Share

BAB 9 - Aku Versus Bapak

"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu.

"Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan.

"Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut.

"Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.

Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti.

"Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya Ris, aku jadi nggak bisa nemenin kamu nunggu bapakmu... Mm, maksudku nunggu sampai Boy pergi," ujar Nava dengan nada menyesal.

"Nggak apa-apa, Va. Hati-hati ya," kataku sembari melambaikan tangan pada Nava yang sudah melaju dengan skuter matic-nya.

Nava membunyikan klakson kendaraannya satu kali sebelum benar-benar menghilang dari jangkauan pandangan mataku.

Sepeninggal Nava aku menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan kasar, menyusun mental yang mulai mengkhianati niatku untuk menghadapi cowok bermata elang di dalam bengkel itu.

Saat ku balikkan badan, aku langsung bersirobok mata dengan Boy. Namun, ku paksakan saja kedua kaki yang tiba-tiba terasa begitu lemah untuk tetap berjalan mendekati Bapak. Walaupun dengan kepala tertunduk pasrah di bawah pengamatan ketat yang dilakukan cowok itu.

Apa nggak bisa dia liat ke arah lain sebentar aja?, batinku tersiksa.

Atau Boy memang sedang mengerjai aku?

Bisa saja 'kan, sekarang ini dia sedang bersenang-senang di dalam hatinya menertawakan sikapku yang mirip binatang yang terperangkap ini? Diam kena, bergerak juga tidak bebas. Yang ada aku jadi salah tingkah sendiri. Dan pastinya dia jadi terhibur melihatku dalam kondisi begini.

"Masih lama ya, Pak?" tanyaku.

Bapak menengok sekilas ke arahku, "Sebentar lagi. Tapi habis ini Bapak mau ke toilet dulu sebelum pulang. Kamu duduk dulu aja."

Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata Bapak. Aku di suruh duduk itu artinya duduk di bangku yang sama dengan yang diduduki oleh Boy. Karena bengkel Pak Sanusi cuma bengkel kecil, hanya ada satu bangku panjang itu saja yang tersedia di tempat itu.

"Masa mau nunggu di sini?" tegur Bapak tatkala aku bergeming.

Akhirnya ku gerakkan lagi kedua kakiku dengan mengabaikan gemetar yang kini mulai menguasai badanku. Otakku tidak terlalu ingat dengan jelas rincian peristiwa kecelakaan kecil di lantai 3 kampus kemarin. Tapi rupanya badanku masih mengingat rasa syok dan malu yang ku tanggung setelahnya.

"Lagi bisa pulang bareng bapakmu ya, Ris?" sapa Mas Toni, rekan kerja Bapak. Dia tampak tekun memperbaiki sebuah sepeda motor bebek di pojok dalam ruang bengkel itu.

"Iya, Mas," sahutku sopan seraya mendudukkan diri di ujung bangku yang kosong tanpa menoleh sedikitpun pada Boy.

"Bapak kamu katanya masuk angin, jadinya izin pulang cepet. Tadi minta aku kerokin punggungnya, warnanya merah-hitam. Kayak darah kotor," kata Mas Toni geli.

"Hush! Sembarangan kamu Ton, ngasih tau anakku pakai bawa-bawa darah kotor segala kayak gitu," timpal Bapak pura-pura kesal. Gaya berkelakar mereka berdua selama ini memang begitu, dan tak pernah ada yang pernah tersinggung dengan kalimat gurauan yang saling mereka lemparkan satu sama lain.

"Bapakmu tuh ya, Ris. Saking sayangnya sama kamu, dipikirnya kamu nggak tau istilah darah kotor, kali ya. Emangnya Risa masih bayi, Pak Ramlan?" ujar Mas Toni sambil tertawa.

"Selamanya Risa itu bayiku, Ton. Nggak bakal aku biarin kalau ada yang berani nyakitin dia. Nanti kalau anakmu yang masih baru belajar duduk itu udah jadi gadis, pasti kamu paham maksudku," cetus Bapak.

Seketika aku jadi ingin tertawa mendengar ucapan Bapak itu, meskipun aku tidak suka dibilang 'bayi' olehnya barusan. Bukankah seharusnya kata-kata Bapak menohok hati Boy? Dia sudah seenaknya menjadikanku alat untuk menghukum Cinta yang sudah main api di belakangnya, dan menyeretku ke dalam permasalahan mereka sejauh ini. Bahkan aku tidak benar-benar yakin dia mampu menyembuhkan luka di hatiku setelah mendapat hinaan dari Cinta dan Prima, juga teman-teman.

"Wah, kata-kata mutiaranya keren banget, Pak! Serius," timpal Mas Toni. Dia tertawa lagi.

"Aku mintanya dua rius, Ton. Kamu jangan pelit-pelit kalau ngasih sesuatu sama orang yang lebih tua," celetuk Bapak sembari menoleh ke arah Boy.

"Udah selesai ini, Mas."

Hatiku seperti terinjak menyadari kenyataan, bahwa aku dan Boy memang mempunyai kehidupan yang sangat berlawanan. Bapakku saja hanya seorang montir yang menggantikan ban sepeda motornya barusan.

Siapakah aku bagi Boy selain cewek culun dan cupu yang kebetulan sedang duduk di atap bersamanya ketika Cinta yang sudah membuatnya marah datang? Mungkin kalau yang di dekatnya bukan aku, Boy juga tidak akan pernah terpikir untuk mengenalku.

"Ya, Pak. Makasih," sahut Boy. Bapak tak menanggapinya, hanya beranjak ke dalam ruangan kecil dengan ban-ban bergelantungan dan beberapa etalase tempat memajang onderdil tertentu dan botol-botol oli yang dijual di bengkel itu juga. Salah seorang anak Pak Sanusi yang duduk di balik meja kasir melayani Boy membayar biaya servis. Sementara Mas Toni mengikuti jejak Bapak masuk ke bagian terdalam toko.

Aku sengaja melengos begitu Boy hendak berbalik ketika sudah selesai membayar.

Cuekin aja dia, Ris. Toh, dia udah mau pulang., pikirku.

"Kamu masih marah sama aku?" tegur Boy. Sontak aku terkejut, bukan cuma karena dia tiba-tiba mengajakku bicara. Tapi nada bicaranya yang penuh perhatian itu yang lebih mengagetkanku.

"Marah kenapa?" tanyaku. Dua kata itu melompat begitu saja dari dalam mulutku.

"Gara-gara yang kemaren?" cetus Boy ringan. Efeknya terhadap diriku saja yang berat. Napasku langsung sesak mendengarnya.

"Kamu kenal Risa?" Mendadak Bapak sudah ada di dekat kami.

"Ya, Pak. Saya temen sekampusnya Risa," jawab Boy sopan.

"Kalau kamu temennya Risa, ayo mampir dulu ke rumah. Tanggung 'kan kalau cuma ngobrol di sini," kata Bapak.

Aku memandang Bapak dengan tatapan tak percaya.

Ngapain Bapak malah ngajak Boy ke rumah sih?, kataku panik di dalam hati.

"Emangnya boleh, Om?" timpal Boy.

'Om'?, batinku syok.

Tadi Boy memanggil Bapak dengan sebutan 'Pak', tapi sekarang begitu Bapak menawarinya mampir ke rumah dia langsung memanggil Bapak 'Om'.

Jangan-jangan yang Nava bilang tadi benar?

Bahwa Boy sengaja mendekati Bapak untuk mengaku-aku Bapak sebagai calon mertua di depan Cinta???

Wah! Keterlaluan sekali ya kelakuan para idola kalau sedang ada konflik di antara mereka!

"Jangan, Pak..." ceplosku tanpa sadar.

"Kenapa nggak boleh, Ris? Bukannya dia temen kamu?" ujar Bapak heran. Sifat keras kepalanya muncul di permukaan. Percuma mendebatnya.

"Siapa nama kamu?" tanya Bapak pada Boy.

"Boy, Om," jawab Boy.

"Ikuti aku," tegas Bapak. Dia mendahului kami berjalan ke sepeda motornya.

"Bapak kamu yang ngajakin aku lho ya. Bukan aku yang minta," kata Boy padaku dengan nada menang.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status