"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah aja manggil pacarnya 'Sayang'."
Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkan diri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava.
"Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanya Prima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu.
"Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara aku tak berani menatap wajahnya sama sekali.
"Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis gini di atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnya yang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.
Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orang barbar kayak kamu."
"Oh ya?" dengkus Prima pongah.
"Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukan urusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya ke sandaran bangku di balik punggungku.
Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasi perasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya.
"Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?" celetuk cowok yang berdiri di belakang Prima. Nada bicaranya menusuk.
"Kok kamu kepo, Le?" balas Boy ringan, namun tak kalah tajamnya dibandingkan ucapan cowok tadi.
"'Kan kamu tinggal bilang iya atau nggak," sambar satu suara cowok lain.
"Kalau nggak suka mana mungkin jadian 'kan?" cetus Boy.
"Masalahnya, waktu itu di atap..."
"Bu Geraldine dateng, woey!" seru seseorang.
Sontak semua orang yang mengitari kami bubar. Menyisakan aku yang gugup maksimal setelah menjadi pusat perhatian, apalagi karena satu gosip buruk yang jelas-jelas penuh fitnah.
Tapi..., soal Boy yang konsisten mengakuiku sebagai pacarnya.... Aku tak bisa memahami apa tujuan Boy.
Kalau yang kemarin di depan Cinta, aku pikir dia hanya sedang bertengkar dengan Cinta dan mengerjai cewek itu sebagai bentuk kemarahannya. Semacam merajuk manja begitu.
Tapi, kalau Boy sampai mengaku-aku kami berpacaran di depan banyak orang seperti tadi itu, rasanya jadi semakin tak beres. Aku tak bisa mencegah diriku untuk tidak curiga padanya.
Yah..., walau aku deg-degan juga mendapatkan perlakuan istimewa dari cowok itu. Duh! Kok aku jadi terbawa perasaan begini?
Aku menggeleng-gelengkan kepala agar logikaku jalan untuk dapat menetralisir perasaan melambung tinggi gara-gara mulai menikmati jadi objek akting Boy.
"Ngapain geleng-geleng kayak gitu?" tegur Boy. Untuk sesaat rupanya aku lupa jika dia duduk di sebelahku.
"Ng... Nggak," bantahku malu. Pasrah karena Boy menertawakan keculunanku.
Aku menoleh pada Nava. Dia bergeming, tampak fokus mendengarkan Bu Geraldine yang tengah menerangkan materi mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia di depan kelas. Hatiku mencelos, karena dia mengacuhkanku pasca kejadian tadi.
"Aku mau tidur dulu. Nanti bangunin aku kalau dosennya mau ganti ya," kata Boy.
"Y... Ya," jawabku.
Sepi.
Aku memberanikan melayangkan pandangan ke arah Boy. Betapa terkejutnya aku sewaktu mata kami bersirobok.
"Aku nggak bisa tidur," ucap Boy sembari nyengir lebar.
Wajahku memanas seperti terbakar saking malunya. Lagipula, ini sudah ke sekian kalinya aku ditertawakan oleh Boy karena bertingkah konyol di depannya.
"Apa kamu nggak capek nunduk terus kayak gitu?" ceplos Boy.
Aku diam saja. Tidak tahu apakah harus menjawab pertanyaan Boy itu dengan jujur atau bohong.
"Kamu 'kan pacarku. Mulai sekarang kamu mesti terbiasa deket-deket sama aku terus," tambah Boy.
Terus?Jadi, dia ingin aku berada di dekatnya terus-menerus? Bagaimana bisa?
"K... Kok gitu?" tanyaku.
"Ya iyalah. Masa kamu mau deket-deket sama cowok lain sih? Nanti aku cemburu lho," kata Boy sembari mendekatkan mulutnya ke dekat telingaku. Aku yang merasakan embusan napasnya bergidik karena ada rasa geli yang menjalar di area sekitar indera pendengaranku itu.
"Oh ya. Nama kamu siapa? Nggak lucu 'kan kalau aku nggak tau nama pacarku sendiri?" lontar Boy. Lengannya masih tetap bersandar di kepala bangkuku.
"Ri... Risa," sahutku.
"Oke. Ririsa," kata Boy.
Kok Ririsa? "Risa," ralatku. Agak kesal dengan keusilan makhluk tampan di sampingku itu.
"Oh..., Risa. Kirain Ririsa," celetuk Boy.
"Ya," timpalku lemas. Tak berdaya jika harus berlama-lama mengobrol dengan posisi mesra dan suara setengah berbisik-bisik begini.
"Kamu pernah satu sekolah sama aku, 'kan? Pas SMP atau SMA?" tanya Boy.
"Pas SMP," jawabku cepat.
"Pernah satu kelas juga?" tanya Boy lagi.
"Ya... Dari kelas satu sampai kelas tiga," ungkapku pelan.
"Pantesan muka kamu familiar," komentar Boy.
Kalau mukaku familiar, kenapa Boy tidak mengatakannya padaku saat aku mengambilkan pulpennya yang terjatuh waktu itu ya? Itu bukti, bahwa aku memang benar-benar 'tidak terlihat' di matanya.
‘Iyalah, aku sadar diri kok,’ batinku."Kamu punya pacar nggak?" Boy mengajukan pertanyaan lagi kepadaku.
"Ng... Nggak," sahutku.
"Kok nggak punya?" sanggah Boy. Membuatku bingung. "Harusnya kamu jawab punya," ralatnya.
"Ta... Tapi, aku beneran nggak punya," kataku.
"Masa sih?" cecar Boy.
Apakah dia mau mengerjaiku? "Ya," jawabku lirih. Merasa terintimidasi oleh bad boy di bangku sebelah.
Boy mengembuskan napas dengan keras, "Gini ya, Risa. Lain kali, kalau kamu ditanya udah punya cowok atau belum, kamu harus jawab udah, ya. Kalau kamu jawab belum, terus aku ini kamu anggap siapamu?"
"Hahh?" Spontan aku terperangah mendengar ucapan Boy yang sangat absurd itu. Untung saja aku masih bisa mengontrol volume suaraku.
"Maaf..." lirihku sambil memandang ke sekeliling kami dengan muka tersipu-sipu karena merasa suaraku barusan mungkin sudah mengganggu teman-teman.
"Minta maaf gara-gara nggak nganggap aku pacar kamu atau minta maaf ke yang lain? Kalau ke mereka, barusan nggak ada yang denger suara kamu kok. Tenang aja, nggak perlu minta maaf," kata Boy geli.
Aku menggigit bibir melawan rasa malu yang tak tertahankan. "Tadi kita sampai mana?" ujar Boy.
"Pacar..." jawabku tertekan. Hampir saja aku melesak ke dalam bangku, jika saja benda itu bukan terbuat dari kayu keras.
"Jadi... Kamu punya pacar nggak?"
"Y... Ya."
"Apa? Aku nggak denger," kejar Boy.
"Ya," ucapku lebih tegas dan jelas. Dan terpaksa.
"Siapa pacar kamu?"
"Ka... Kamu."
"Kamu?" ulang Boy dengan nada yang ditekan.
"Ya..."
"Bukan itu. Maksudku, kamu sebutin aja namaku," sela Boy sembari tertawa kecil.
"Oh! Maaf..." cetusku. Merasa diri paling bodoh sedunia.
"Nggak apa-apa. Asal kalau mereka yang tanya, kamu bisa tepat jawabnya," kata Boy tenang. Namun, lagi-lagi dia bicaranya di dekat telingaku.
"Tapi... Kenapa aku harus bilang ke mereka kalau kita pacaran?" tanyaku.
Boy terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab.
"Kalau aku bilang aku suka kamu, gimana?"
Jantungku serasa hampir jatuh menggelinding di lantai kelas saking syoknya mendengar kata-kata Boy itu.
Apa Aku tidak salah dengar?
Boy... bilang suka padaku???
“….”
"Kamu sendiri suka nggak sama aku?" tanya Boy balik.
BERSAMBUNG"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekalimengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.Dia bilang suka padaku?Masa sih?Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadarikeberadaanku sebelumnya.Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya,sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku jugaorang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa sajasepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku."Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamujawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boyterus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedarbergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagaiselingan.Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas BuGeraldine, Boy justru terlihat l
"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe
"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran
Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu
"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,
"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya
Aku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul
"Ini apa namanya? Rasanya enak," komentar Boy sambil menelan makanan di mulutnya.Aku yang mati gaya sejak tadi karena duduk di sebelahnya hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk menekuri isi piring di hadapanku lagi."Itu... Oseng oncom leunca," timpalku. Ku geser sedikit badanku biar agak menjauh dari Boy yang duduknya lebih makan banyak tempat di gang sempit yang memisahkan kursi kami. Situasinya mirip dengan situasi di kelas saat kami duduk bersebelahan. Mengintimidasiku tanpa perlu benar-benar melakukan satupun tindakan intimidasi. "Hmm. Aku suka," tukas Boy. Apa kata Cinta ya, kalau dia tau Boy sekarang lagi makan bareng aku di sini sambil bilang suka oseng oncom leunca?, batinku. Tiba-tiba terpikir Cinta yang menyebut makananku 'menu kampung'.Ngomong-ngomong soal Cinta, sebetulnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait dirinya pada Boy. Tapi aku khawatir pertanyaan-pertanyaanku itu bakal menyinggung perasaannya. Apalagi, Cinta sudah mengkhianatinya, 'kan. Aku tidak tega me