Berita tentang Aruna menyebar di kampus, walau banyak yang tak tahu yang sebenarnya terjadi, tetap banyak yang membicarakannya. Setelah menegur teman-temannya, Aruna berharap teman-temannya tersebut memberikan penjelasan pada orang-orang kalau Aruna bukanlah orang yang suka berhutang. Namun ternyata dia memang salah pilih teman. Tanpa meminta maaf, mereka malah menambah fitnah dengan menyebarkan berita tentang Aruna yang tak tahu diri setelah dipinjami uang. Padahal, di antara mereka berempat, tak ada satu pun yang meminjamkan uang pada Aruna.
Sekarang, Aruna kembali berhadapan dengan keempat temannya tersebut. Aruna meminta penjelasan kenapa mereka bisa setega itu padanya.
"Aku salah apa sama kalian? Kenapa kalian malah memfitnahku seperti ini?" Aruna bertanya dengan mata menatap empat gadis tersebut satu persatu. Empat gadis itu bernama Adara, Tanti, Fania dan Bella.
"Fakta kan? Pasti kamu akan mencari orang yang bisa kamu hutangi dan jelas kamu gak akan bayar utangnya. Lah, ibumu meninggal juga gak bayar semua utangnya," jawab Tanti dengan ketus. Aruna menatap Tanti dengan tatapan kecewa yang teramat sangat. Padahal dulu mereka adalah teman yang sangat dekat. Aruna lah yang paling sering mendengarkan curahan hati Tanti.
"Aku gak memaksa kalian untuk meminjamkan uang padaku." Aruna berucap.
"Udahlah. Kita itu bukan teman lagi sekarang. Kamu ingat kan kemarin kamu sendiri yang memutus pertemanan dengan kita? Jadi tolong jangan ganggu kami lagi," ucap Fania ngegas pada Aruna.
"Aku hanya butuh kalian menjelaskan pada orang-orang kalau aku bukan orang seperti itu," ucap Aruna.
"Itukan masalahmu. Selesain sendiri saja," timpal Bella dengan ketus. Aruna menatap mereka tak percaya. Benarkah mereka adalah teman-temannya? Kenapa mereka semua berubah sekarang?
"Aku sangat kecewa pada kalian," ucap Aruna. Dia berbalik, hendak pergi dari hadapan mereka berempat. Namun Aruna dibuat kaget saat ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Seorang perempuan, yang Aruna yakin masih satu kampus dengannya. Namun Aruna tak kenal siapa dia.
"Kalau tidak bisa membantu, setidaknya kalian tak usahlah menyebarkan fitnah. Roda kehidupan itu berputar loh. Aruna yang asalnya hidup berkecukupan saja sekarang begini. Yakin kalian akan tetap berjaya juga?" Gadis itu melontarkan pertanyaan pada empat teman Aruna. Lebih tepatnya, mantan teman.
"Kamu siapa? Jangan sok tahu deh!" sentak Adara kesal.
"Hanya pengamat saja sih." Gadis itu tak lain dan tak bukan adalah Delia, kekasih Adnan.
"Hai. Kamu Aruna kan? Kenalkan, aku Delia. Kamu kenal Adnan gak? Teman sekelas kamu loh. Dia itu pacar aku," ucap Delia dengan ramah. Aruna kebingungan dengan Delia yang tiba-tiba muncul dan mengenalkan diri padanya.
"Ikut aku yuk. Aku bisa membantu kamu menyelesaikan masalah kamu sekarang," ujar Delia. Tanpa mendapatkan persetujuan dulu, Delia langsung meraih tangan Aruna dan menarik Aruna untuk pergi dari sana. Keempat gadis tadi menatap kepergian Aruna dan Delia dengan mata memicing.
"Sok pahlawan banget," gerutu Adara. Mereka tak tahu saja kalau Delia sungguhan dengan yang dia katakan barusan.
***
Delia menarik Aruna menuju cafe yang letaknya tepat di samping kampus. Aruna yang kebingungan hanya bisa mengikuti langkah Delia saja. Padahal dia juga tak kenal siapa Delia.
"Tunggu dulu. Kamu siapa sebenarnya?" Aruna bertanya dengan bingung.
"Ikut saja dulu," jawab Delia. Setelah masuk ke dalam cafe, Delia menarik Aruna menuju sebuah meja yang berada di pojok sebelah kanan. Di sana ada seorang laki-laki yang Aruna yakini seumuran dengannya.
"Nah Aruna, kenalkan ini Adnan, pacarku," ucap Delia setelah mereka duduk satu meja dengan Adnan. Aruna yang kebingungan hanya menganggukkan kepala saja.
"Jadi, kamu sudah tahu kan kenapa Delia mengajakmu ke sini?" Adnan bertanya. Aruna menatap Delia, lalu menatap Adnan lagi.
"Kalian bisa membantuku?" tanya Aruna ragu-ragu. Adnan tersenyum dan langsung mengangguk.
"Iya. Kami mendengar kabar yang beredar tentang kamu yang terdesak utang mendiang ibumu. Jadi, kami berniat untuk membantumu. Tapi, ya tidak gratis gitu. Harus ada balasan jasa darimu," ucap Adnan. Aruna mengerutkan kening mendengar itu.
"Balasan jasa seperti apa? Bekerja pada kalian misalnya? Kalau begitu, boleh banget." Aruna berkata dengan semangat. Adnan dan Delia saling bertatapan saat mendengar itu.
"Ada sebuah perjanjian kontrak, dan keluargaku terlibat semua dalam perjanjian ini. Kamu bisa baca dulu sampai selesai," ujar Adnan. Dia menyerahkan surat perjanjian yang dia bawa pada Aruna. Aruna yang bingung dan penasaran secara bersamaan akhirnya membaca isi surat tersebut. Aruna membacanya dengan teliti dan dia bertambah bingung setelah membaca inti surat tersebut.
"Pernikahan kontrak? Melahirkan seorang anak?" Aruna bertanya dengan luar biasa bingung.
"Iya. Itulah balasan jasa yang harus kamu berikan," jawab Adnan. Aruna jelas kaget saat mengetahui itu.
"Bukan denganku, Aruna. Bukan denganku. Tapi kamu harus menikah dengan kakakku," ucap Adnan langsung menjelaskan agar Aruna tidak salah paham.
"Tapi kenapa imbalannya harus seperti ini? Maksudku, ini benar-benar tidak masuk akal," ucap Aruna. Dia menyimpan surat tersebut setelah selesai membaca semuanya.
"Ini sudah disepakati semua orang yang terlibat, Aruna." Adnan menjawab dengan tegas.
"Aruna, dengarkan aku dulu ya? Biar aku cerita semuanya padamu agar kamu paham," ucap Delia. Akhirnya, Delia pun menceritakan semua alasan kenapa surat kontrak itu dibuat. Aruna mendengarkan dengan seksama, walau beberapa kali dibuat kaget dengan penjelasan Delia.
"Begitu. Jadi, kami menyepakati hal ini. Selain utangmu lunas nanti, kamu juga membantu orang tua Adnan yang menginginkan seorang cucu. Pokoknya, saling menguntungkan," ucap Delia.
"Kalian paham kan maksud harus melahirkan anak? Maksudku, kan gak mungkin aku tiba-tiba hamil," ucap Aruna.
"Ya, makanya kamu harus nikah dengan kakakku. Untuk proses pembuatan bayinya, itu bukan urusan kami berdua," jawab Adnan dengan tawa canggung.
"Apa tak bisa yang lain saja? Aku mau kok kerja jadi pembantu di rumah kamu dan tidak dibayar setahun juga." Aruna berusaha merayu.
"Orang tuaku butuh seorang cucu, Aruna. Bukan seorang pembantu," balas Adnan. Aruna langsung terdiam mendengar itu. Detik itu juga dia merasa tenggorokannya kering.
"Orang tuaku menyetujui ini semua dan ingin segera bertemu denganmu. Aku harap kamu setuju sih hehe. Soalnya, selain kamu terbebas dari utang, kamu juga membantu keluargaku, dan membantu kami juga." Adnan terus bicara, berusaha meracuni pikiran Aruna agar menerima tawaran yang dia berikan.
"Setelah menikah dengan kakakku nanti, kamu tak perlu pusing memikirkan utangmu. Kakakku akan melunasi semuanya. Kakakku juga bisa membayar SPP-mu agar kamu bisa wisuda. Kamu juga bisa terbebas dari ayah tirimu. Yang paling penting adalah, kamu tak perlu memikirkan biaya hidup karena kakakku akan mencukupi semua kebutuhanmu," ujar Adnan. Aruna terdiam mendengar itu. Kini dia jadi dilema.
Haruskah dia setuju dengan tawaran Adnan? Tapi Aruna belum siap untuk menikah. Tapi, sekarang dia juga sudah sangat terdesak dan tak ada yang bisa memberikan bantuan padanya. Kecuali Adnan dengan imbalan yang agak nyeleneh menurut Aruna.
Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang? Menerima tawaran Adnan atau menolaknya?
Aruna berdiri di depan pintu rumah dengan pikiran kosong. Rumah tersebut adalah rumah peninggalan orang tuanya. Aruna berhak atas rumah tersebut karena dia adalah anak tunggal. Sayang, dia tak bisa menyingkirkan seseorang yang menguasai rumah tersebut. Siapa lagi kalau bukan ayah tirinya.Ibunya meninggal beberapa bulan yang lalu dan meninggalkan utang yang sangat banyak. Ayah tirinya bilang kalau ibunya berutang kesana-kemari untuk biaya kuliahnya yang tidak murah. Dan Aruna tahu itu tidak benar. Ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan tabungan pendidikan untuk Aruna. Memang dasarnya ayah tiri Aruna menikahi ibu Aruna hanya untuk numpang hidup. Aruna bahkan tak mengerti kenapa ibunya rela berutang banyak demi suami barunya yang tak berguna sama sekali.Sampai sekarang, ayah tiri Aruna masih tinggal di rumah peninggalan orang tua Aruna. Pria itu merasa berhak atas rumah itu dengan embel-embel pernah menjadi suami ibunya Aruna. Padahal jelas dia hanya orang asing yang tak berhak atas
Jam menunjukkan pukul delapan malam dan Aruna kini berada di ruang tamu rumahnya. Tidak sendirian, karena di sana dia bersama dengan Adnan dan kakak Adnan yang belum Aruna ketahui siapa namanya. Mereka juga tidak hanya bertiga, karena di depan mereka ada seseorang dengan dua pengawalnya yang tak lain dan tak bukan adalah rentenir yang meminjamkan uang pada ibu Aruna. "Kalau bayarnya dengan rumah ini bagaimana?" Aruna bertanya dengan suara pelan. Pria baya dengan perawakan sangar itu menatap sekeliling, pada rumah yang menjadi satu-satunya harta peninggalan orang tua Aruna. "Berikan catatannya pada mereka." Pria rentenir itu berucap. Lalu salah satu dari pengawalnya menyerahkan sebuah kertas yang berisi catatan hutang ibu Aruna. Aruna menerimanya dengan jantung berdebar, dan dia hampir saja berteriak saking kagetnya melihat nominal hutang yang tertera di atas kertas tersebut. "I-ini sungguhan segini?" Aruna bertanya, merasa tak percaya. Posisi Aruna sekarang duduk diapit oleh Arkan
Beberapa menit di perjalanan, akhirnya Arkan dan Adnan pun sampai di rumah. Adnan tersenyum lebar, karena yakin sekali rencana dia akan berhasil. Arkan sudah melunasi utang yang ditanggung Aruna, jadi sudah jelas Arkan menerima rencana Adnan untuk menikah dengan Aruna. "Dia memiliki teman?" Arkan bertanya pada Adnan saat mereka sudah masuk ke dalam rumah. "Punya, empat orang. Tapi Aruna sudah tak berteman lagi dengan mereka. Mereka juga yang menyebarkan masalah pribadi Aruna kepada mahasiswa di kampus," jawab Adnan. "Bagus." Arkan berkomentar. Nasib Arkan dan Adnan sekarang memang sama. Mereka sama-sama tak memiliki teman. Adnan dan Delia tak memiliki teman karena prinsip mereka yang dianggap aneh. Sedangkan Arkan kehilangan teman-temannya sejak dua tahun yang lalu. Sejak dia memergoki sahabat baiknya berselingkuh dengan tunangannya, dan semua temannya menyembunyikan perselingkuhan mereka. Sejak saat itulah Arkan tak memiliki teman. Dan Arkan juga memiliki prinsip agar suatu hari n
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan Aruna kini sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah dan gugup. Malam ini Adnan bilang Arkan akan menjemputnya dan mengajaknya bertemu dengan orang tua pria tersebut.Aruna masih merasa tak percaya, namun dua jam yang lalu dia mendapatkan sebuah pesan dari nomor tak di kenal. Dan dari isi pesannya, Aruna yakin kalau itu adalah nomor Arkan, kakaknya Adnan.Bersiaplah. Jam tujuh malam aku jemput.Begitulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas. Arkan seolah tahu kalau Aruna akan paham kalau dia yang mengirim pesan walau Arkan tak memperkenalkan diri lebih dulu.Masih setengah jam menuju jam yang disebutkan Arkan, namun Aruna sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Dia grogi dan gugup hingga bersiap-siap lebih awal. Takutnya Arkan datang lebih awal dari jam yang disebutkan saat dirinya belum siap.Aruna malam ini memakai sebuah dress sepanjang lutut berwarna abu-abu. Dress tersebut terlihat sopan dan cocok untuk dipakai
Acara makan malam yang Aruna lewati bersama Arkan dan orang tua Arkan berjalan dengan lancar tanpa masalah. Aruna bangga sekali bisa menguasai keadaan dan tidak melakukan kesalahan yang memalukan. Di tambah lagi dengan ibu Arkan yang ramah hingga suasana tidak terlalu canggung dan mencekam.Setelah selesai makan malam, Aruna di ajak ke ruang keluarga untuk mengobrol. Aruna yakin sekali sih yang akan di bahas adalah perjanjian yang pernah Adnan jelaskan padanya. Aruna hanya heran saja karena ternyata orang tua Arkan setuju tentang pernikahan kontrak yang akan dia dan Arkan lakukan. Demi seorang cucu sih kalau kata Adnan."Kamu teman kuliah Adnan?" Tio bertanya pada Aruna yang duduk di hadapannya. Matanya sesekali menatap ke arah sang anak yang terlihat acuh tak acuh."Iya, Pak. Kami satu kelas dalam beberapa mata kuliah," jawab Aruna dengan sopan."Wisuda nanti kamu lulus S1?" Tio bertanya lagi dengan kening berkerut."Iya. Saya lulus S1 nanti.""Baguslah. Pendidikan itu penting bukan
Urusan Aruna di kampus sudah selesai, tinggal menunggu hari wisuda saja. Teman-temannya yang lain mulai sibuk cari lowongan pekerjaan dan membuat lamaran pekerjaan. Sedangkan Aruna, malah sibuk di bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesuburan. Tentu saja dia tidak ke sana sendirian. Bahkan Aruna sengaja di jemput ke kampus oleh Arkan. Dan sepertinya Adnan maupun Delia belum tahu tentang hal ini.Setelah serangkaian pemeriksaan, kini Aruna duduk berdampingan dengan Arkan di sebuah ruangan dokter yang memeriksa mereka. Mereka akan mendengarkan hasil, dan Aruna tak bisa menghentikan degup jantung yang menggila. Bagaimana kalau ada sesuatu yang tak terduga?"Hasilnya bagus, tak ada masalah apapun. Kesuburan kalian tak ada yang bermasalah." Dokter berkata seraya menyerahkan kertas hasil pemeriksaan."Kalian ingin melakukan program hamil?" Dokter tersebut bertanya. Aruna hanya diam, membiarkan Arkan saja yang menjawab."Kami belum menikah." Arkan menjawab dengan singkat. Terasa kurang nya
Aruna sampai di rumahnya pada pukul empat sore. Dia merasa lelah, walau sebenarnya dia tak beraktivitas berat.Hari ini dia pergi ke kampus sebentar, lalu dijemput oleh Arkan untuk pemeriksaan ke rumah sakit. Setelah selesai urusan di rumah sakit, Aruna dibawa oleh Arkan ke butik untuk memilih kebaya wisuda juga kebaya untuk akad nikah. Tak tanggung-tanggung, Arkan sekalian menyuruh Aruna memilih gaun pengantin juga.Selesai di butik, Arkan membawa Aruna untuk membeli sepatu. Arkan menyuruh Aruna memilih dua sepatu untuk hari wisuda dan pernikahan juga. Beruntungnya, Aruna dibebaskan memilih oleh Arkan, dan setiap yang Aruna pilih tidak di protes oleh Arkan.Selesai memilih sepatu, Arkan lalu membawanya ke toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan. Bonus, Arkan membelikan sebuah kalung juga untuk Aruna.Saat sampai di rumah, Aruna merenung seraya menatap barang-barang pemberian Arkan. Kebaya untuk wisuda, high heels, juga sebuah kalung yang harganya mahal. Tidak, bukan hanya kalu
Jam menunjukkan pukul delapan malam dan sekarang Aruna sedang berada di rumah Arkan. Dia berada di sana karena dijemput secara mendadak oleh Arkan. Katanya sih, untuk membahas tentang pernikahan mereka. Dan ternyata, di sana juga ada Delia beserta orang tuanya.Orang tua Delia sudah setuju dengan rencana pernikahan Arkan dan Adnan yang akan diselenggarakan secara bersamaan. Mereka awalnya merasa keberatan, namun Delia memaksa mereka untuk setuju. Lagi pula pernikahan mereka akan dilakukan secara privat, tak akan mengundang banyak orang. Aruna yang hadir di sana seorang diri hanya bisa diam saja. Ada rasa iri dalam hatinya saat melihat Delia di sana ditemani dengan kedua orang tua. Sementara dia tak ditemani siapa-siapa."Jadi kamu calon istri Arkan?" Seorang wanita yang usianya tak jauh dengan Hana bertanya pada Aruna yang sejak tadi diam saja. Dia adalah ibunya Delia."Iya, Tante." Aruna menjawab disertai dengan senyuman sopan."Kamu seumuran dengan Delia dan Adnan?" Ibu Delia berta