Share

BAB 8 - Harus Berapa Kali Lagi?

"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang.

"Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava.

"Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati..."

"Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku.

"Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli.

"Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling.

"Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku.

"Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua.

"Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku.

"Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias.

"Makasih," balasku.

"Aku juga mau dong jadi pebisnis yang sukses kayak kamu," timpal Nava.

"Ya udah, nanti pas lulus kita bisa mulai buka usaha yang nggak butuh modal besar dulu. Jujur, aku udah mulai nabung sejak semester satu buat uang modal usahaku nanti, Va," ungkapku.

"Boleh juga tuh buat aku tiru," komentar Nava seraya menghentikan laju skuter karena kami sudah sampai di halaman depan gedung Alphamart.

"Nanti kamu mau nggak nongkrong sebentar dulu di alun-alun?" cetus Nava sambil melepas helm-nya.

"Nggak ah. Rame banget," jawabku.

"Ya udah, nanti kita langsung pulang aja. Aku juga udah pengin ngajak kamu nonton film di rumah," kata Nava. Dia menggamit lenganku mengajakku bersama-sama meniti tangga teras gedung minimarket itu. Kami sangat kaget ketika hampir saja bertabrakan dengan Cinta dan Prima yang baru keluar melalui pintu kaca.

"Maaf," kataku dan Nava berbarengan.

"Minta maaf buat apa? Karena udah ngerayu Boy pakai makanan kampung, gitu ya?" celetuk Cinta sarkas. Spontan wajahku jadi memanas mendengar ucapannya yang sangat menyakitkan hati itu. Walaupun kepalaku menunduk, tetapi tidak dengan harga diriku. Bapak dan almarhum Ibu selalu mengajarkan untuk selalu jujur dan adil pada siapapun, dimulai kepada diri sendiri.

Aku tidak punya salah apapun terhadap Cinta.

Kenapa aku mesti takut kepadanya?

Toh, dia sudah bersikap kelewat batas kepadaku.

"Aku... nggak pernah ngerayu dia sama sekali. Dia yang deketin aku," tegasku.

"Risa bukan cewek genit!" dukung Nava. Dia mengencangkan cekalannya di lenganku.

"Kalau bukan cewek genit, ngapain mau aja diajak berduaan di atap kampus, hmm?" kata Cinta tajam. Dia berjalan melewatiku seraya menabrakkan pundaknya ke pundakku dengan sengaja.

Prima yang membuntut di belakang Cinta tertawa sengak, kemudian menjajari langkah cewek itu.

"Kasian kamu, Yang. Pundak kamu jadi sakit, 'kan," ujar Prima pada Cinta. Aku sempat melihatnya merangkul pundak Cinta dengan mesra.

"Dasar, cowok dan cewek ular. Mereka pacaran, 'kan?Pantesan Boy marah banget ke mereka. Orang Cinta nyelingkuhin dia gitu," geram Nava sembari menatap Cinta dan Prima dengan mata berapi-api. Pandangan matanya itu mengikuti mobil yang dinaiki Cinta dan Prima melaju meninggalkan tempat itu. Sedangkan aku berusaha menetralisir perasaanku yang masih kacau.

"Aku nggak ngerti, Va. Kenapa aku harus terlibat sama mereka sampai sejauh ini. Mendadak dihina-hina padahal nggak ngelakuin salah apapun sama mereka," kataku.

"Ya ampun, Ris. Kamu parah banget gemeternya. Ayo, kita duduk dulu di sini," ucap Nava. Dia membimbingku ke salah satu bangku yang ada di teras minimarket tersebut.

"Kayaknya kamu mesti lapor sama Boy deh, Ris. Kata kamu dia bilang kamu harus lapor ke dia kalau ada yang macem-macem sama kamu, 'kan?" lontar Nava ketika kami sudah duduk.

"Nggak deh. Aku nggak mau jadi tukang ngadu. Takutnya nanti malah jadi makin parah, Va," sahutku.

"Tapi mereka..."

"Mereka udah kelewatan, Va. Tapi, tetep aja masalah mereka semua sebenernya nggak ada hubungannya sama aku. Aku juga nggak mau terlibat terus-terusan sama Boy. Apalagi... habis ada kejadian tadi siang," sangkalku.

"'Kan yang tadi siang cuma kecelakaan, Ris. Kamu sama Boy sama-sama nggak nyangka 'kan bakal ada kejadian kayak gitu," tandas Nava.

"Iya sih," timpalku pelan. Namun, aku masih belum bisa menerima usul Nava untuk menceritakan perlakuan Cinta tadi kepada Boy.

"Sebaiknya kamu pikir-pikir lagi deh, Ris. Terserah kamu aja kamu mau ngelaporin penghinaan Cinta yang barusan itu ke Boy atau nggak. Aku dukung yang manapun keputusan kamu kok," cetus Nava penuh pengertian.

"Ya," tanggapku lirih.

***

Saat sosok Boy muncul di ambang pintu kelas, aku langsung menundukkan pandangan mata menyembunyikan rasa malu yang masih ada di hati.

"Dia duduk di tempat lain, Ris," bisik Nava.

"Baguslah, aku jadi bisa bebas. Nggak dikerjain dia terus," kataku diplomatis.

"Sekarang dia lagi ngeliatin kamu tuh. Duh, kok aku yang lumer ya liatnya ?" Nava menyikut lenganku pelan sambil mengernyitkan mukanya dengan ekspresi lucu.

"Nggak mungkin, Va. Udah ah, Pak Wayan dateng tuh," tangkisku sembari mengedikkan dagu ke arah dosen mata kuliah Komunikasi Bisnis yang tengah melangkahkan kaki memasuki ruangan itu.

"Va, dia ngeliatin kamu lagi. Coba kamu nengok sekali aja kalau kamu masih nggak percaya," beritahu Nava di sela-sela waktu kami menyimak penjelasan materi yang disampaikan Pak Wayan di depan kelas.

"Aku nggak mungkin nengok, Va. Pasti bakal kepergok. Harus berapa kali lagi sih aku malu sama dia?" kataku emosional.

"Iya sih," sahut Nava pelan.

Hari ini jadwal kuliahku hanya sampai pukul setengah satu siang. Bapak tadi mengirimiku pesan singkat, mengabariku bahwa Pak Sanusi memberi izin dirinya untuk pulang di jam yang sama dengan waktu pulangku karena sedang tidak enak badan. Aku berjanji akan pulang bersamanya. Untuk itu, aku minta tolong pada Nava untuk mengantarkanku ke bengkel begitu kelas terakhir selesai.

"Bapak kamu udah cek ke dokter belum, Ris?" tanya Nava ketika mulai menjalankan skuternya.

"Belum. Biasa, keras kepala. Katanya dia udah cek tensi pakai alat ukur yang ada di kantornya Pak Sanusi terus hasilnya normal," jawabku. Rasa kesal mencuat saat mengenang perdebatan berujung kemenangan di pihak Bapak via WazzApp tadi membuatku membuang napas berat.

"Kata siapa cuma bapak kamu yang keras kepala? Anaknya juga, kali," celetuk Nava usil.

"Ya 'kan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Va," kilahku.

Nava tertawa, "Emangnya kamu buah apa, Ris?"

"Buah karya dong," timpalku sambil tertawa juga.

Nava menghentikan skuter matic-nya persis di depan bengkel. Kami berdua masih tertawa-tawa, bahkan di saat aku turun dari kendaraan itu. Namun, beberapa detik kemudian, air muka Nava berubah jadi serius sembari memberi kode lewat lirikan matanya ke bagian dalam tempat kerja Bapak itu.

"Ris. Ada Boy. Dia lagi duduk di arah jam 11. Motornya lagi diservis sama bapak kamu," kata Nava dengan rahang terkatup rapat.

Tawaku menghilang. Mendadak saja tengkukku merinding, menyadari ada sepasang mata elang yang mengamatiku dari dalam bengkel tanpa aku perlu memutar tubuh untuk melihat sosoknya secara langsung.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status