Share

BAB 3 - Bagaimana Bisa?

"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah aja manggil pacarnya 'Sayang'."

Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkan diri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava.

"Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanya Prima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu.

"Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara aku tak berani menatap wajahnya sama sekali.

"Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis gini di atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnya yang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.

Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orang barbar kayak kamu."

"Oh ya?" dengkus Prima pongah.

"Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukan urusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya ke sandaran bangku di balik punggungku.

Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasi perasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya.

"Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?" celetuk cowok yang berdiri di belakang Prima. Nada bicaranya menusuk.

"Kok kamu kepo, Le?" balas Boy ringan, namun tak kalah tajamnya dibandingkan ucapan cowok tadi.

"'Kan kamu tinggal bilang iya atau nggak," sambar satu suara cowok lain.

"Kalau nggak suka mana mungkin jadian 'kan?" cetus Boy.

"Masalahnya, waktu itu di atap..."

"Bu Geraldine dateng, woey!" seru seseorang.

Sontak semua orang yang mengitari kami bubar. Menyisakan aku yang gugup maksimal setelah menjadi pusat perhatian, apalagi karena satu gosip buruk yang jelas-jelas penuh fitnah.

Tapi..., soal Boy yang konsisten mengakuiku sebagai pacarnya.... Aku tak bisa memahami apa tujuan Boy.

Kalau yang kemarin di depan Cinta, aku pikir dia hanya sedang bertengkar dengan Cinta dan mengerjai cewek itu sebagai bentuk kemarahannya. Semacam merajuk manja begitu.

Tapi, kalau Boy sampai mengaku-aku kami berpacaran di depan banyak orang seperti tadi itu, rasanya jadi semakin tak beres. Aku tak bisa mencegah diriku untuk tidak curiga padanya.

Yah..., walau aku deg-degan juga mendapatkan perlakuan istimewa dari cowok itu. Duh! Kok aku jadi terbawa perasaan begini?

Aku menggeleng-gelengkan kepala agar logikaku jalan untuk dapat menetralisir perasaan melambung tinggi gara-gara mulai menikmati jadi objek akting Boy.

"Ngapain geleng-geleng kayak gitu?" tegur Boy. Untuk sesaat rupanya aku lupa jika dia duduk di sebelahku.

"Ng... Nggak," bantahku malu. Pasrah karena Boy menertawakan keculunanku.

Aku menoleh pada Nava. Dia bergeming, tampak fokus mendengarkan Bu Geraldine yang tengah menerangkan materi mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia di depan kelas. Hatiku mencelos, karena dia mengacuhkanku pasca kejadian tadi.

"Aku mau tidur dulu. Nanti bangunin aku kalau dosennya mau ganti ya," kata Boy.

"Y... Ya," jawabku.

Sepi.

Aku memberanikan melayangkan pandangan ke arah Boy. Betapa terkejutnya aku sewaktu mata kami bersirobok.

"Aku nggak bisa tidur," ucap Boy sembari nyengir lebar.

Wajahku memanas seperti terbakar saking malunya. Lagipula, ini sudah ke sekian kalinya aku ditertawakan oleh Boy karena bertingkah konyol di depannya.

"Apa kamu nggak capek nunduk terus kayak gitu?" ceplos Boy.

Aku diam saja. Tidak tahu apakah harus menjawab pertanyaan Boy itu dengan jujur atau bohong.

"Kamu 'kan pacarku. Mulai sekarang kamu mesti terbiasa deket-deket sama aku terus," tambah Boy.

Terus?

Jadi, dia ingin aku berada di dekatnya terus-menerus? Bagaimana bisa?

"K... Kok gitu?" tanyaku.

"Ya iyalah. Masa kamu mau deket-deket sama cowok lain sih? Nanti aku cemburu lho," kata Boy sembari mendekatkan mulutnya ke dekat telingaku. Aku yang merasakan embusan napasnya bergidik karena ada rasa geli yang menjalar di area sekitar indera pendengaranku itu.

"Oh ya. Nama kamu siapa? Nggak lucu 'kan kalau aku nggak tau nama pacarku sendiri?" lontar Boy. Lengannya masih tetap bersandar di kepala bangkuku.

"Ri... Risa," sahutku.

"Oke. Ririsa," kata Boy.

Kok Ririsa? "Risa," ralatku. Agak kesal dengan keusilan makhluk tampan di sampingku itu.

"Oh..., Risa. Kirain Ririsa," celetuk Boy.

"Ya," timpalku lemas. Tak berdaya jika harus berlama-lama mengobrol dengan posisi mesra dan suara setengah berbisik-bisik begini.

"Kamu pernah satu sekolah sama aku, 'kan? Pas SMP atau SMA?" tanya Boy.

"Pas SMP," jawabku cepat.

"Pernah satu kelas juga?" tanya Boy lagi.

"Ya... Dari kelas satu sampai kelas tiga," ungkapku pelan.

"Pantesan muka kamu familiar," komentar Boy.

Kalau mukaku familiar, kenapa Boy tidak mengatakannya padaku saat aku mengambilkan pulpennya yang terjatuh waktu itu ya? Itu bukti, bahwa aku memang benar-benar 'tidak terlihat' di matanya.

‘Iyalah, aku sadar diri kok,’ batinku.

"Kamu punya pacar nggak?" Boy mengajukan pertanyaan lagi kepadaku.

"Ng... Nggak," sahutku.

"Kok nggak punya?" sanggah Boy. Membuatku bingung. "Harusnya kamu jawab punya," ralatnya.

"Ta... Tapi, aku beneran nggak punya," kataku.

"Masa sih?" cecar Boy.

Apakah dia mau mengerjaiku? "Ya," jawabku lirih. Merasa terintimidasi oleh bad boy di bangku sebelah.

Boy mengembuskan napas dengan keras, "Gini ya, Risa. Lain kali, kalau kamu ditanya udah punya cowok atau belum, kamu harus jawab udah, ya. Kalau kamu jawab belum, terus aku ini kamu anggap siapamu?"

"Hahh?" Spontan aku terperangah mendengar ucapan Boy yang sangat absurd itu. Untung saja aku masih bisa mengontrol volume suaraku.

"Maaf..." lirihku sambil memandang ke sekeliling kami dengan muka tersipu-sipu karena merasa suaraku barusan mungkin sudah mengganggu teman-teman.

"Minta maaf gara-gara nggak nganggap aku pacar kamu atau minta maaf ke yang lain? Kalau ke mereka, barusan nggak ada yang denger suara kamu kok. Tenang aja, nggak perlu minta maaf," kata Boy geli.

Aku menggigit bibir melawan rasa malu yang tak tertahankan. "Tadi kita sampai mana?" ujar Boy.

"Pacar..." jawabku tertekan. Hampir saja aku melesak ke dalam bangku, jika saja benda itu bukan terbuat dari kayu keras.

"Jadi... Kamu punya pacar nggak?"

"Y... Ya."

"Apa? Aku nggak denger," kejar Boy.

"Ya," ucapku lebih tegas dan jelas. Dan terpaksa.

"Siapa pacar kamu?"

"Ka... Kamu."

"Kamu?" ulang Boy dengan nada yang ditekan.

"Ya..."

"Bukan itu. Maksudku, kamu sebutin aja namaku," sela Boy sembari tertawa kecil.

"Oh! Maaf..." cetusku. Merasa diri paling bodoh sedunia.

"Nggak apa-apa. Asal kalau mereka yang tanya, kamu bisa tepat jawabnya," kata Boy tenang. Namun, lagi-lagi dia bicaranya di dekat telingaku.

"Tapi... Kenapa aku harus bilang ke mereka kalau kita pacaran?" tanyaku.

Boy terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab.

"Kalau aku bilang aku suka kamu, gimana?"

Jantungku serasa hampir jatuh menggelinding di lantai kelas saking syoknya mendengar kata-kata Boy itu.

Apa Aku tidak salah dengar?

Boy... bilang suka padaku???

“….”

"Kamu sendiri suka nggak sama aku?" tanya Boy balik.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status