Share

Mempersulit Diri Sendiri

Griffin perhatikan Aira mudah sekali menyalakan api, tidak seheboh dia.

"Aku tadi berhasil." Griffin membela diri sendiri.

"Tapi?" 

"Aku sangat terkejut."

"Dan kayu yang basah harus diganti."

"Maaf. Apa yang harus kulakukan?" 

Aira berdiri melihat Griffin duduk selonjor di lantai. "Aku ingin menyuruhmu menjemur kayu, tapi sudahlah. Kakimu belum sembuh lagipula aku harus pergi."

Griffin bertumpu pada meja untuk bangun. "Tidak bisakah aku ikut?"

"Tidak bisa." Orang-orang bisa menyangka Aira menyembunyikan pria dari planet lain.

"Setelah sembuh?" tanya Griffin ragu.

"Tentu."

"Kau sudah janji ya."

"Iya."

*

Di sela-sela sepi pembeli, Aira mampir ke lapak sebelah. Semalam Novita dan Deva datang ke rumahnya namun kembali setelah membuat keributan.

"Kebetulan kau ke sini," kata Novita.

"Aku dengar semalam kalian ke rumahku. Maaf, Bu. Aku lelah sekali dan ketiduran."

"Tidak apa-apa. Deva memang suka mengganggumu istirahat. Anak itu mau mengajakmu bakar ikan tengah malam. Dia sudah gila!" 

Aira tidak tahu Deva ada di dalam jika dia tidak keluar membawakan dua buah apel, satu untuknya.

"Mengapa darah tinggi Ibu sering kumat belakangan ini? Perasaan Aira tidak merasa diganggu tuh!" sahut Deva.

Puk!

Novita memukul bokong putranya menggunakan kipas anyam miliknya.

Aira menggeleng supaya Deva tidak membuat Novita marah lagi. 

Deva kerap memicu amarah ibunya secara sengaja. Pria itu suka diomeli tapi kalau sudah ditempeleng atau dilempar barang, dia kabur.

"Bu, Aira kalau tidak diganggu bakal melakukan sesuatu yang aneh. Pernah kulihat hampir tengah malam dia berjalan sendirian di pinggir laut."

"Benarkah?" tanya Novita.

"Aku cuma mencari udara segar," dalih Aira.

Deva menggigit apel dan mengunyah santai. "Dia juga sering berdiri di bebatuan tinggi."

"Aku hanya berdiri, Bu."

Aira sejak tadi mengelak, Deva menunjuknya. "Aku tahu tidak ada penculik atau perampok di pulau ini. Tetapi apa kau lupa ada orang mati kedinginan?"

"Kau menyumpahi putriku?" cetus Novita. "Aira, jangan dengarkan dia."

"Nanti malam ayo bakar ikan," ajak Deva.

Nanti malam? Aira tidak bisa. "Bagaimana kalau besok?" tawarnya.

"Besok? Kau menyuruhku melaut lagi?"

Aira nyengir. Ikan yang baru ditangkap lebih enak disantap langsung atau dijual.

"Kau ditolak. Tidak paham?" sindir Riana.

"Diam kau," sahut Deva.

"Ada sesuatu yang harus aku lakukan malam ini." Aira tidak bisa menjabarkan lebih. Dia ingin memberitahu mereka tentang keberadaan Griffin, tapi selalu tidak siap.

"Tuh, Ibu dengar sendiri kan? Aira ini memiliki kebiasaan aneh."

"Lebih aneh dirimu, sayangnya kau tidak sadar." Riana mengatakan itu untuk kebaikan mereka. "Kita sudah besar dan punya kesibukan yang tidak bisa diceritakan. Jangan anggap kami anak kecil lagi, Deva."

Mendengar Riana bicara, Novita seperti mendengar isi hati Aira. "Riana benar. Makin besar kau juga harus cari pekerjaan tetap supaya pemasukan stabil. Jangan melaut sampai tua!"

Riana sebal Deva masih menganggap dia dan Aira sahabat kecilnya yang tak bisa apa-apa.

*

Sepanjang hari Griffin menatap perapian dan jam dinding menunggu Aira pulang. Hingga kakinya sembuh entah kapan, Griffin bisa ikut ke mana pun Aira pergi.

Kreek!

Aira pulang membawa sayur-sayuran dan ubi rebus untuk mereka. Ketika dia melewati Griffin, pria itu terlihat mengumpulkan tenaga untuk duduk.

"Bagaimana harimu? Menyenangkan?" tanya Griffin basa-basi.

"Aku baru dengar pertanyaan semacam itu."

Aira memberi ubi rebus berukuran sekepal tangan kepada Griffin. "Kau lapar?" 

"Tidak terlalu."

"Ingatanmu bagaimana?"

"Menurutmu dalam semalam orang amnesia bisa langsung ingat?" pungkas Griffin.

"Haruskah aku pukul kepalamu?" candanya.

"Wahh ... Setelah kenal kau menunjukkan sifat asli."

"Aku tidak serius." Aira melihat perapian masih menyala. "Apa kau menyalakan api dari pagi tadi?" 

"Aku merasa dingin."

"Cepat sembuh. Kau harus mulai cari kayu." Persediaan kayu sudah menipis dan Aira senang bercanda dengan Griffin.

"Baiklah."

Aira gagal fokus dengan pakaian ayahnya yang dikenakan Griffin. Jika orang lain yang lihat pasti mengira dia ayahnya.

"Tapi aku merasa ada yang salah dengan diriku," ungkap Griffin.

"Apanya?" 

"Aku sadar mengalami amnesia, tapi aku tidak terlalu mau mengingatnya. Apa artinya kepalaku cedera parah?"

"Kau berpikiran begitu karena memang tidak ingat apa pun."

"Begitukah?"

"Atau ingatanmu dipenuhi kenangan buruk sampai kau tidak mau mengingatnya," gumam Aira.

Ubi rebus yang diberikan Riana sangat lezat, Aira ketagihan.

"Griffin, kau dalam masalah besar."

"Sekarang tidak terlalu buruk."

"Kakimu pincang, ingatanmu hilang, menyalakan api saja heboh satu kampung. Apa yang bisa kau lakukan untukku nanti?"

Haris mendecih. "Aku terlalu menganggapmu baik ternyata."

Aira tertawa. "Menyenangkan bisa meledek orang amnesia."

"Bagimu hal lucu benar, kan?"

Aira membenarkan kemudian menambah jatah ubi untuk Griffin. "Nanti malam aku mau ke laut, jalan-jalan."

Alis Griffin menyatu. "Apa itu kebiasaanmu?" Dia tidak melupakan bagaimana Aira menemukannya tengah malam di tepi laut sedang jalan-jalan pula.

"Semacam itulah."

"Aku tidak ikut. Kau sendiri menyuruhku cepat sembuh."

"Ya sudah."

Mereka makan malam seadanya. Griffin melirik jam dinding menunjukkan pukul 8 malam dan dia mulai mengantuk.

Aira mencuci piring dan gelas kotor sementara Griffin mencoba-coba menyalakan radio.

"Bisa tidak?" tanya Aira melihat upaya Griffin.

"Jangan menyepelekan aku karena tidak bisa menyalakan api ya."

"Siapa bilang?" 

Aira mengambil alih radio lantaran geram Griffin tidak bisa-bisa.

"Aku pergi sekarang ya."

Griffin berdeham menjawab Aira. Lagu yang diputar lumayan bagus.

***

"Sudah ada kabar Haris?" Elina bertanya pada David saat mereka senggang di Freelist.

David baru saja selesai menghubungi Direktur Europe Air yang merupakan sahabat lama. 

"Mereka masih melakukan pencarian."

"Aku bisa gila," desis Elina.

"Kau mengkhawatirkan Haris tanpa maksud lain?" 

Elina mendelik. "Aku tidak seperti Elisha. Dia pasti sangat senang kakak tirinya hilang ditelan laut."

"Keputusan Haris sudah tepat menjadikan Elisha penerus perusahaan."

"Tepat dari mana?" 

"Ayahmu ini sudah tua. Mengandalkanmu yang ada kami makin repot," cetus David.

"Lantas Ayah senang Haris tidak ada?"

"Mana ada seorang Ayah yang senang putranya hilang? Bicaramu makin tidak masuk akal."

Cklek!

Elisha datang ke ruangan David membawa satu map warna kuning. "Ini dokumen yang Ayah butuhkan."

"Ya, terima kasih."

Lantas saudara kembar tersebut saling pandang sesaat.

"Sedang apa kau di sini?" sinis Elisha.

"Mengapa kau bertanya begitu? Aku datang untuk bertemu ayah."

"Bukankah lebih baik kau tetap di rumah daripada berkeliaran membuat rumor tidak baik tentangku?" 

Elina cukup terkesan dituduh melakukan sesuatu yang belum dia inginkan. "Rumor apa?"

"Rumor bahwa aku merebut posisi Haris. Kau yang sebar?"

David masih sabar menyaksikan mereka.

"Apa keuntungan yang aku dapat?" 

"Kalau bukan kau siapa lagi?"

"Dengar ya. Aku dan Haris sangat ingin menjatuhkanmu, tapi bukan sekarang. Nikmati saja hidupmu sebagai CEO sebelum Haris kembali."

"Ayah dengar sendiri, kan? Haris punya maksud lain menaikkan jabatanku."

"Selain kami ada banyak yang mau menjatuhkanmu." Elina menyayangkan dugaan Elisha sangat sempit. "Omong kosong yang tersebar pun tidak salah. Kau tahu itu."

David mengelus dada sabar. "Kalau kalian masih mau bertengkar keluar dari sini sekarang. Ayah tidak mau dengar apa-apa."

"Jaga jabatanmu baik-baik," kata Elina sebelum pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status