Share

BAB 4 - Menceritakan Kebenaran Pada Nava

"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.

Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekali mengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.

Dia bilang suka padaku?

Masa sih?

Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadari keberadaanku sebelumnya.

Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya, sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku juga orang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.

Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa saja sepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku.

"Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamu jawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.

Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boy terus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedar bergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagai selingan.

Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas Bu Geraldine, Boy justru terlihat lebih banyak diam serta serius mengikuti kelas-kelas berikutnya. Aku jadi bersyukur karenanya. Paling tidak, aku tak perlu terlalu tegang dan tak perlu sering menundukkan kepala selama yang aku bayangkan.

"Aku pulang dulu ya, Sayang. Inget, kalau ada yang iseng gangguin kamu, langsung lapor aja sama aku," cetus Boy begitu dosen yang mengajar mata kuliah terakhir hari itu meninggalkan kelas.

Aku mengangguk dengan gugup. Sementara Boy berdiri dan berjalan santai keluar dari ruangan itu.

"Ternyata, sehari aja nggak berangkat ke kampus, aku ketinggalan banyak gosip ya," sindir Nava. Bibirnya yang memakai lipstik berwarna pink mencibir, lalu menyunggingkan seringai lebar kepadaku. "Dari tadi pacaran melulu. Enaknya punya pacar idola yang cakep dan seksi. Aku iri..." kata Nava lagi.

Tampangnya yang mengernyit jenaka membuatku tertawa. Aku lega, ternyata dia tidak marah kepadaku. Mungkin tadi dia cuma tegang ada Boy di dekat kami, apalagi cowok itu terus-menerus mengajakku bicara.

"Ada yang mau aku ceritain ke kamu, Va. Tapi, jangan di sini ya," kataku kemudian.

"Oke. Kalau gitu, kita cari tempat yang nyaman di luar, yuk." Nava beranjak sembari meregangkan otot-otot badannya.

"Sebentar ya, aku mau minta izin sama Bapak dulu." Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengetik sebuah pesan singkat untuk ku kirimkan ke nomor ponsel Bapak. Setelah itu, kami berdua berjalan beriringan menuju ke tempat parkir.

"Eh, Ris! Liat tuh, pacar kamu lagi ngobrol sama Prima!" Tiba-tiba Nava memegangi lenganku sambil mengedikkan dagu ke suatu arah.

Aku mengerutkan dahi menyaksikan Prima yang sedang mengatakan sesuatu kepada Boy. Kok mereka terlihat akrab ya?

Sungguh, aku benar-benar bingung melihat mereka berdua. Yang satu mesum dan tadi pagi melecehkanku, yang satunya lagi... Entahlah. Untuk apa juga aku memikirkan tingkah laku Boy. Sudah jelas 'kan, dia mengakuiku sebagai pacarnya hanya untuk iseng belaka. Mana ada kisah cinta antara si Mr. Populer dengan si Cewek Biasa-Biasa Saja sepertiku di dunia nyata. Itu cuma ada di novel-novel, komik, sinetron, opera sabun.

"Prima perginya gitu amat ya? Kayaknya sih dia marah sama Boy. Anj*y. Kamu dibelain lagi kali ya, sama mas Boy? Beruntung banget kamu, Ris." Nava bersiul menggodaku.

"Masa sih?" Aku menyangsikan kata-kata Nava. Tapi, entah kenapa, hatiku tetap saja berdebar, seolah-olah prediksi Nava benar.

"Wajah kamu jadi merah tuh. Ciee...!" Nava menepuk pelan pundakku. Aku merasa malu, sampai-sampai salah tingkah.

"Apaan sih? Udah ah, ayo, jalan!" Aku melanjutkan langkah mendahului Nava yang tetap saja meledekku. Untung Boy sudah melaju pergi dari tempat itu. Kalau belum, bisa-bisa dia mendengar suara Nava yang berisik.

"Duh, senengnya bisa godain kamu." Nava tertawa usil.

"Iya, iya. Tapi liat-liat jalan dong, Va. Tuh, ada motor di depan kamu. Nanti kamu nabrak," tegurku. Kebetulan sekali ada topik pengalih. Nava jadi fokus berkelit dari sepeda motor yang hendak dia tabrak dan berhenti meledekku.

**

"Masa sih? Boy cuma pura-pura aja ngaku pacaran sama kamu?"

Mata Nava sampai terbeliak setelah mendengar keseluruhan ceritaku tentang semua yang terjadi di antara aku dan Boy kemarin.

"Iya. Mungkin dia lagi ada masalah sama Cinta." Aku menunduk, teringat sekilas kata-kata Cinta yang kasar dan merendahkanku kemarin.

"Cinta ternyata orangnya kasar banget ya. Duh, kamu kasihan banget sih? Mendadak diaku-aku pacar sama Boy, tapi terus dihina Cinta dan Prima. Aku nggak bisa tinggal diem kamu diperlakukan semena-mena sama mereka semua."

Nava mengepalkan tangannya membentuk tinju, dan memukulkannya ke telapak tangannya yang lain dengan keras.

"Ya, begitulah, Va. Tiba-tiba aja aku jadi ada di antara orang-orang yang populer di kampus, terus dapetnya masalah. Mimpi apa ya aku semalem?" Kutepuk-tepuk kedua pipiku sambil berkata dengan nada sarkas.

"Mungkin mimpi dikejar anjing kamu, Ris. Makanya kamu melakukan lompatan besar," timpal Nava.

"Iya, kali ya?" sahutku.

"Yuk ah, makan. Siapa tau habis makan kita bisa lebih fresh." Nava mengambil sesuap nasi dengan lauk ayam bakar menggunakan kelima jarinya yang sudah dibasuh di wastafel yang ada di dekat meja kami.

"Oh ya, Ris. Besok kamu bisa nginep di rumahku nggak? Mama sama Papa mau ke tempat Eyang, terus mas Denis 'kan emang udah tinggal di luar kota," ujar Nava.

Aku tersenyum, "Boleh. Tapi aku mesti minta izin dulu ya ke Bapak."

"Siap." Nava menatapku senang sembari menyeruput es jeruknya.

"Va. Kok aku mendadak takut ke kampus ya? Aku paranoid, kalau-kalau ketemu Cinta dan Prima pas lagi sendiri." Aku membuka lagi topik yang tadi sudah kami tutup.

"Tenang aja Ris, ada aku. Aku usahain nggak bakal bolos-bolos lagi. Lagian, ada Boy juga." Ucapan Nava sedikit menenangkanku. Tapi, di bagian dia mengatakan soal Boy, hatiku malah menjadi semakin resah.

"Aku nggak mau bergantung sama Boy, yang jelas-jelas nggak jelas kepentingannya sama aku. Dia justru bikin Cinta jadi marah ke aku. Aku pengin jadi aku yang nggak terlihat kayak sebelumnya... Nggak usah terlibat dalam hal apapun sama mereka," ucapku.

"Tapi, tadi pagi Boy keliatan tulus ngebelain kamu kok. Dia keliatan nggak suka banget sama perlakuan Prima ke kita," tumpal Nava.

"Ya. Mungkin dia tulus. Tapi, tetep aja, dia orang yang udah menyeret-nyeret aku seenaknya ke dalam hubungannya sama Cinta. Dia nggak mau peduli sama persetujuan dan perasaanku." Aku menunduk memandangi isi piringku.

"Kamu marah sama Boy?" tanya Nava dengan nada kaget. Dia pasti tak menyangka, aku malah menyimpan amarah, bukannya senang diakui sebagai pacar oleh Boy yang populer dan ganteng itu.

"Bukan marah gimana sih, Va. Aku terbebani," kataku.

"Terus kamu mau gimana, Ris?" tanya Nava lagi.

"Kalau bisa, aku mau ngomong sama Boy besok," tekadku.

"Nggak perlu aku temenin, Ris?" tawar Nava khawatir.

"Kayaknya harus aku sendiri, Va. Maaf ya. Bukannya aku nggak suka dibantu kamu. Tapi kayaknya bakal lebih etis kalau aku ngomong sendiri aja, Va," tandasku.

"Ya, Ris. Nggak apa-apa kok. Aku tau kok maksud kamu," kata Nava sembari tersenyum manis kepadaku.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status