"Aira, ini kayu bakar untukmu."
"Terima kasih."
Kehidupan yang Aira jalani tidak membosankan. Tinggal di pulau kecil baginya penuh makna. Walau penghuni pulau tidak sebanyak kota besar, Aira bahagia selama masih punya teman-teman.
Pulau Pakat jauh dari kata layak huni di era serba teknologi. Namun telah mengetahui fakta itu pun mereka enggan meninggalkan pulau bahkan saat tahun lalu pemerintah akan menjadikan Pulau Pakat sebagai destinasi wisata.
Aira menyalakan perapian di dalam rumah menjelang matahari terbenam. Dia tinggal seorang diri, orangtuanya tiada sejak Aira lulus sekolah menengah, untuk bertahan hidup Aira bekerja di pasar membantu temannya menjual sayur hasil panen dan ikan.
Orang yang memberi Aira kayu bakar tadi adalah Deva, sahabatnya dari kecil.
Orangtua Deva adalah wali Aira setelah orangtuanya tiada.
Mereka yang hidup di pulau terbiasa hidup berkecukupan asal bisa makan, minum, dan tidur dalam keadaan hangat.
Sekarang Aira dan Deva menonton kartun favorit mereka yang tayangnya tengah malam. Aira harus ke rumah Deva untuk menonton televisi karena di rumahnya hanya ada radio.
"Sudah dengar berita pesawat jatuh?" tanya Deva.
"Ada?" Aira baru dengar dari Deva. Dia selalu ketinggalan informasi.
Deva mengganti saluran televisi mumpung masih iklan ke berita malam terbaru. Berita pesawat yang jatuh sudah 15 menit disiarkan sejak pukul 23.13 waktu setempat.
"Di Laut Pakat?!" Aira kaget bukan main. "Artinya berbatasan langsung dengan pulau kita."
"Kabarnya begitu. Tapi tidak tahu di sebelah mana pesawatnya jatuh. Laut Pakat kan luas. Saking luasnya kita sulit bepergian ke kota besar, butuh satu hari sampai ke sana."
"Lama-lama Laut Pakat bisa masuk kategori Laut Terangker di dunia," lirih Aira.
"Aku sudah berdoa untuk mereka," ucap Deva.
"Kalau begitu aku juga." Aira memejamkan mata dan mulai mendoakan para penumpang pesawat yang mengalami tragedi mengerikan.
"Besok aku melaut cari ikan. Ikut tidak?"
"Kau saja sana. Aku harus bekerja," tolak Aira.
Keesokan paginya Aira berangkat ke pasar apung untuk bekerja hingga petang, sementara itu Deva pergi melaut sejak matahari belum kelihatan.
Sayur mayur dan ikan yang mereka jual selalu habis. Pulangnya Aira bisa bawa satu ekor ikan yang sudah dipisahkan Riana sebagai upah tambahan.
"Deva pergi ke laut lagi?" tanya Riana di sela-sela membereskan dagangan.
"Seperti biasa," jawab Aira.
"Lama-lama rumahnya di laut. Dapat ikan tidak, dia itu cuma menyelam sambil main-main di sana." Riana geleng-geleng kepala.
Aira kenal mereka sudah lama. Deva dan Riana jarang bisa bicara lama kalau bukan bertengkar.
"Asal tidak lupa pulang saja," kekehnya.
"Deva pasti dapat ikan besar. Sebesar keras kepalanya!" celetuk Riana sengaja bicara keras.
"Apa katamu?"
Aira dan Riana menoleh ke sumber suara. Di sebelah lapak mereka adalah lapak ibunya Deva menjual beragam kosmetik.
"Anakku tidak keras kepala lebih darimu," balas Novita.
Riana membuang muka. "Aku ini bukan keras kepala. Tapi putramu memang menyebalkan, selalu cari masalah denganku."
Novita menjawab, "Apa begitu? Bukankah kau kesal cintamu bertepuk sebelah tangan?" Ibu Deva menertawakan Riana padahal banyak orang lalu lalang meskipun tidak terpaku pada mereka.
"Aku memang pernah menyukainya, tapi itu dulu! Sekarang kalau diingat-ingat, menyesal aku bisa menyukai dia. Cih."
Tawa Novita terhenti ketika Riana mendecih. "Kelihatannya tidak tuh."
"Sudah, sudah. Kalian selalu meributkan satu orang," henti Aira.
"Anakku yang cantik ini sangat baik hati," puji Novita atas kesabaran Aira menghadapi kebawelannya.
"Tentu saja baik hati. Kalau tidak Ibu pasti kalah dua lawan satu."
Novita menimpuk Riana pakai botol plastik kena tepat di kepalanya. "Rasakan itu."
"Ibu!" pekiknya meringis sakit.
"Aku pulang dulu ya, Riana."
"Iya sana."
Aira pamit juga ke Novita. "Bu, aku pulang."
"Ya, hati-hati di jalan." Novita melihat Riana dan Aira bergantian lalu membandingkan mereka. "Coba saja Deva disukai Aira, bukan gadis sablak sepertimu. Ya ampun, beruntung sekali."
Aira pulang ke rumah untuk mengambil jaket penghangat tubuh. Dia jalan kaki di tepi laut melihat kapal lalu lalang sampai malam tiba menyisakan suara halus ombak laut.
Jika beruntung Aira bisa bertemu Deva yang pulang dari melaut.
Aira memanjat bebatuan dan duduk di sana menatap bulan purnama yang cahayanya memantul ke air. Dia mengeluarkan foto hitam putih orangtuanya dengan background taman bermain.
"Kapan aku bisa ke kota lagi? Aku mau cari sesuatu tentang mereka."
Dalam satu keadaan Aira ingin dimudahkan bepergian. Tapi menyeberang ke dermaga yang berpusat di kota butuh waktu satu hari dan biaya yang tidak murah.
Tidak mungkin Aira berenang melawan arus laut demi ke kota walaupun bisa saja kalau tidak ada ikan berbahaya dan tidak terlalu dalam.
"Tabunganku bahkan lama terkumpul kalau menunggu sampai bisa beli tiket kapal." Lebih jahat lagi kalau dia pinjam uang ke Novita atau Deva. Mereka pun belum tentu punya uang sebanyak makan 30 hari untuk dihabiskan sekali berangkat.
"Makin dingin." Aira memeluk tubuhnya sendiri kemudian berdiri untuk turun.
Justru batunya licin menyebabkan dia hampir terjengkang ke belakang. Jantungnya dag dig dug kaget bukan main. Untung tidak jatuh. Kalau jatuh, bisa tinggal nama dan tanggal lahir.
"Batunya tinggi atau tidak ya?" Aira iseng melongok ke bawah bebatuan untuk melihat apakah dia naik rendah atau tinggi.
"Astaga!"
Aira menutup mulut, matanya membelalak sempurna melihat pria di bawah sana dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan kaki terhimpit di antara batu.
Dengan hati-hati Aira turun lalu mendekati pria tersebut. "Dia masih hidup kah?" Dia mengecek deru napas dari hidung dan mendekatkan telinga ke dadanya.
Pria itu masih bernapas dan detak jantungnya terdengar. Dia bukan mayat.
"Bisa dengar aku?" Aira menepuk-nepuk wajahnya kemudian memutuskan melakukan resustasi jantung. "Tuan! Buka matamu."
“Uhuk, uhuk!”
Aira sedikit mundur resusitasinya bekerja. Pria itu sadar meski terengah-engah.
"Tuan baik-baik saja?"
Pria itu adalah Haris. Dia selamat dari kecelakaan mengerikan.
"Sepertinya kau habis tenggelam. Tuan tinggal di mana? Biar kuantar pulang."
Jelas Haris melongo ditanya rumahnya di mana. Dia tidak ingat apa-apa selain tiba-tiba ada di sini tertusuk dinginnya malam.
Setelah mengangkat dua batu yang menghimpit kakinya, Aira melihat badan Haris bergetar kedinginan. Dia memberikan jaketnya supaya terasa hangat. "Pakai ini."
"Aku tidak ingat bisa ada di sini. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Sekarang tahun berapa?"
"Dua ribu ... dua puluh dua." Aira merasa agak aneh berhadapan dengan Haris. "Aku juga tidak tahu Tuan tiba-tiba ada di sini saat aku ada di atas sana," tunjuknya ke bebatuan.
Haris terdiam beberapa saat. Otaknya mencoba memutar ulang adegan sebelum dia berakhir di laut. Tidak ada apa pun.
Kruyuk!
Haris menutup perutnya yang berbunyi. Aira mengalihkan pandangan barangkali dia malu ketahuan kelaparan.
Aira memapah pria yang lebih tinggi darinya ke rumah untuk diberi pertolongan.
Haris lega tubuhnya hangat setelah didekatkan perapian. "Ini rumahmu?"
"Ya." Aira menyahut dari kamar mengambil baju bekas ayahnya yang masih tersimpan. Tubuh mereka hampir sama, siapa tahu muat. "Baju ini punya ayahku. Ganti pakaianmu sebelum tambah kedinginan di kamar itu."
"Baiklah." Haris sangat patuh. Selagi mengganti pakaian dia banyak bertanya.
"Kau tinggal sendiri?"
"Iya." Aira memanaskan kaldu ayam dan bubur putih halus di dapur.
"Sungguh?"
"Iya ...."
"Aku sudah selesai." Haris keluar dari kamar dan telah disiapkan makanan.
"Pakaianmu yang basah berikan padaku."
Haris duduk setelah menyerahkan pakaiannya yang setengah basah.
"Makan saja. Jangan keluar tanpa izin ya!"
"Terima kasih makanannya!" Haris meniup bubur supaya agak hangat dan menuang kaldu ayam supaya ada rasa.
Saat menjemur pakaian pria tadi, Aira merenungi perbuatannya sendiri. "Aku cuma menolongnya, tapi kenapa aku bawa dia ke rumah?"
Tok! Tok!
"Aira!" teriak Deva dari luar membawa ikan di ember untuk dibakar dan disantap bersama Aira.
"Iya!" sahut Aira dari belakang.
Seketika Aira ingat punya tamu.
Aira menemui Haris dan terlibat adu pandang. Aira masih bergeming. Ragu mau membukakan pintu atau tidak.Di luar Deva mengetuk pintu sampai tangannya pegal. "Dia pasti kelayapan. Dasar perempuan aneh! Suka jalan-jalan sendiri di pinggir laut cuma lihat langit seperti tidak bisa lihat besok!" gerutunya persis emak-emak.Plak!"Siapa lagi yang memukul kepalaku!" Deva mengusap kasar kepalanya, ketika berbalik melihat pelakunya dia mengulum bibir. "Eh, Ibu.""Ibu?" bisik Aira berubah pikiran."Ibumu?" tanya Haris.Aira menyuruh Haris diam dengan meletakkan telunjuk di depan mulut. "Ssutt, diam dulu."Haris menyantap bubur dengan polos menatap kebingungan Aira. "Jam berapa sekarang? Pulang dari laut harusnya kau ke rumah orangtuamu dulu! Bukan malah ke rumah Aira!" omel Novita. "Ini lagi," tunjuknya ke ember yang ditenteng Deva."Milik Ibu sudah aku pisahkan, tapi besok baru aku bawa ke pasar. Jangan pukul kepalaku lagi. Bagaimana kalau aku amnesia dan lupa dengan jasa-jasamu?" ancam Deva
Griffin perhatikan Aira mudah sekali menyalakan api, tidak seheboh dia."Aku tadi berhasil." Griffin membela diri sendiri."Tapi?" "Aku sangat terkejut.""Dan kayu yang basah harus diganti.""Maaf. Apa yang harus kulakukan?" Aira berdiri melihat Griffin duduk selonjor di lantai. "Aku ingin menyuruhmu menjemur kayu, tapi sudahlah. Kakimu belum sembuh lagipula aku harus pergi."Griffin bertumpu pada meja untuk bangun. "Tidak bisakah aku ikut?""Tidak bisa." Orang-orang bisa menyangka Aira menyembunyikan pria dari planet lain."Setelah sembuh?" tanya Griffin ragu."Tentu.""Kau sudah janji ya.""Iya."*Di sela-sela sepi pembeli, Aira mampir ke lapak sebelah. Semalam Novita dan Deva datang ke rumahnya namun kembali setelah membuat keributan."Kebetulan kau ke sini," kata Novita."Aku dengar semalam kalian ke rumahku. Maaf, Bu. Aku lelah sekali dan ketiduran.""Tidak apa-apa. Deva memang suka mengganggumu istirahat. Anak itu mau mengajakmu bakar ikan tengah malam. Dia sudah gila!" Aira
Griffin masuk kamar mandi. Dia membuka kaki lebar-lebar supaya tidak kena air. Aira melarang lukanya basah selagi dia tidak ada atau mengganti balutan luka sendiri."Dia tahu aku tidak bisa apa-apa tanpanya."Bukan ingin memenuhi panggilan alam. Griffin mau cuci muka. Hampir 3 hari kondisi wajahnya kering. Jika dibiarkan bisa mengkerut lebih cepat.Griffin lihat ada wadah botol kecil dengan gambar wanita yang sedang cuci muka. Mumpung Aira tidak ada, Griffin pakai sedikit.Hatinya membaik begitu berkaca sambil mencuci wajah dengan gerakan memutar. Ada sensasi dingin. Griffin tersenyum lebar menikmati wangi dari busa wajahnya.*Aira bingung sepulangnya ke rumah Griffin tidak ada di ruang utama. "Ke mana Griffin?"Aira menilik kamar orangtua dan kamarnya, namun tidak ada. Krieett!Aira lihat Griffin memakai sabun wajah miliknya. "Sekarang kau tanpa izin menggunakan barang milikku?" Griffin belum sadar saking menikmati kegiatannya."Aira belum pulang, jadi tidak apa-apa.""Dia sudah
"Pelan-pelan jalannya."Aira berhenti kemudian lihat Griffin tidak pincang lagi. "Kakimu sudah sembuh.""Ya, setelah jalan sangat jauh!" "Kau tidur di pinggir laut? Apa itu masuk akal?" Aira tidak percaya."Aku memikirkan semua tentang hidupku dan tanpa sadar tertidur sampai pagi."Aira memukul punggung Griffin. "Bagaimana kalau kau sakit?" omelnya."Kan ada kau. Dokter pribadiku." Griffin cengar-cengir supaya amarah Aira tidak berlanjut."Pulanglah. Kuncinya pasti ada di bawah keset depan rumah," ucap Aira."Kedengarannya kau mengusirku.""Cepat pulang dan masak sesuatu untuk malam kalau kau menganggapku dokter pribadimu."Griffin mengernyit bingung. "Apa hubungannya?" "Kau harus membayar jasaku. Ingat, jangan sampai orang lain tahu kita serumah. Masuk diam-diam," ujar Aira setelah memberitahu kunci rumah."Jangan anggap aku maling.""Ck.""Baiklah, baiklah."Tidak ada salahnya Griffin mengikuti pemilik rumah ketimbang diusir."Kau baik-baik saja? Temanmu sudah lihat aku."Aira bis
Griffin terengah-engah sampai rumah. Dia pikir napasnya bisa habis di tengah perjalanan. Perasaan Griffin mengatakan jarak dari pantai ke pasar tidak sejauh seperti dari pasar ke rumah."Apa hanya aku yang merasa hampir mati?"Griffin lihat masyarakat di pulau ini masih berjalan kaki baik jarak jauh sekali pun tanpa rasa letih.Selagi menormalkan pernapasan dan detak jantung Griffin duduk dahulu di teras, menyeka peluh keringat sebesar butir jagung sambil mengipas wajahnya dengan kerah depan kaosnya."Hah ... Hebat sekali pulau ini tanpa polusi." Setiap mendengarkan berita terkini di radio, Griffin selalu ingat suara kendaraan melaju tapi udaranya kurang baik akibat polusi.Di tempatnya hidup sekarang sepeda pun bisa dihitung sepanjang berjalan kaki dua rute.Sesudah letihnya berkurang, Griffin bangkit berpegangan gagang pintu. Saat gagang pintunya ke bawah, Griffin kaget pintu terbuka padahal sebelumnya terkunci."Kok?"Pria yang termakan berita menyeramkan mengenai pencurian dan p
Cklek!Deva memindai kamar Aira yang barusan dia buka."Tidak separah yang kukira."Kamar Deva lebih kacau dari Aira. Kalau sekadar kemasan makanan tergeletak di atas meja, handuk di atas kasur, dan bantal tidak tertata itu masih umum.Setelah rasa penasaran hilang, Deva menutup pintu."Semoga Aira tidak tahu sampai kapan pun."Deva keluar dari rumah Aira dan mengunci kembali pintu.Kriett! Cklik!Griffin membuka mata kemudian membalas ucapan Deva, "Tidak. Kau ketahuan."Demi menyelamatkan diri Griffin masuk lemari pakaian, ditelan gelap dan keheningan.Merasa kadar oksigen makin tipis, Griffin mendorong pintu lemari dan lompat keluar."Hahh! Hahh!"Akhirnya Griffin bebas dari kewaspadaan sebab Deva telah pergi."Siapa dia?"Suaranya terdengar tidak asing di telinga Griffin tapi dia tidak ingat di mana dan siapa.Semenjak amnesia Griffin bukan cuma melupakan masa lalu
"Wakil direktur?" tanya Elisha."Bawa dia masuk," sela Elina."Izinkan Mister Cullen masuk," perintah David.Asisten William membukakan pintu untuk Bradly Cullen.Pria yang kerap disapa Bradly oleh banyak kenalan sedang hadir mewakili sahabatnya di tengah badai.Sosok Bradly terlihat ramah dan karismatik bagi David padahal mereka bertemu baru tiga kali.Bradly memilih bekerja untuk Haris, orang pertama yang mendukungnya mendirikan Top Mirror dengan setia dan pantang mundur.Usia Bradly tahun ini 30 tahun, statusnya lajang. Daya tarik wajah asia-tiongkok Bradly lebih unggul dari para aktor Top Mirror.Kepribadian Haris dan Bradly adalah satu meskipun beda raga. Keduanya memiliki sisi misterius, tidak mudah ditebak oleh peramal sekali pun.Usai Bradly masuk, Asisten William keluar.Prok! Prok! Prok!Belum apa-apa Elina sudah heboh menyambut kedatangan Bradly.Bradly menunduk hormat pada Elina hingga gadis itu terpana. Baru kali ini Elina merasa dihormati selain oleh keluarganya sendiri.
"Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Uhuk! Uhuk!" Elina tersedak minumannya sendiri usai mendengar Haris. "Aku? Coba diulang!"Bradly mengulang kembali ucapan Haris."Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Kalian dengar? Haris memilih aku!" Elina sangat bahagia melihat tatapan sinis Elisha sekarang.Bradly melanjutkan videonya."Dengan syarat selama Elina mengelola Top Mirror, pekerjaannya dalam pengawasan Bradly. Jaga Top Mirror dengan baik."Elina melirik Bradly. "Kau harus mengawasiku ya?" "Sesuai yang disampaikan Pimpinan," jawab Bradly."Haris menitipkan Top Mirror ke Elina? Tuan Bradly, kau mungkin tidak tahu. Elina ini tidak bisa apa-apa. Bagaimana dia mampu mengelola perusahaan besar? Jika Top Mirror hancur-- ""Ayah! Aku bahkan belum mulai!" protes Elina.Elisha sedekap dada. "Tetap saja kau disuruh mengganti peran tanpa dapat apa-apa.""Saya harap Nona Elisha tidak salah paham." Haris merahasiakan sesuatu dari keluarganya yang dia ketahui. "Delapan persen aset Pimpinan