"Jadi bagaimana keputusan kalian? Papa tidak mau mendengar bantahan lagi." Seorang pria dengan kemeja berwarna navy bicara tegas pada dua anak laki-lakinya. Dia adalah Tio Mahardika, kepala keluarga dalam rumah tersebut.
"Aku tetap pada keputusanku, Pa. Aku dan Delia sudah mantap dengan keputusan yang kami buat dan sepakati." Adnan, anak kedua dalam keluarga tersebut bicara tak kalah tegasnya pada sang ayah. Berpegang teguh pada prinsipnya dan tak mau berubah pikiran walau didesak dan dipaksa orang tuanya."Sekarang kan Kak Arkan yang meneruskan perusahaan Papa. Jadi biar Kak Arkan saja yang memberikan cucu untuk Papa dan Mama," lanjut Adnan. Dia lalu melirik pada kakaknya yang masih diam sejak tadi."Kau pikir bayi bisa lahir dari sebuah batu apa?" Arkan, anak sulung dalam keluarga tersebut melayangkan pertanyaan sinis pada adiknya."Ya makanya cepetan nikah. Punya istri terus punya anak. Masalah beres," jawab Adnan dengan sebal."Kau pikir cari istri itu gampang?" sentak Arkan marah."Gampang kalau gak pilih-pilih.""Kau-""Cukup! Papa memanggil kalian berdua ke sini bukan untuk mendengarkan kalian berdebat!" Tio membentak kedua anaknya dengan marah. Hana, sang istri hanya bisa mengelus pundak Tio berusaha menenangkan. Matanya kemudian menatap kedua anaknya bergantian, memberi kode agar jangan mengundang kemarahan sang kepala keluarga."Intinya, aku tetap pada pendirianku dan tak akan berubah." Adnan bicara lagi dengan tegas dan tak mau dibantah. Lalu kini Arkan sebagai anak sulung yang jadi tatapan Tio dan Hana."Mau sampai kapan kamu begini, Arkan? Ini sudah dua tahun! Cari wanita lain!" ujar Tio dengan jengkel. Arkan hanya memalingkan wajah saat mendengar perkataan ayahnya barusan."Bagaimana kalau Mama kenalkan pada anak teman Mama?" Hana menawarkan. Arkan diam, tak memberikan jawaban. Dan sikapnya sekarang benar-benar membuat sang ayah jengkel luar biasa."Papa besarkan kalian berdua dengan susah payah. Tapi ternyata tak ada satu pun dari kalian yang bisa diandalkan." Tio berkata dengan nada kecewa. Adnan dan Arkan sama-sama diam mendengar itu. Bukan maksud mengecewakan sang ayah, tapi mereka punya pilihan masing-masing."Papa hanya ingin seorang cucu. Umur Papa sudah tua dan Papa tak tahu bisa hidup sampai kapan. Papa hanya ingin menggendong seorang cucu sebelum meninggalkan dunia ini," ujar Tio."Mas, jangan bicara seperti itu," tegur Hana dengan lembut. Tio menggelengkan kepala dan menatap kedua anaknya bergantian. Tak ada yang memberikan respon, dan Tio semakin kecewa dengan sikap kedua anaknya."Pergi kalian berdua." Tio berucap. Arkan dan Adnan langsung berdiri dan pergi meninggalkan ruang keluarga. Jalan menuju kamar mereka satu arah, jadi mereka berjalan beriringan."Papa kecewa sekali sekarang," ujar Adnan."Hm." Arkan membalas dengan gumaman yang tak jelas. Adnan melirik jengkel pada kakaknya tersebut. Saat Arkan membuka pintu kamarnya, Adnan ikut menyerobot masuk ke dalam kamar kakaknya tersebut."Apa-apaan kau Adnan?" tanya Arkan tak suka."Jangan banyak basa-basi deh, Kak. Kita harus membahas masalah ini dan menemukan solusinya. Aku tak bisa melihat Papa kecewa seperti tadi," ujar Adnan. Arkan menutup pintu kamarnya dan langsung duduk di sofa."Kau mau mengorbankan aku agar kau dan pacarmu selamat kan?" ujar Arkan dengan sinis."Kak, mengertilah. Sulit menemukan perempuan yang sepaham denganku. Aku dan Delia sudah sepakat tentang masa depan kami," ujar Adnan.Ya, sebenarnya yang diinginkan oleh Tio adalah seorang cucu. Terdengar simpel memang. Tapi tidak simpel bagi kedua anaknya.Adnan adalah anak kedua dan dia memiliki seorang kekasih. Mereka berencana akan menikah setelah lulus wisuda nanti. Harusnya Tio mungkin bisa bersabar. Namun sayang, Adnan dan kekasihnya sudah sepakat untuk childfree. Mereka sepakat tak akan memiliki anak dan mereka juga tak akan menetap. Adnan dan kekasihnya yang bernama Delia memiliki cita-cita yang sama yaitu bisa keliling dunia. Berpindah dari satu kota ke kota yang lainnya. Hal tersebutlah yang mendukung keinginan mereka untuk childfree.Sedangkan Arkan masih ada harapan untuk memiliki anak karena dia tak satu pemikiran dengan Adnan. Masalahnya adalah, Arkan tak percaya lagi pada sebuah hubungan.Enam tahun yang lalu, Arkan menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Salsa. Mereka berpacaran selama tiga tahun dan bertunangan selama satu tahun. Sempat merencanakan pernikahan, namun semuanya gagal saat Arkan memergoki Salsa selingkuh dengan sahabatnya sendiri.Sejak putus hubungan dengan Salsa, Arkan tak pernah lagi dekat dengan wanita. Dia mungkin merasa trauma karena dikhianati oleh dua orang sekaligus. Dan pengkhianatan tersebut berdampak besar pada kehidupan Arkan sekarang. Hingga sekarang, Arkan tak lagi percaya ada wanita yang tulus mencintainya, kecuali mencintai hartanya saja."Lalu apa rencanamu?" Arkan bertanya pada adiknya tersebut."Ya Kakak menikah lalu punya anak. Masalahnya beres. Papa dan Mama tak akan lagi menentang keputusanku karena sudah punya cucu dari Kakak," jawab Adnan. Arkan melemparkan tatapan tajam pada adiknya tersebut."Gampang sekali kau bicara seperti itu," ujar Arkan geram."Kak, tidak semua wanita jahat seperti Kak Salsa. Masih banyak wanita baik dan tulus. Hanya saja Kakak belum menemukannya," ujar Adnan."Aku tidak percaya," balas Arkan dengan yakin. Adnan menghembuskan nafas kasar mendengar itu. Dia terdiam beberapa saat dan berusaha berpikir dengan keras untuk menemukan solusi atas masalah ini sekarang."Oke. Bagaimana kalau nikah kontrak saja? Setelah punya anak Kakak bisa menceraikannya. Yang penting Papa dan Mama dapat cucu," ujar Adnan, mengutarakan pemikirannya yang gila."Kau pikir Papa dan Mama akan setuju?" sentak Arkan."Tidak. Mereka tak akan setuju. Tapi aku yakin mereka tak akan menentang keras, asal mereka memiliki seorang cucu," jawab Adnan. Arkan memutar bola matanya mendengar itu."Saranmu itu hanya akan menimbulkan masalah lain, Adnan. Kalau mikir pakai otak," ucap Arkan. Dia berdiri lalu berjalan mendekati pintu kamarnya dan membukanya dengan lebar."Keluar sekarang sebelum kuseret kau dari sini," ucap Arkan dengan nada tajam. Adnan berdecak kesal mendengar itu. Namun dia tetap menuruti ucapan kakaknya untuk keluar dari sana. Setelah Adnan keluar dari kamarnya, Arkan langsung menutup pintu dengan kencang di depan wajah Adnan. Tak lupa menguncinya juga.Adnan mendengus pelan dan masuk ke dalam kamarnya. Dia masih memikirkan bagaimana cara agar masalah selesai. Dan Adnan merasa, saran yang dia katakan tadi pada Arkan adalah satu-satunya solusi untuk masalah keluarga mereka.Seorang gadis dengan penampilan yang sederhana berjalan di lorong kampus. Matanya menatap sekeliling, terlihat sedang mencari seseorang. Selama berjalan di koridor, gadis tersebut merasakan tatapan banyak mata yang terarah padanya. Gadis tersebut bisa menebak, pasti orang-orang menatap ke arahnya seperti itu karena berita yang sudah menyebar tentang dirinya. Dia adalah Aruna Kinanti, seorang mahasiswi yang sudah menyelesaikan sidang skripsi dan tak lama lagi akan wisuda. Namun untuk mengikuti wisuda, ada beberapa syarat yang salah satunya harus melunasi SPP semester terakhir yang memang belum Aruna bayar karena dia tak ada uang. Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Aruna menemukan orang yang dia cari. Empat orang gadis seumuran dirinya terlihat sedang berkumpul di depan kelas. Mereka sedang asyik bicara hingga tak menyadari Aruna yang mendekat ke arah mereka. Dan mereka kaget saat Aruna sudah berdiri di hadapan mereka. "Aku sudah dengar beritanya. Dan aku tak menyangka kalau masal
Sesuai rencana, malam ini Adnan memaksa sang kakak untuk bicara dengannya. Arkan sudah jengkel dengan kelakuan adiknya tersebut, namun tetap membiarkan Adnan masuk ke kamarnya juga. "Ada apa lagi?" Arkan bertanya dengan sebal pada Adnan yang mengganggunya. Padahal Arkan berniat akan tidur. "Bagaimana saranku kemarin?" tanya Adnan tak sabar. "Saran yang gila, Adnan." Arkan menjawab dengan tatapan tajam. "Pikirkan dengan baik, Kak. Maksudku, aku yakin Papa dan Mama akan setuju, asal mereka punya cucu saja." Adnan bicara lagi, yakin sekali dengan perkiraannya. "Walau aku melakukan saranmu tersebut, aku tetap tak mau menikah dengan sembarang wanita, Adnan." "Aku memiliki seseorang yang mungkin cocok untukmu, Kak." Adnan berkata dengan cepat. Dia menyimpan sebuah map di depan Arkan dan menyuruh Arkan melihat isinya. Arkan yang penasaran pun mengambil map tersebut dan melihat isinya. "Siapa perempuan ini?" Arkan bertanya dengan beran. "Dia adalah teman kuliahku dan Delia. Kami tak
Berita tentang Aruna menyebar di kampus, walau banyak yang tak tahu yang sebenarnya terjadi, tetap banyak yang membicarakannya. Setelah menegur teman-temannya, Aruna berharap teman-temannya tersebut memberikan penjelasan pada orang-orang kalau Aruna bukanlah orang yang suka berhutang. Namun ternyata dia memang salah pilih teman. Tanpa meminta maaf, mereka malah menambah fitnah dengan menyebarkan berita tentang Aruna yang tak tahu diri setelah dipinjami uang. Padahal, di antara mereka berempat, tak ada satu pun yang meminjamkan uang pada Aruna. Sekarang, Aruna kembali berhadapan dengan keempat temannya tersebut. Aruna meminta penjelasan kenapa mereka bisa setega itu padanya. "Aku salah apa sama kalian? Kenapa kalian malah memfitnahku seperti ini?" Aruna bertanya dengan mata menatap empat gadis tersebut satu persatu. Empat gadis itu bernama Adara, Tanti, Fania dan Bella. "Fakta kan? Pasti kamu akan mencari orang yang bisa kamu hutangi dan jelas kamu gak akan bayar utangnya. Lah, ibum
Aruna berdiri di depan pintu rumah dengan pikiran kosong. Rumah tersebut adalah rumah peninggalan orang tuanya. Aruna berhak atas rumah tersebut karena dia adalah anak tunggal. Sayang, dia tak bisa menyingkirkan seseorang yang menguasai rumah tersebut. Siapa lagi kalau bukan ayah tirinya.Ibunya meninggal beberapa bulan yang lalu dan meninggalkan utang yang sangat banyak. Ayah tirinya bilang kalau ibunya berutang kesana-kemari untuk biaya kuliahnya yang tidak murah. Dan Aruna tahu itu tidak benar. Ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan tabungan pendidikan untuk Aruna. Memang dasarnya ayah tiri Aruna menikahi ibu Aruna hanya untuk numpang hidup. Aruna bahkan tak mengerti kenapa ibunya rela berutang banyak demi suami barunya yang tak berguna sama sekali.Sampai sekarang, ayah tiri Aruna masih tinggal di rumah peninggalan orang tua Aruna. Pria itu merasa berhak atas rumah itu dengan embel-embel pernah menjadi suami ibunya Aruna. Padahal jelas dia hanya orang asing yang tak berhak atas
Jam menunjukkan pukul delapan malam dan Aruna kini berada di ruang tamu rumahnya. Tidak sendirian, karena di sana dia bersama dengan Adnan dan kakak Adnan yang belum Aruna ketahui siapa namanya. Mereka juga tidak hanya bertiga, karena di depan mereka ada seseorang dengan dua pengawalnya yang tak lain dan tak bukan adalah rentenir yang meminjamkan uang pada ibu Aruna. "Kalau bayarnya dengan rumah ini bagaimana?" Aruna bertanya dengan suara pelan. Pria baya dengan perawakan sangar itu menatap sekeliling, pada rumah yang menjadi satu-satunya harta peninggalan orang tua Aruna. "Berikan catatannya pada mereka." Pria rentenir itu berucap. Lalu salah satu dari pengawalnya menyerahkan sebuah kertas yang berisi catatan hutang ibu Aruna. Aruna menerimanya dengan jantung berdebar, dan dia hampir saja berteriak saking kagetnya melihat nominal hutang yang tertera di atas kertas tersebut. "I-ini sungguhan segini?" Aruna bertanya, merasa tak percaya. Posisi Aruna sekarang duduk diapit oleh Arkan
Beberapa menit di perjalanan, akhirnya Arkan dan Adnan pun sampai di rumah. Adnan tersenyum lebar, karena yakin sekali rencana dia akan berhasil. Arkan sudah melunasi utang yang ditanggung Aruna, jadi sudah jelas Arkan menerima rencana Adnan untuk menikah dengan Aruna. "Dia memiliki teman?" Arkan bertanya pada Adnan saat mereka sudah masuk ke dalam rumah. "Punya, empat orang. Tapi Aruna sudah tak berteman lagi dengan mereka. Mereka juga yang menyebarkan masalah pribadi Aruna kepada mahasiswa di kampus," jawab Adnan. "Bagus." Arkan berkomentar. Nasib Arkan dan Adnan sekarang memang sama. Mereka sama-sama tak memiliki teman. Adnan dan Delia tak memiliki teman karena prinsip mereka yang dianggap aneh. Sedangkan Arkan kehilangan teman-temannya sejak dua tahun yang lalu. Sejak dia memergoki sahabat baiknya berselingkuh dengan tunangannya, dan semua temannya menyembunyikan perselingkuhan mereka. Sejak saat itulah Arkan tak memiliki teman. Dan Arkan juga memiliki prinsip agar suatu hari n
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan Aruna kini sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah dan gugup. Malam ini Adnan bilang Arkan akan menjemputnya dan mengajaknya bertemu dengan orang tua pria tersebut.Aruna masih merasa tak percaya, namun dua jam yang lalu dia mendapatkan sebuah pesan dari nomor tak di kenal. Dan dari isi pesannya, Aruna yakin kalau itu adalah nomor Arkan, kakaknya Adnan.Bersiaplah. Jam tujuh malam aku jemput.Begitulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas. Arkan seolah tahu kalau Aruna akan paham kalau dia yang mengirim pesan walau Arkan tak memperkenalkan diri lebih dulu.Masih setengah jam menuju jam yang disebutkan Arkan, namun Aruna sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Dia grogi dan gugup hingga bersiap-siap lebih awal. Takutnya Arkan datang lebih awal dari jam yang disebutkan saat dirinya belum siap.Aruna malam ini memakai sebuah dress sepanjang lutut berwarna abu-abu. Dress tersebut terlihat sopan dan cocok untuk dipakai
Acara makan malam yang Aruna lewati bersama Arkan dan orang tua Arkan berjalan dengan lancar tanpa masalah. Aruna bangga sekali bisa menguasai keadaan dan tidak melakukan kesalahan yang memalukan. Di tambah lagi dengan ibu Arkan yang ramah hingga suasana tidak terlalu canggung dan mencekam.Setelah selesai makan malam, Aruna di ajak ke ruang keluarga untuk mengobrol. Aruna yakin sekali sih yang akan di bahas adalah perjanjian yang pernah Adnan jelaskan padanya. Aruna hanya heran saja karena ternyata orang tua Arkan setuju tentang pernikahan kontrak yang akan dia dan Arkan lakukan. Demi seorang cucu sih kalau kata Adnan."Kamu teman kuliah Adnan?" Tio bertanya pada Aruna yang duduk di hadapannya. Matanya sesekali menatap ke arah sang anak yang terlihat acuh tak acuh."Iya, Pak. Kami satu kelas dalam beberapa mata kuliah," jawab Aruna dengan sopan."Wisuda nanti kamu lulus S1?" Tio bertanya lagi dengan kening berkerut."Iya. Saya lulus S1 nanti.""Baguslah. Pendidikan itu penting bukan