan dengan seksama. Aku tak langsung menjawab pertanyaan Boy itu karena di saat yang sama Xander mendekati Boy. "Om, ayo jalan-jalan," kata Xander. "Ayo. Tapi kamu mau pergi sama ibu kamu, 'kan," sahut Boy. "Iya. Sama aku juga," celetuk Nava yang mengekori Xander. "Tumben kamu di rumah, Va," ujar Boy. "Iyalah. Xander ngerengek terus minta aku ngebolehin om pergi sama-sama kita. Ternyata om-om yang dia bilang itu kamu," sahut Nava. "Aku juga baru tau, ternyata selama ini kamu tinggalnya di sini. Kenapa bilangnya nge-kost sama aku?" cetus Boy, menyentil Nava. "'Kan aku nggak mau bongkar tempat tinggalnya Risa sama Xander," timpal Nava. "Bisa diterima sih. Kamu temen deketnya Risa," kata Boy. "Xander, kamu mau ke taman bermain atau ke kebun binatang?" tan
Pantai yang kami datangi sangat ramai. Di sepanjang pasir yang terhampar di sana, para wisatawan dari berbagai kota berseliweran atau sekedar berdiri menikmati deburan ombak atau berfoto bersama keluarga dan teman. Ada juga yang asyik menikmati kuliner yang berjajar-jajar di pinggir pantai itu. "Ade mau ke sana," kata Xander sambil menunjuk ke arah pantai. Mungkin karena di sana banyak anak-anak berbagai usia yang tampak gembira bermain ombak atau bermain pasirpasir bersama orang tuanya atau orang lebih tua yang mendampingi mereka. "Oke. Tapi Xander bawa baju ganti, 'kan?" timpal Boy. Kemudian dia menoleh kepadaku. "Bawa," jawabku singkat. Fokusku agak terpecah melihat ke kanan kiriku. Ada banyak wanita, bahkan ibu-ibu, yang terang-terangan menatap kagum pada Boy. Namun, sorot mata mereka berubah menjadi dingin saat menatapku. 'Mungkin karena sama-sama cewek.' Aku berusaha berpikir positif. "Itu istrinya?" celetuk seorang cewek ABG. "Mukanya biasa aja ya," sahut teman atau saud
“Tolong, jangan kayak gini,” ucapku seraya menarik tangan yang masih Boy genggam. Kecemasan dalam diri saya semakin meningkat, meskipun saya berusaha menenangkan diri. "Kenapa? Apa kamu sudah ada orang lain sekarang?" Tuka Boy. Dia akhirnya melepaskannya. "Aku berharap iya. Tapi berkat seseorang, aku jadi takut sekaligus semakin melindungi sama lawan jenis," sahutku sarkastis, untuk menyembunyikan salah tingkah di baliknya. "Aku harus apa biar bisa nebus semua yang udah aku lakuin ke kamu?" kata Bocah. "Nggak ada. Aku juga nggak tau. Karena semuanya udah terlanjur rusak," timpalku dengan pandangan yang diabur oleh air mata. "Aku nggak tau, dengan minta kamu nikah sama aku, itu bisa nebus semuanya atau nggak. Yang jelas, aku cuma kepengin deket sama kamu dan Xander terus. Lagian, itu juga wasiat bapak kamu, 'kan?" tutur Boy. "Ya. Tapi, dulu 'kan kita sudah sepakat kalau kamu tidak terikat sama pesan terakhir bapak itu," tanggapku."Dulu aku bilang aku mau kok nikah sama kamu. Itu
"Apa aku kepagian?" cetus Boy sembari mengamati Xander yang baru selesai aku mandikan. "Nggak juga. Dibanding dulu," kataku. Dengan cepat aku menyisir rambut Xander. "Dulu pas aku jemput kamu ke kampus? Kamu masih inget ya," timpal Boy dengan seringai lebar menghiasi wajahnya. "Ya," sahutku sambil berjalan melewatinya untuk mengembalikan sisir dan handuk Xander ke tempatnya semula. "Sayang kamu nggak pakai daster itu lagi sekarang," celetuk Boy. Aku memilih tak menanggapi gurauan usilnya itu. "Om. Ayo, jalan-jalan," kata Xander. "Boleh. Tapi kita tunggu ibu kamu selesai mandi dulu, ya," jawab Boy ketika bertemu pandang denganku yang baru keluar dari kamar. Aku langsung membuang muka karena dia bisa menebak aku belum mandi. Pasti gara-gara rambutku yang ku ikat asal-asalan ini, 'kan? Atau malah mukaku terlihat kusut sekali di matanya sehingga dia bisa mengatakan hal yang sangat tepat tersebut? 'Kenapa aku jadi inse
Boy tertawa renyah melihat reaksiku. "Nggak usah tegang gitu. Aku cuma pengin kita santai sedikit di depan Xander," katanya. Aku hanya memalingkan wajah dari laki-laki tampan di sebelahku itu sambil mendengkus lirih. Ya. Lirih saja. Tapi rupanya Boy mendengarnya. "Kok gitu reaksinya?""Bukan apa-apa," jawabku. Sebisa mungkin aku berusaha menekan rasa gugup yang sering aku rasakan setiap kali bersama Boy dulu.Boy tak mengatakan apapun lagi. Dia sibuk memfokuskan diri menyetir selama beberapa saat lamanya sembari sesekali menyahut kalau Xander melontarkan komentar-komentar mengenai objek apapun yang kami lihat di sepanjang jalan yang kami lalui. Dia menerangkan hampir semua hal yang dipertanyakan oleh Xander kepadanya dengan bahasa yang lugas dan efektif. Bahkan, dia terlihat amat sabar menghadapi sikap serba ingin tahu anak itu tanpa sedikitpun tampak terbebani. Diam-diam aku memujinya di dalam hati. "Jam segini playground di daerah X
"Pagi, Bu. Maaf saya terlambat.” Sekitar 15 menit usai kelas dimulai, seorang cowok berjaketvarsity berwarna biru-putih mengetuk pintu. Semua orang menoleh ke arah cowokitu, yang berjalan memasuki ruangan dengan gaya santai bercampur tengil. Cowok bernama Boy itu malah tersenyum manis menghadapi dosenwanita yang dikenal galak—Bu Asri, yang kini tengah menatapnya dengan ekspresimuka marah.“Tadi ban belakang motor saya bocor di tengah jalan, jadisaya ke bengkel dulu," kata Boy pada dosen dengan sopan namun penuhkeberanian. Senyum manisnya masih terulas di bibir, yang entah kenapaterlihat seksi di mata para cewek di kampus ini. Aku tidak paham mengapa bibirBoy dibilang seksi. Apakah yang mereka maksud seksi itu, karena bibir Boysering menyunggingkan senyuman yang membuat mereka deg-degan setiap kalimelihatnya?Kalau memang itu definisi seksi, aku setuju. Karena akupernah begitu deg-degan melihat senyum manis Boy dari jarak dekat. Walau cumabeberapa detik, momen tersebut s
Boy meraih kotak bekalku dengan santai, lalu membuka tutupnya dan berkata dengan nada antusias. "Wah, kamu masak menu kesukaanku ya, Sayang? Makasih ya."Aku hampir pingsan ketika menyaksikan Boy mengambil sendok dan memakan nasi serta tumis kangkung dan telur mata sapi di kotak bekal itu.Masa sih, seorang Boy doyan makan makanan rakyat jelata sepertiku? Dengar-dengar, Boy anak seorang CEO salah satu perusahaan ternama di negara ini. Tidak mungkin 'kan, menu makannya sehari-hari berupa tumis kangkung dan telur mata sapi? Tapi, barusan kok dia bilang menu bekalku itu menu kesukaannya? Terus..., dia juga memanggilku 'Sayang'. Pasti aku yang salah dengar, 'kan?"Yang bener aja, Boy! Masa kamu bilang kamu pacaran sama cewek kampungan kayak gitu? Liat aja tuh, makanan yang dia bawa aja menu kampung," cetus Cinta seraya memelototiku dan tersenyum sinis."Mendingan kamu pergi aja deh. Jangan ganggu orang lagi pacaran kayak gini." Boy menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir seekor aya