Share

Bab 5

Aruna berdiri di depan pintu rumah dengan pikiran kosong. Rumah tersebut adalah rumah peninggalan orang tuanya. Aruna berhak atas rumah tersebut karena dia adalah anak tunggal. Sayang, dia tak bisa menyingkirkan seseorang yang menguasai rumah tersebut. Siapa lagi kalau bukan ayah tirinya.

Ibunya meninggal beberapa bulan yang lalu dan meninggalkan utang yang sangat banyak. Ayah tirinya bilang kalau ibunya berutang kesana-kemari untuk biaya kuliahnya yang tidak murah. Dan Aruna tahu itu tidak benar. Ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan tabungan pendidikan untuk Aruna. Memang dasarnya ayah tiri Aruna menikahi ibu Aruna hanya untuk numpang hidup. Aruna bahkan tak mengerti kenapa ibunya rela berutang banyak demi suami barunya yang tak berguna sama sekali.

Sampai sekarang, ayah tiri Aruna masih tinggal di rumah peninggalan orang tua Aruna. Pria itu merasa berhak atas rumah itu dengan embel-embel pernah menjadi suami ibunya Aruna. Padahal jelas dia hanya orang asing yang tak berhak atas rumah tersebut. Lalu bagaimana Aruna selama ini? Ya Aruna tinggal di rumah tersebut. Serumah dengan ayah tirinya yang seorang pengangguran.

Kegiatan ayah tirinya sehari-hari hanya tidur dan main ponsel. Tidak bekerja sama sekali. Untuk kebutuhan hidup, pria tak tahu diri itu menjual satu persatu perabotan rumah hingga rumah itu sekarang hanya memiliki sedikit perabot dan hampir seperti rumah kosong.

Aruna sebenarnya ingin pergi dari rumah itu. Namun jika dia melakukan itu, ayah tirinya akan merasa semakin berkuasa atas rumah tersebut. Lagi pula, Aruna juga bingung harus tinggal di mana jika keluar dari rumah tersebut. Dia tak memiliki teman, tak memiliki keluarga juga.

Aruna menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya meraih gagang pintu dan segera membukanya. Pemandangan pertama yang Aruna lihat saat masuk ke dalam rumah adalah sosok ayah tirinya yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan keadaan yang jauh dari kata baik. Aruna lihat, wajah ayah tirinya tersebut terlihat babak belur.

"Apa kau lihat-lihat?!" Ayah tiri Aruna membentak Aruna yang baru saja pulang ke rumah. Aruna tak menjawab dan hendak langsung masuk ke dalam kamar.

"Aruna! Mau kemana kau?!"

Aruna menghela nafas pelan dan berbalik menatap ayah tirinya yang sudah berdiri dan menatapnya marah.

"Kau lihat?! Habis aku dipukuli rentenir gara-gara hutang ibumu!" Dia membentak Aruna seraya menunjuk wajahnya yang babak belur.

"Aku harus bagaimana, Yah? Aku juga gak punya uang," ucap Aruna.

"Makanya cari! Kau dan ibumu sama-sama tak ada gunanya hidup!" Dia membentak lagi. Aruna sudah kebal, sudah terbiasa juga mendengar suara tinggi ayah tirinya.

"Aku sudah bilang kan. Jual saja rumah ini untuk membayar semua utang ibuku," ucap Aruna.

PRAAANGGG

Aruna terperanjat kaget saat ayah tirinya melemparkan gelas ke lantai hingga pecah berhamburan.

"Aku berhak atas rumah ini dan kau tak bisa seenaknya menjual rumah ini anak bodoh! Kerja!"

Aruna mundur satu langkah karena merasa takut. Tubuh Aruna mulai bergetar ketakutan saat ayah tirinya mengangkat gelas tinggi-tinggi dan terlihat akan melemparkan gelas itu padanya. Tanpa ragu, Aruna langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Dia buru-buru mengunci pintu, dan Aruna bisa mendengar teriakan marah ayah tirinya di ruang tamu.

Selain teriakan ayah tirinya, Aruna juga mendengar suara barang yang dibanting. Aruna merasa ketakutan sekarang. Ini belum pernah terjadi sebenarnya. Biasanya mereka hanya selesai sampai debat saja. Dan Aruna yakin, ayah tirinya sangat marah karena dipukuli oleh rentenir yang diutangi ibunya.

"Keluar kau anak bodoh!"

BRAK

Aruna semakin takut saat merasakan ayah tirinya menendang kuat pintu kamarnya. Dia berusaha menahan pintu agar jangan sampai terbuka.

Di saat panik seperti itu, Aruna langsung ingat pada Adnan. Aruna langsung mencari ponselnya dan menghubungi nomor Adnan yang memang sengaja diberikan oleh Adnan padanya tadi sebelum mereka berpisah. Tangan Aruna bergetar saat memegang ponsel saking takutnya dengan ayah tirinya yang sedang mengamuk sekarang.

"Halo, Aruna. Ada-"

"Adnan! Aku terima semua persyaratan yang kamu bicarakan tadi. Pokoknya aku terima semuanya dan aku akan melakukan imbalan seperti yang di tuliskan. Tapi tolong aku. Ayah tiriku mengamuk sekarang. Aku takut," ucap Aruna dengan nada panik. Dia berteriak kaget saat ayah tirinya kembali menendang pintu dengan kencang.

"Aruna! Share lokasi kamu sekarang juga!" Adnan berteriak panik di seberang telepon. Adnan bisa mendengar teriakan marah ayah tiri Aruna, hingga dia bisa membayangkan setakut apa Aruna sekarang.

Dengan tangan bergetar, Aruna berusaha mengirimkan lokasi dirinya sekarang pada Adnan. Setelah berhasil, Aruna mencari-cari benda yang mungkin bisa dia jadikan senjata jika saja ayah tirinya berhasil mendobrak pintu kamarnya.

BRAK

Aruna berteriak kaget saat pintu kamarnya rusak dan terbuka. Aruna semakin ketakutan melihat ayah tirinya sekarang yang terlihat ingin memakannya hidup-hidup.

"Jangan mendekat!" sentak Aruna. Dia memegang gagang sapu dengan erat, berharap kayu kecil tersebut bisa melindunginya.

"Harusnya kau mati saja! Susul orang tuamu sana!"

Aruna tak membalas dan memegang gagang sapu. Matanya sudah berkaca-kaca, sangat takut dengan keadaan dirinya sekarang yang terpojok dan tak bisa melawan lebih.

Saat Aruna hampir merasa putus asa, terdengar suara pintu depan yang dibuka dengan keras. Ayah tiri Aruna berdecak kesal dan berjalan keluar dari kamar Aruna. Tak lama terdengar keramaian di ruang tamu, dan Aruna bisa mendengar suara ayah dirinya yang memberontak. Tubuh Aruna yang lemas langsung terjatuh ke lantai.

"Aruna?" Adnan masuk ke kamar dan menghampiri Aruna yang gemetar ketakutan di atas lantai.

"Tenang. Kamu tak akan bertemu dengannya lagi," ucap Adnan berusaha menenangkan. Dia menyentuh punggung Aruna dan mengusapnya dengan lembut.  Berharap bisa menenangkan gadis tersebut.

"Terima kasih, Adnan. Aku sangat bersyukur mengenalmu siang tadi hingga bisa meminta tolong," ucap Aruna dengan mata yang berkaca-kaca. Entah akan bagaimana nasibnya jika saja dia tak memiliki nomor Adnan. Dia tak memiliki teman lagi yang bisa dimintai tolong.

"Sama-sama. Ayo berdiri, ayah tirimu sudah diamankan," ucap Adnan. Dia berusaha membantu Aruna berdiri dan menggandengnya keluar dari kamar. Aruna bisa melihat keramaian di halaman rumah, dan dia juga bisa melihat ada mobil polisi di sana.

Perhatian Aruna langsung teralihkan saat seorang pria dewasa masuk ke dalam rumah dan mendekat ke arah dia dan Adnan. Aruna tak tahu siapa dia, namun tubuh Aruna langsung terasa kaku saat Adnan bicara pada pria itu.

"Bagaimana, Kak?" Adnan bertanya.

"Dia akan ditahan untuk sementara waktu. Selain itu, dia juga sudah menjadi buronan sejak dua bulan yang lalu karena kasus pencurian dan penjambretan." Pria dewasa itu menjawab dengan suara rendahnya. Matanya lalu menatap ke arah Aruna yang terlihat pucat dan cukup kacau.

"Dia?" Pria dewasa yang tak lain dan tak bukan adalah Arkan tersebut bertanya pada Adnan dengan sebelah alis terangkat.

"Oh iya. Ini Aruna." Adnan berucap. Kening Arkan berkerut dengan mata menatap Aruna dari atas ke bawah selama beberapa kali.

"Hm. Lumayan." Arkan berkata. Setelah itu dia berbalik dan keluar dari rumah Aruna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status