Share

BAB 7 - Langit Malam Penuh Bintang

Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu.

"Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava.

"Udah..." jawabku.

"Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir.

"Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku.

"Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki.

"Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.

Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya.

"Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tiduran dulu gih," kata Nava. Dia menaruh tas ranselnya dan sepatunya dengan sembarangan di lantai kamarnya.

Aku cuma tersenyum maklum sambil melirik barang-barang yang sudah Nava hempaskan itu. Aku sudah tahu kebiasaan Nava itu sejak lama. Tapi aku tidak mau rewel mengkritiknya karena dia sering curhat padaku bahwa dia tertekan setiap kali diomeli oleh mamanya soal kebersihan dan kerapian kamarnya. Sebagai sahabat aku memilih untuk tidak menambah beban stresnya.

"Aku nggak kenapa-napa kok, Va," ujarku sembari duduk di kursi meja rias Nava.

"Kalau nggak kenapa-napa kok muka kamu tadi pucat?", timpal Nava tak percaya.

"Aku..." Wajahku memanas bersamaan dengan adegan jatuh yang terputar bagai video trailer film di otakku.

"Tadi Ada sesuatu, ya 'kan? Adegan romantis nih pasti," goda Nava gara-gara aku tergagap-gagap menjawabnya.

"Yang bener aja, Va. Aku 'kan justru minta dia berhenti nganggap aku jadi pacar pura-puranya dia," bantahku.

"Terus? Tanggapannya Boy gimana waktu kamu ngomong kayak gitu?"

"Dia belum jawab, Va. Tapi udah keburu ada kejadian yang malu-maluin," ujarku tersipu.

"Kejadian malu-maluin apa, Ris?" tanya Nava bingung.

Aku menceritakan secara singkat apa yang telah terjadi di antara aku dan Boy di lantai 3 kampus tadi. Obrolan kami, perdebatan kami, sampai pada adegan jatuh di pangkuan Boy yang langsung membuat mulut Nava menganga lebar saat mendengarnya.

"Aku nggak salah denger 'kan, Ris?" tanya Nava dengan ekspresi wajah terpana.

"Nggak," sahutku gugup. Rasanya malu juga harus menuturkan kejadian tadi dalam bentuk verbal pada Nava.

"Ya ampun, Ris! Pantesan muka kamu jadi pucat banget tadi," komentar Nava.

"Tadi aku pengin ngilang aja dari situ, Va. Kalau perlu besok juga nggak berangkat ke kampus..." desahku putus asa.

"Tenang, Ris. Besok aku bakalan pepet kamu terus, nggak bakal aku kasih kendor. Biar Boy nggak bisa deketin kamu lagi," tukas Nava menghiburku. Ucapannya yang ada lucu-lucunya membuatku tertawa geli.

"Ya, Va," kataku sambil terkekeh-kekeh.

"Tapi, Ris. Misalnya Boy nggak mau berhenti pura-pura pacaran sama kamu gimana?" celetuk Nava.

Aku tercenung mendengar pertanyaan Nava yang sebenarnya sudah sempat melintas di pikiranku dan membuatku galau.

"Mungkin nggak sih, kalau... Boy sebenernya udah putus sama Cinta? Buktinya Cinta udah nggak pernah nempel-nempel ke dia lagi, 'kan? Dateng nyamperin Boy ke kelas kita aja udah nggak pernah lagi," cetus Nava.

"Nggak tau deh, Va. Aku jadi pusing kalau mikirin itu. Kalau Boy nggak mau berhenti pura-pura pacaran sama aku, aku nggak tau mesti gimana lagi," tukasku.

"Mungkin nggak sih, kalau... Boy sebenernya udah putus sama Cinta?” Aku tercenung mendengar pertanyaan Nava. “Buktinya Cinta udah nggak pernah nempel-nempel ke dia lagi, 'kan? Dateng nyamperin Boy ke kelas kita aja udah nggak pernah lagi.”

"Nggak tau deh, Va. Aku jadi pusing kalau mikirin itu. Kalau Boy nggak mau berhenti pura-pura pacaran sama aku, aku nggak tau mesti gimana lagi," tukasku.

"Kamu jalanin aja kali, Ris? Kalau Boy bener-bener udah putus sama Cinta, berarti sah dong kalau dia deket-deket sama kamu. Kalaupun sampai pacaran betulan juga nggak apa-apa. Walau aku ngefans banget sama Boy, tapi aku ikut seneng kok misalnya kalian jadian," kata Nava sambil nyengir kuda. "Paling-paling irinya cuma sedikit," imbuh Nava jenaka ketika aku diam saja sambil menatapnya datar.

***

"Temenin aku ke Alphamart yuk, Ris?," ajak Nava saat aku masuk ke kamar sehabis mandi.

"Ayo. Tapi tunggu aku selesai sisiran dulu ya," jawabku seraya duduk di depan meja rias.

"Sekali-kali kamu pakai lipstik juga dong, Ris. Kamu cobain lipstik baruku yang ini ya. Warna pastel gini kamu pasti suka," kata Nava. Dia mengambil sebatang lipstik dari jajaran botol-botol dan semua koleksi kosmetik miliknya yang ada di atas meja rias lalu mengulurkannya kepadaku.

Aku tersenyum canggung menatap lipstik itu, "Nggak usah, Va. Aku udah biasa pakai lipbalm. Lagian, aku pakainya juga nggak selalu. Cuma pas mau berangkat ke kampus sama pas mau kondangan."

"Iya, aku tau kamu kayak gitu. Tapi apa salahnya sih sekali-kali kamu tampil beda?" bujuk Nava.

"Yaelah, Va. Cuma mau ke Alphamart, ngapain mesti pakai lipstik segala sih?" celetukku geli.

“Eh, nggak apa-apa kali, Ris. Nggak ada aturan tertulisnya 'kan kita nggak boleh pakai lipstik ke Alphamart? Siapa tau kamu ketemu cinta sejati di sana," bantah Nava keras kepala. Bahkan dia nekad membuka tutup lipstik itu dan mendekatkan ujungnya ke depan bibirku.

"Udah, sini. Biar aku yang ngolesin," ujar Nava memaksa.

"Nggak ah. Apa-apaan sih kamu, Va? Orang aku nggak mau kok," kelitku. Ku jauhkan wajahku dari tangan Nava dan lipstik itu.

"Padahal maksudku, aku pengin pake lipstik baru ini kembaran sama kamu..." lirih Nava. Mendadak raut wajahnya berubah jadi sedih. Aku jadi tidak tega melihatnya.

"Ya udah, Va. Ayo, buruan kamu olesin lipstiknya. Tapi jangan tebel-tebel ya," kataku.

Nava tersenyum lebar, "Iya, iya."

Setelah berganti baju dan mematut diri sekali lagi di depan cermin, aku dan Nava berboncengan di atas skuter matic menuju Alphamart yang letaknya di dekat alun-alun kota. Katanya, dia sengaja memilih Alphamart yang jauh dari rumah biar usaha kami untuk berdandan malam itu tidak mubazir.

"Siapa tahu aku ketemu cowok cakep di Alphamart sana. Soalnya aku lagi patah hati nasional nih, Boy maunya jadi pacar kamu, walaupun cuma pura-pura," kata Nava.

"Ngaco," timpalku sambil tertawa.

"Paling nggak aku nggak mau jadi pelakor di antara kalian 'kan, Ris," celetuk Nava.

"Udahlah. Ngomong apaan sih kamu dari tadi, Va?" Aku menepuk bahu Nava pelan sebagai tanda komplain.

"Kalau kamu gimana, Ris? Kamu pengin ketemu cowok cakep dan baik hati juga nggak kayak impianku?" tanya Nava.

"Nggak juga sih. Nggak cuma itu maksudnya," ujarku.

"Terus, kamu penginnya punya cowok yang kayak apa?" tanya Nava lagi.

Aku terdiam sejenak melihat ke hamparan langit malam itu yang dipenuhi bintang.

"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status