Share

Kebiasaan Tak Pernah Hilang

Aira menemui Haris dan terlibat adu pandang. Aira masih bergeming. Ragu mau membukakan pintu atau tidak.

Di luar Deva mengetuk pintu sampai tangannya pegal. "Dia pasti kelayapan. Dasar perempuan aneh! Suka jalan-jalan sendiri di pinggir laut cuma lihat langit seperti tidak bisa lihat besok!" gerutunya persis emak-emak.

Plak!

"Siapa lagi yang memukul kepalaku!" Deva mengusap kasar kepalanya, ketika berbalik melihat pelakunya dia mengulum bibir. "Eh, Ibu."

"Ibu?" bisik Aira berubah pikiran.

"Ibumu?" tanya Haris.

Aira menyuruh Haris diam dengan meletakkan telunjuk di depan mulut. "Ssutt, diam dulu."

Haris menyantap bubur dengan polos menatap kebingungan Aira. 

"Jam berapa sekarang? Pulang dari laut harusnya kau ke rumah orangtuamu dulu! Bukan malah ke rumah Aira!" omel Novita. "Ini lagi," tunjuknya ke ember yang ditenteng Deva.

"Milik Ibu sudah aku pisahkan, tapi besok baru aku bawa ke pasar. Jangan pukul kepalaku lagi. Bagaimana kalau aku amnesia dan lupa dengan jasa-jasamu?" ancam Deva. 

"Dasar tidak tahu malu. Kalau kau amnesia maka Ibu pukul lagi kepalamu supaya kembali ingat, Bodoh!" 

Haris yang mendengar makian mereka di luar langsung bergidik ngeri. Haris sadar dia amnesia, tapi kalau kepalanya dipukul sekali berharap ingatannya kembali rasanya terlalu mudah. 

Deva meletakkan ember dan melindungi kepalanya. "Ibu sungguh tidak berperikemanusiaan." 

"Pulang!" 

"Iya aku pulang sekarang!" 

"Cepat!"

"Aira, kita bakar ikan besok saja. Tiba-tiba ada penyihir datang," kata Deva.

"Deva!"

"Maafkan aku sekali saja, Bu." Deva membawa ember kemudian kabur dari hadapan Novita.

Aira merapat ke pintu. Sepertinya mereka sudah pergi. Di luar tidak ada suara lagi. "Kau bisa lanjut mak-- "

Ergh!

Haris sendawa. "Sudah habis."

Aira tersenyum melihatnya makan tanpa sisa lalu mengambil kembali mangkuk dan gelas kotor. "Sementara tidurlah di sini sampai besok pagi."

"Kau tidak akan memukul kepalaku, bukan?" 

"Tidak lah." 

Haris fokus mencoba ingat-ingat siapa dia atau setidaknya berapa umurnya sekarang.

"Kenapa sulit sekali?" batin Haris menyerah.

Aira melupakan kondisi kaki Haris yang sempat terjepit batu. Darahnya mengering bercampur pasir laut. 

Akhirnya Aira mengambil kain, baskom berisi air, dan kotak obat.

"Ini pertama kalinya aku lihat orang amnesia."

"Sama." Apalagi Haris mengalami langsung.

Haris tertegun Aira duduk di lantai kemudian menggulung sedikit celana untuk membersihkan luka di sekitar pergelangan kakinya.

"Sedikit perih, tahan saja." 

"Luka kecil seperti ini tidak ada ap-- Ssh! Perih ternyata." Haris melihat lukanya sendiri. "Padahal kelihatan tidak buruk."

"Tetap saja perlu diperiksa dokter. Besok jika kakimu membaik kita pergi ke sana."

Sangat mudah mengatakan pergi ke dokter. Rasa kasihannya melupakan bahwa Aira tak punya uang.

"Ada apa?" sahut Haris.

"Aku tidak punya cukup uang untuk berobat ke dokter." 

"Luka begini tinggal dibiarkan saja nanti kering dan sembuh."

Sudah beruntung Haris ditolong dan diberi tempat untuk tidur. 

Perkara uang tidak bisa dipaksakan. Kondisi keuangan Aira bisa disebut kurang. Uang hari ini hanya bisa mencukupi makan besok, sisanya yang tidak seberapa dimasukkan ke kaleng untuk dana darurat pribadi.

"Aku punya antibiotik. Jika dalam 3 hari lukamu makin sakit, tidak ada pilihan selain ke dokter."

Selesai membasuh kaki Haris, Aira meniupi lukanya supaya tidak terlalu perih baru ditetesi obat luka luar.

"Aira," panggil Haris.

"Bagaimana kau tahu namaku?" 

"Mereka menyebut namamu."

Aira pindah duduk di kursi satunya. "Lantas aku memanggilmu siapa? Kau tidak ingat namamu sendiri."

"Beri aku nama."

"Aku?"

Melihat Haris antusias menunggu diberi nama, Aira terpikirkan satu nama.

"Bagaimana kalau ... Griffin?"

"Lumayan."

Syukurlah dia menerima nama Griffin. Mulai sekarang Aira akan memanggilnya dengan nama itu.

"Griffin, apa kau tidak keberatan aku mengatakan keberadaanmu pada temanku?"

"Aku tidak yakin."

"Bukan sekarang, tapi nanti. Kau juga tidak bisa terus berada di rumah wanita, kalau orang lain lihat kau bisa dalam masalah."

Griffin sudah memikirkan hal itu. "Sebisa mungkin aku menghindari mereka. Hanya sampai aku bisa berlari."

Griffin menyelipkan senyum untuk meredakan kekhawatiran Aira. "Setelah aku bisa berlari dan bisa saja ingatanku pulih. Aku pasti pergi."

"Aku tidak mengusirmu. Jangan salah paham."

"Aku tahu. Niatmu sedari awal untuk membantuku. Aku hanya khawatir selagi kau tidak di rumah ada yang datang," pungkas Griffin.

"Pintu akan selalu aku kunci. Gunakan waktu istirahatmu dengan baik."

"Aku paham."

Mereka istirahat di tempat terpisah. Aira mulai mengatur keuangan sebab ada tambahan orang di rumah. Griffin harus tetap sehat meski terluka supaya cepat pulih. 

Aira mengandalkan ingatan pria itu agar dia bisa pulang. Berlama-lama di pulau tanpa identitas bisa membuat tetangga salah paham.

Haris yang kasar, acuh, dan licik telah digantikan oleh Griffin yang polos dan humoris. 

*

Pagi-pagi Griffin dengar suara langkah kaki di sekitarnya tidur.

"Aku harus ke pasar untuk bekerja. Tidak perlu bangun sekarang, aku masih menyiapkan bubur."

Griffin langsung bangun membuka matanya lebar-lebar. Dia tidak ingin disebut benalu karena cuma makan dan tidur di rumah orang.

Griffin mengajukan diri. "Aku mau membantu."

Dari belakang Aira jawab, "Kau lihat api di sampingmu mati? Tolong nyalakan. Suhu sampai jam 8 nanti sangat dingin. Kau harus tetap hangat supaya tidak demam."

Griffin menoleh ke perapian yang tersisa asap kecil dan kayu setengah gosong. "Aku bahkan tidak tahu cara menyalakan api," batinnya. 

Dia mengeluarkan kayu yang setengahnya jadi abu lalu memasukkan kayu baru di sebelah perapian.

"Bagaimana api bisa muncul?" pikir Griffin rumit.

Aira melihat Griffin mendatanginya dengan kaki pincang ke dapur. 

"Sebentar lagi aku bawakan buburnya. Kenapa datang ke sini? Kakimu kan belum membaik."

"Bukan bubur. Bagaimana cara supaya apinya muncul?"

Mata Aira menyipit. Griffin benar-benar kehilangan sesuatu yang berharga dari harta, yakni ingatannya.

"Api untuk memasak sudah mati." Aira mengambil dua buah batu bara kemudian diberikan pada Griffin. "Buat apinya muncul pakai itu."

"Bagaimana?" 

"Begini." Aira mencontohkan cara menggesek batu bara supaya ada percikan api.

Tak! Tak!

"Wah! Aku lihat barusan!" 

"Mengerti?" Aira berikan lagi batunya.

"Kelihatannya mudah," sangka Griffin.

"Tidak juga," jujur Aira.

Griffin jongkok di depan perapian lalu mulai menggesek batu ke dekat kayunya.

Tak! Tak! Tak!

"Mengapa tidak nyala? Apa kurang cepat?" 

Griffin menyeka keringat di pelipisnya dengan lengan. Dia menggesek batu dengan cepat sambil tahan napas supaya lebih maksimal.

Bzzztt!

Timbulnya api mengagetkan Griffin. 

"Woah! Sialan!" 

Dia jatuh terduduk dan sontak menyiram api dengan air baskom bekas semalam di bawah meja.

Otak boleh hilang ingatan. Tapi tubuh tetap mengingat kebiasaan.

Aira bergegas menghampiri Griffin usai kehebohan yang dia buat.

"Ada apa? Kenapa kau mengumpat?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status