Share

BAB 5 - Goyah

"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaan retoris kepadaku yang baru masuk ke rumah.

"Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawain makanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoam berisi nasi dan ayam bakar serta lalapan.

"Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja," tolak Bapak.

"Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava di rumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.

Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."

Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yang akan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak ingin melawan orang tua.

Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan. Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakah lauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampur daun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacang di stoples yang tersisa.

Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hari ini. Beberapa hari ini nafsu makannya agak berkurang sehingga aku jadi mengkhawatirkan kesehatannya.

"Bulan depan Bapak mesti ke Jogja, Ris. Pakdemu mau ngadain hajatan, nikahannya Poppy. Bapak mau ke sana dulu, soalnya mau bantu-bantu persiapannya, sekalian pakdemu mau minta tolong hal lain. Kamu di sini sendiri dulu nggak apa-apa ya, Ris? 'Kan kamu sebentar lagi ujian semesteran. Kamu nyusulnya sehabis ujian aja," kata Bapak yang muncul di belakangku.

"Ya, Pak.”

Keesokkan harinya, aku berangkat ke kampus dengan sebuah tekad bulat untuk segera menyampaikan keberatanku soal peranku menjadi pacar pura-pura pada Boy. Aku ingin segera mengakhirinya, walau hubungan itu sebenarnya tak pernah nyata adanya.

Aku hanya ingin menjadi aku yang biasanya. Bangun subuh setiap hari, memasak, dan pulang setelah jadwal kuliah selesai. Begitulah kehidupanku yang seharusnya. Paling tidak, sesuai dengan rutinitas yang ku jalani sehari-hari saja bersama bapak dan orang-orang terdekatku.

"Aku duduknya misah aja deh, Ris. Takut kebakaran. Soalnya duduk di deket kalian panas banget sih," gurau Nava saat dia datang. Dia nyengir kuda memperlihatkan deretan giginya yang putih, lengkap dengan gingsulnya.

"Panas apanya. Fake gitu kok," timpalku.

"Jangan keras-keras dong bilang 'fake'-nya. Gawat nanti kalau ada yang denger, Ris." Nava mengingatkanku.

Aku terdiam. Walau sebenarnya aku berpikir masa bodoh jika ada yang mendengar ucapanku barusan, tetap saja aku belum benar-benar bicara empat mata dengan Boy. Masih jadi tanggunganku untuk tetap menjaga rahasia di antara kami.

"Oh ya, Ris. Kamu udah bilang ke bapakmu 'kan kamu mau nginep di rumahku nanti malem?" tanya Nava mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, udah. Bapak ngebolehin kok," jawabku.

"Bagus! Berarti nanti habis selesai kuliah kamu langsung ikut aku ke rumah ya," cetus Nava antusias.

"Doi dateng tuh!" Nava menyikut lenganku dan bergegas pindah bangku ke area tengah.

"Jangan duduk di sini. Di belakang aja," cetus Boy sambil berjalan melewatiku.

Aku berdiri dan mengikutinya ke bangku yang dia pilih, di deretan paling belakang ruang kelas itu.

"Nanti..." Aku mencoba mengatakan niatku pada Boy untuk mengajaknya bicara berdua saja. Aku tak mau menunda-nunda mengungkapkan unek-unekku kepadanya. Lebih cepat lebih baik.

"Apa?" tanya Boy. Entah kenapa, ekspresi wajahnya yang penuh atensi ketika menunggu ucapanku berikutnya, membuatku kikuk setengah mati.

Aku sengaja menguatkan diri untuk menatap Boy sebisa mungkin. Selama mungkin. Karena kalau aku goyah sedikit saja, itu sama dengan aku sedang menghancurkan image-ku sendiri di matanya.

‘Fokus, Ris!’ batinku menggebrak diri sendiri agar tak terlalu lama mengagumi ketampanan Boy. Aku tak ingin mabuk kepayang dan memutuskan untuk mundur sebelum maju nantinya.

Tapi... Tatapan mata Boy yang tajam dan dalam. Hidungnya. Bibirnya yang...

Apa salahnya aku mengagumi sesama ciptaan Tuhan? Toh, Boy memang benar-benar ganteng dan seksi. Dan itu fakta mutlak. Tak terbantahkan.

Aku saja yang tidak tahu diri. Baru juga diberi peran jadi pacar pura-puranya sudah ke-GR-an.

"Nanti... Ada yang mau aku omongin sama kamu," kataku. Akhirnya menang dari kegoyahan mental barusan.

"Aku juga ada yang mau aku omongin sama kamu nanti," sahut Boy.

Aku cukup terkejut menghadapi reaksinya itu. Tak menyangka, ternyata Boy punya unek-unek yang ingin dia utarakan juga kepadaku.

"Ma... Mau ngomong apa?" timpalku.

"Nanti pasti kamu tau. Kalau aku kasih tau sekarang jadi nggak asik," kilah Boy.

"Maaf..." kataku. Lagi-lagi aku merasa konyol. Tadi Boy sudah bilang mau bicara nanti, 'kan?

"Nggak masalah," kata Boy.

"Pacarannya kurang hot nih," celetuk Prima yang datang bersama kedua teman akrabnya. Mereka memilih bangku di deretan yang sama denganku dan Boy, tetapi di sisi yang berseberangan jauh dengan kami.

"Kalau mau yang lebih hot ya tinggal pakai balsem aja," balas Boy santai.

Prima cs tertawa.

"Kalem, Bro. Nggak usah pakai nyolot. Soal hot, aku udah punya yang lebih hot dibanding balsem. Oke?" ujar Prima dengan nada meremehkan.

Aku mengernyitkan dahi mendengar pembicaraan aneh Prima dan Boy tersebut.

Balsem? Ada yang lebih hot dari balsem?

Maksudnya apa sih?’ batinku.

"Minyak angin maksudmu?" sambar Boy sembari tertawa.

"Suka-suka lu aja mau nyebut dia apa. Yang jelas dia lebih hot dan mantap digenggam," kata Prima.

Apa yang kudengar ini topik mesum? Tak heran jika dugaanku benar. Karena yang mengatakannya Prima, si Mesum.

"Pret!" cetus Boy sinis.

Ada apa sih dengan Boy dan Prima?

Sepertinya sebelum Boy mengaku-aku berpacaran denganku, hubungan mereka baik-baik saja.

Aku sedang memikirkan penyebab Boy dengan Prima jadi tak akur, ketika Bu Asri berjalan memasuki ruangan dengan anggun.

Aku memperhatikan penjelasan Bu Asri mengenai materi mata kuliah Manajemen Akuntansi sewaktu Boy menyandarkan lengannya di sandaran bangkuku seperti kemarin. Wajahku langsung memanas, walau aku sudah berusaha mengabaikan aroma parfum, suhu tubuh, dan embusan napas cowok itu.

"Nanti kita ngobrolnya di atap aja," kata Boy. Lagipula, dia berbicara di dekat telingaku sehingga aku bisa tetap jelas mendengar suaranya yang volumenya sengaja dia kurangi itu.

"Ja... Jangan di sana," tolakku.

Aku tak mau berduaan dengan Boy di atap lagi. Takut dituduh berbuat mesum lagi dengannya.

"Kenapa nggak mau di sana? Tempatnya nyaman, 'kan. Di sana aja," debat Boy.

"Tempat lain aja..." kataku.

"Di mana?" tanya Boy. Nada bicaranya lembut seperti waktu kami berada di atap.

"Mm..." gumamku gugup.

Duh, aku tak punya rekomendasi tempat lain yang nyaman di gedung ini selain atapnya. Dalam hal ini, aku sebetulnya satu server dengan Boy.

"Atau kita pergi keluar naik motorku aja?" tawar Boy.

"Jangan!" seruku panik dengan mode suara berbisik.

"Kalau ke mana-mana nggak mau, gimana kalau batal aja ngomongnya?" goda Boy.

Aku hendak komplain lagi, namun batal saat suara Bu Asri mendadak terdengar menggelegar.

"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status