"Pelan-pelan jalannya."
Aira berhenti kemudian lihat Griffin tidak pincang lagi. "Kakimu sudah sembuh."
"Ya, setelah jalan sangat jauh!"
"Kau tidur di pinggir laut? Apa itu masuk akal?" Aira tidak percaya.
"Aku memikirkan semua tentang hidupku dan tanpa sadar tertidur sampai pagi."
Aira memukul punggung Griffin. "Bagaimana kalau kau sakit?" omelnya.
"Kan ada kau. Dokter pribadiku." Griffin cengar-cengir supaya amarah Aira tidak berlanjut.
"Pulanglah. Kuncinya pasti ada di bawah keset depan rumah," ucap Aira.
"Kedengarannya kau mengusirku."
"Cepat pulang dan masak sesuatu untuk malam kalau kau menganggapku dokter pribadimu."
Griffin mengernyit bingung. "Apa hubungannya?"
"Kau harus membayar jasaku. Ingat, jangan sampai orang lain tahu kita serumah. Masuk diam-diam," ujar Aira setelah memberitahu kunci rumah.
"Jangan anggap aku maling."
"Ck."
"Baiklah, baiklah."
Tidak ada salahnya Griffin mengikuti pemilik rumah ketimbang diusir.
"Kau baik-baik saja? Temanmu sudah lihat aku."
Aira bisa lihat Riana memicingkan mata curiga minta penjelasan.
"Siapa suruh kau datang ke Pasar?"
"Aku mengikuti hatiku."
"Pulanglah."
Tempo hari Griffin menyindir Aira tentang kata hatinya yang ingin keluar bertemu orang-orang.
"Aira, apa aku terlihat seperti Pangeran Kuda Putih? Aku dengar pujian dari temanmu."
Kepercayaan diri Griffin mulai terbentuk dan mengesankan. Wajahnya bahkan merona ketika memadankan diri dengan seorang pangeran.
"Tidak sama sekali," bantah Aira.
Griffin menunduk lesu. "Ya sudah. Aku pulang." Dia berbalik pergi.
Aira terus menatap langkah Griffin yang semakin jauh.
Pria itu membuka jalur pertemanan dengan cara unik.
Mengingat Griffin ketiduran di pinggir laut, dia pasti sangat frustasi tidak mengingat apa pun bahkan nama atau keluarganya.
Aira yang tidak memiliki orangtua saja mengingat mereka setiap hari penuh rindu.
Aira penasaran bagaimana perasaan keluarga Griffin atas hilangnya dia. Secara mereka saling tidak tahu asal Griffin sampai dia ingat.
"Apa hubungan kalian?" tanya Riana begitu Aira datang.
"Sebaiknya kau tanya bagaimana kami saling kenal," usul Aira.
"Jelaskan padaku keduanya."
Aira duduk di sebelah Riana yang berdiri menunggu penjelasan.
"Namanya Griffin. Aku menemukannya di di tepi laut dalam kondisi terluka dan hilang ingatan," singkatnya memperkenalkan Griffin.
"Maksudmu Pangeran itu tenggelam dan terdampar pulau ini?"
"Aku berpikir hal yang sama. Nama Griffin juga bukan nama aslinya."
"Nama seburuk itu pasti kau yang berikan."
"Sangat buruk?"
"Uhm. Semestinya beri dia nama Lee Min Ho, Kim Nam Gil, Ji Sung, Hyun Bin--."
"Kau pikir drama televisi? Lagipula nama tidak begitu penting daripada kondisinya."
"Habisnya nama macam apa itu Griffin?" Riana menyayangkan pemberian Aira tidak ada keren-kerennya. "Jika tidak ingat nama, berarti memori otaknya kosong?"
"Griffin tidak bodoh. Dia cuma sangat polos." Atau tidak. Aira ingat betul Griffin mengumpat kata "sialan" saat berjuang menyalakan api.
"Hidupmu diberkati."
"Apanya?"
"Anggap saja begitu. Jadi, kalian tinggal bersama sudah lama... "
"Aku menampungnya."
"Mengapa? Griffin bisa tinggal bersama Deva, mereka sesama pria."
Aira mengalihkan pandangan ke sekitar untuk menyegarkan mata. Riana rupanya belum tahu situasi yang dia hadapi.
"Deva belum tahu rupanya!"
Riana memukuli pelan Aira berkali-kali.
"Kau bisa gila ternyata. Menyembunyikan Pangeran setampan Griffin di rumahmu? Itu keputusan yang tepat!" dukungnya sebagai sahabat.
Aira cukup kaget Riana tidak memarahinya. "Aku kira kau akan beritahu Deva."
"Kau tidak perlu kasih tahu Deva. Untung hari ini Novita tidak berjualan. Jadi rahasiamu aman."
Aira bersyukur Novita tidak melihat Griffin secara langsung. Bisa-bisa dia diusir dan hidupnya entah jadi apa dalam kondisi sulit seperti sekarang.
"Tapi, kau yakin Griffin bisa pulang? Katamu dia amnesia."
"Bukankah amnesia hanya lupa masa lalu?"
Griffin terengah-engah sampai rumah. Dia pikir napasnya bisa habis di tengah perjalanan. Perasaan Griffin mengatakan jarak dari pantai ke pasar tidak sejauh seperti dari pasar ke rumah."Apa hanya aku yang merasa hampir mati?"Griffin lihat masyarakat di pulau ini masih berjalan kaki baik jarak jauh sekali pun tanpa rasa letih.Selagi menormalkan pernapasan dan detak jantung Griffin duduk dahulu di teras, menyeka peluh keringat sebesar butir jagung sambil mengipas wajahnya dengan kerah depan kaosnya."Hah ... Hebat sekali pulau ini tanpa polusi." Setiap mendengarkan berita terkini di radio, Griffin selalu ingat suara kendaraan melaju tapi udaranya kurang baik akibat polusi.Di tempatnya hidup sekarang sepeda pun bisa dihitung sepanjang berjalan kaki dua rute.Sesudah letihnya berkurang, Griffin bangkit berpegangan gagang pintu. Saat gagang pintunya ke bawah, Griffin kaget pintu terbuka padahal sebelumnya terkunci."Kok?"Pria yang termakan berita menyeramkan mengenai pencurian dan p
Cklek!Deva memindai kamar Aira yang barusan dia buka."Tidak separah yang kukira."Kamar Deva lebih kacau dari Aira. Kalau sekadar kemasan makanan tergeletak di atas meja, handuk di atas kasur, dan bantal tidak tertata itu masih umum.Setelah rasa penasaran hilang, Deva menutup pintu."Semoga Aira tidak tahu sampai kapan pun."Deva keluar dari rumah Aira dan mengunci kembali pintu.Kriett! Cklik!Griffin membuka mata kemudian membalas ucapan Deva, "Tidak. Kau ketahuan."Demi menyelamatkan diri Griffin masuk lemari pakaian, ditelan gelap dan keheningan.Merasa kadar oksigen makin tipis, Griffin mendorong pintu lemari dan lompat keluar."Hahh! Hahh!"Akhirnya Griffin bebas dari kewaspadaan sebab Deva telah pergi."Siapa dia?"Suaranya terdengar tidak asing di telinga Griffin tapi dia tidak ingat di mana dan siapa.Semenjak amnesia Griffin bukan cuma melupakan masa lalu
"Wakil direktur?" tanya Elisha."Bawa dia masuk," sela Elina."Izinkan Mister Cullen masuk," perintah David.Asisten William membukakan pintu untuk Bradly Cullen.Pria yang kerap disapa Bradly oleh banyak kenalan sedang hadir mewakili sahabatnya di tengah badai.Sosok Bradly terlihat ramah dan karismatik bagi David padahal mereka bertemu baru tiga kali.Bradly memilih bekerja untuk Haris, orang pertama yang mendukungnya mendirikan Top Mirror dengan setia dan pantang mundur.Usia Bradly tahun ini 30 tahun, statusnya lajang. Daya tarik wajah asia-tiongkok Bradly lebih unggul dari para aktor Top Mirror.Kepribadian Haris dan Bradly adalah satu meskipun beda raga. Keduanya memiliki sisi misterius, tidak mudah ditebak oleh peramal sekali pun.Usai Bradly masuk, Asisten William keluar.Prok! Prok! Prok!Belum apa-apa Elina sudah heboh menyambut kedatangan Bradly.Bradly menunduk hormat pada Elina hingga gadis itu terpana. Baru kali ini Elina merasa dihormati selain oleh keluarganya sendiri.
"Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Uhuk! Uhuk!" Elina tersedak minumannya sendiri usai mendengar Haris. "Aku? Coba diulang!"Bradly mengulang kembali ucapan Haris."Aku ingin Elina mengelola Top Mirror.""Kalian dengar? Haris memilih aku!" Elina sangat bahagia melihat tatapan sinis Elisha sekarang.Bradly melanjutkan videonya."Dengan syarat selama Elina mengelola Top Mirror, pekerjaannya dalam pengawasan Bradly. Jaga Top Mirror dengan baik."Elina melirik Bradly. "Kau harus mengawasiku ya?" "Sesuai yang disampaikan Pimpinan," jawab Bradly."Haris menitipkan Top Mirror ke Elina? Tuan Bradly, kau mungkin tidak tahu. Elina ini tidak bisa apa-apa. Bagaimana dia mampu mengelola perusahaan besar? Jika Top Mirror hancur-- ""Ayah! Aku bahkan belum mulai!" protes Elina.Elisha sedekap dada. "Tetap saja kau disuruh mengganti peran tanpa dapat apa-apa.""Saya harap Nona Elisha tidak salah paham." Haris merahasiakan sesuatu dari keluarganya yang dia ketahui. "Delapan persen aset Pimpinan
"Sedang apa dia?" tanya Riana setelah memerhatikan Deva duduk menyendiri di bebatuan sambil makan ikan bakar."Tidak tahu," jawab Aira yang ada di sebelahnya.Riana memikirkan segala hal yang tidak penting setiap berkumpul dengan mereka."Lain kali jangan turuti Deva!"Mereka bertiga harusnya duduk melingkar di tengah api unggung menikmati ikan bakar bersama sambil bersenda gurau seperti di film-film."Anehnya aku tidak bisa menolak," jawab Aira."Itu dia masalahmu," cicit Riana.Meskipun mereka tidak mendongeng seperti biasanya, kali ini pandangan ketiganya terpaku pada kerlap-kerlip lampu jauh di seberang pulau.Riana menghembuskan napas panjang. "Kapan aku bisa pergi ke Kota?" Pertanyaan tiba-tiba yang mewakili isi hati Aira itu memiliki banyak harapan yang tak pernah putus."Mungkin beberapa tahun lagi?" "Aku tidak akan bisa ke sana. Uang dari mana."Lupakan saja bermimpi pergi ke kota besar. Uang saja cukup buat makan besok."Pasti ramai sekali di sana saat malam hari. Itukah a
"Pria yang dijelaskan Riana tadi. Nama khayalannya Griffin," alibi Aira.Riana mengangguk santai walaupun ragu Deva percaya begitu saja. "Ya. Aku tidak menyukai nama pria yang aku sukai. Griffin nama yang bagus.""Ibuku yang memberi nama Deva. Protes saja padanya kalau kau tidak suka," kata Deva."Aku tidak bilang suka padamu!" kesal Riana.Deva menertawakan Riana yang tidak mengakui perasaannya."Kalian tidak berniat jadi pasangan? Aku bosan setiap hari jadi penengah." Aira berkata jujur."Aku?" Deva menunjuk wajahnya. "Dia cuma mengagumiku, mana bisa aku jadi pasangannya.""Dengar dia Riana," adu Aira."Riana masih terjebak saat aku menyelamatkannya dari gempa bumi. Aku ingat betul tatapannya padaku saat itu. Dia-- hmph!" Riana yang geram menyumpal mulut Deva dengan ikan bakarnya."Hei!" "Apa!" teriak Riana. "Bicara lagi kalau berani. Aku sumpal mulutmu dengan pasir laut!" ancamnya tak bercanda."Aku menyelamatkanmu karena butuh pertolongan. Tidak bisa menjadi alasan menyukaiku.
Sambil membawa obor untuk penerangan jalan, Aira mempercepat langkah.Begitu mendekati rumah Aira memperjelas penglihatannya barangkali halusinasi.Sedang apa Griffin duduk memeluk lutut di teras sendirian?"Kenapa kau di sini bukannya masuk rumah?"Griffin menunggu Aira pulang seperti anak kecil."Menunggumu."Aira melihat ke atas langit karena Griffin mendongak cukup lama. Sinar bulan memang tak ada tandingan.Griffin berdiri menepuk bokongnya barangkali kotor sehabis duduk."Acara kalian sudah selesai? Katanya sampai pagi.""Kecuali listrik padam. Ayo masuk, banyak nyamuk di luar."Griffin tanpa sadar mengizinkan nyamuk menghisap darahnya akibat serius lihat bulan purnama."Kulitku jadi merah semua," cicit Griffin menggaruk lengan bergantian supaya nyamuk yang hinggap pergi.Bak melewati kegelapan tanpa batas, Aira melangkah pelan-pelan mencari lilin."Kau tidak takut gelap, kan?"Griffin mengikuti suara Aira takut ketinggalan. "Tentu saja."Aira berhenti di depan pintu kamar, teta
Bruk!Bradly memberi tumpukan berkas pada pimpinan baru."Selesaikan hari ini. Baca dengan teliti."Elina mendelik tak suka. "Kau pasti sudah baca. Namaku tidak dipajang, untuk apa berusaha keras menyelesaikan semua dengan cepat?""Memang benar." Bradly mengakui.Papan nama Haris tidak diganti nama Elina meskipun peranya dialihkan sementara."Bradly, jujur semua pekerjaan Haris bisa diselesaikan olehmu tanpa aku, kan?" Elina meletakkan pulpen yang sejak 3 jam lalu digunakan menandatangani dokumen."Benar.""Jawab selain kata 'benar', 'iya', 'memang', 'hm' !""Haris memintamu secara langsung. Aku bisa apa?"Elina mendengus. "Lihat dirimu. Kemarin di depan ayahku menyebut Tuan Muda Haris, sekarang namanya saja.""Kami terbiasa bicara santai, seperti teman."Mereka berdua sama-sama menyebalkan dan membosankan. Entah mengapa Elina harus hidup di sekitar mereka selagi bisa bersenang-senang di luar sana. Ya, jika punya banyak uang setelah bekerja sambilan di Top Mirror pasti dia pergi."Kem