Share

Datang Tanpa Diundang

Cklek!

Deva memindai kamar Aira yang barusan dia buka.

"Tidak separah yang kukira."

Kamar Deva lebih kacau dari Aira. Kalau sekadar kemasan makanan tergeletak di atas meja, handuk di atas kasur, dan bantal tidak tertata itu masih umum.

Setelah rasa penasaran hilang, Deva menutup pintu.

"Semoga Aira tidak tahu sampai kapan pun."

Deva keluar dari rumah Aira dan mengunci kembali pintu.

Kriett! Cklik!

Griffin membuka mata kemudian membalas ucapan Deva, "Tidak. Kau ketahuan."

Demi menyelamatkan diri Griffin masuk lemari pakaian, ditelan gelap dan keheningan.

Merasa kadar oksigen makin tipis, Griffin mendorong pintu lemari dan lompat keluar.

"Hahh! Hahh!" 

Akhirnya Griffin bebas dari kewaspadaan sebab Deva telah pergi.

"Siapa dia?" 

Suaranya terdengar tidak asing di telinga Griffin tapi dia tidak ingat di mana dan siapa.

Semenjak amnesia Griffin bukan cuma melupakan masa lalu, tetapi hal baru pun suka lupa.

"Mungkin kepalaku perlu dipukul," batinnya.

***

Suasana hati Aira begitu gembira sepulang bekerja diberi minyak sayur dan telur satu kilo.

Dua bahan pokok itu sulit didapat lantaran harganya cukup mahal.

Tanya Griffin. Setiap hari pria itu makan bubur, olahan sayur, dan umbi-umbian yang direbus. Jika ada ikan seringnya dibakar.

"Griffin, aku bawa telur. Mau digoreng atau direbus?"

Aira menyambutnya dengan tas belanja, tapi apa yang dilakukan Griffin di ruang tamu timbul tanda tanya besar. 

Griffin duduk tegap dengan mata terpejam diiringi musik meditasi dari radio. 

"Mengapa pintu terkunci? Kau masuk lewat mana?" 

Walaupun tubuhnya rileks, Griffin tidak pernah berhenti memikirkan semua hal yang menyangkut hidupnya.

"Menurutmu lewat mana lagi? Pintu rumahmu kan cuma satu."

Aira lantas menatap perapian sedikit tak percaya. "Aku bilang kunci ada di bawah keset. Jangan-jangan kau tidak tahu keset seperti apa, oleh sebab itu masuk lewat atap?"

"Pikirmu aku mampu memanjat?" balas Griffin cukup santai.

"Lantas?" 

"Aku terkunci di dalam setelah masuk dan sembunyi karena ada yang lebih dulu masuk," tutur Griffin.

"Siapa?" 

Mata Griffin yang semula tertutup langsung terbuka. Mendengar pertanyaan Aira rasanya dia ingin mencak-mencak.

"Seorang pria. Kalian tampak saling kenal tuh," jawab Griffin.

Hanya satu pria yang lewat di atas kepala Aira. 

"Deva? Mau apa dia masuk rumahku?" 

Aira meletakkan tas di lantai sebelum jatuh dan telur-telur kesayangannya pecah sia-sia.

"Mana kutahu. Aku cuma lihat dia menghabiskan lauk."

"Deva pasti menyimpan ikan lagi," tebak Aira sangat tepat. "Deva melihatmu?" 

Griffin menggeleng cepat. "Tidak."

"Syukurlah."

"Siapa Deva?" Griffin sangat penasaran.

"Sahabatku."

"Sama seperti Riana?"

"Ya."

"Suaranya kedengaran tidak asing... " pikir Griffin mengingat-ingat.

"Deva itu orang yang menggedor pintu di malam kau datang ke rumah ini," ungkap Aira.

Griffin sampai beranjak tatkala ingat. "Pria yang menyebutmu punya kebiasaan aneh! Dia, pria itu? Pantas saja aku merasa tidak asing."

Aira memegang erat sisi lengan Griffin. "Dengar, Griffin. Sementara hanya Riana yang boleh mengetahui keberadaanmu. Jika orang lain tahu, kau bisa diusir. Aku tidak bisa biarkan hal buruk terjadi sebelum ingatanmu pulih."

"Aku bisa diusir?" 

"Maka dari itu jangan berkeliaran seperti tadi. Mengerti?" 

Aira sangat memohon pada Griffin agar dia tidak sering keluar masuk rumahnya meskipun orang jarang lewat.

"Kecuali malam hari. Kau bisa keluar, tapi harus beritahu aku ya!"

Griffin mengangguk dua kali. "Maaf aku menyulitkanmu."

"Tidak perlu merasa bersalah. Aku paham alasanmu keluar semalaman, asal jangan mengulangi lagi."

Griffin tersenyum hangat ditatap teduh Aira. Meskipun dia salah, Aira tetap sabar menghadapinya.

"Nanti malam kami bertiga bermalam di dekat laut. Tidak keberatan kan aku tinggal? Deva mengajak kami bakar ikan."

"Pergilah dengan nyaman."

Aira bersyukur Griffin tidak keberatan.

"Aku lapar," ucap Griffin tidak diprediksi.

"Oh iya. Tunggu di sini, aku mau masak."

Melihat bagaimana Aira merawatnya sejak awal bertemu, Griffin merasa aman meski cukup sulit bertahan hidup mengandalkan makanan dan minuman saja.

Hingga Griffin mengetahui alasannya masih hidup di tengah keterbatasan ekonomi.

Suara Aira.

Ketika Aira berpamitan bekerja dan menyambut Griffin. Ketika Aira mengomel Griffin tidak bisa menyalakan api tanpa gaduh. Ketika mereka berebut kamar mandi dan radio menjadi kebiasaan yang Griffin syukuri.

***

Elina dan Elisha duduk berseberangan di dalam ruangan David. Dari tatapan mereka bertiga ada sengatan listrik cukup kuat.

Tok! Tok! Tok!

Kantor David kedatangan tamu tak diundang tanpa diduga.

"Kau memiliki tamu?" David bertanya pada Elisha.

Elisha menggeleng, begitu pula Elina yang ditatap David.

Asisten David bernama William masuk usai mengetuk pintu.

"Tuan, ada seorang tamu yang ingin bertemu."

"Siapa?" tanya David.

"Tuan Bradly Cullen, Wakil Direktur Top Mirror dari Beijing, China."

Mereka bertiga yang semula duduk bersandar di kursi langsung menegakkan punggung.

"Wakil direktur?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status