Seorang gadis dengan penampilan yang sederhana berjalan di lorong kampus. Matanya menatap sekeliling, terlihat sedang mencari seseorang. Selama berjalan di koridor, gadis tersebut merasakan tatapan banyak mata yang terarah padanya. Gadis tersebut bisa menebak, pasti orang-orang menatap ke arahnya seperti itu karena berita yang sudah menyebar tentang dirinya.
Dia adalah Aruna Kinanti, seorang mahasiswi yang sudah menyelesaikan sidang skripsi dan tak lama lagi akan wisuda. Namun untuk mengikuti wisuda, ada beberapa syarat yang salah satunya harus melunasi SPP semester terakhir yang memang belum Aruna bayar karena dia tak ada uang.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Aruna menemukan orang yang dia cari. Empat orang gadis seumuran dirinya terlihat sedang berkumpul di depan kelas. Mereka sedang asyik bicara hingga tak menyadari Aruna yang mendekat ke arah mereka. Dan mereka kaget saat Aruna sudah berdiri di hadapan mereka.
"Aku sudah dengar beritanya. Dan aku tak menyangka kalau masalah ini sampai menyebar ke seluruh kampus," ucap Aruna. Matanya menatap keempat gadis itu dengan tatapan penuh rasa kecewa.
"Run, kita bukan bermaksud membeberkan masalah kamu. Kita hanya-"
"Cukup Adara." Aruna memotong perkataan salah satu dari empat gadis tersebut yang berbicara barusan.
"Semua ini memang salah aku kok. Salah aku menganggap kalian sebagai teman spesial, nyatanya kalian tak menganggap aku sebagai teman. Salah aku meminta bantuan pada kalian, dan ternyata kalian malah menyebarkan masalahku pada anak-anak di kampus. Harusnya aku sejak dulu menjauh dari kalian," ucap Aruna dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Aku tahu diri kok saat kalian berkata tak bisa membantuku. Namun aku tak menyangka kalian akan membeberkan masalahku pada semua orang hingga sekarang hampir semua orang yang berpapasan denganku, menatapku dengan tatapan sinis dan merendahkan," lanjut Aruna. Dia menatap keempat temannya tersebut dengan tatapan sangat kecewa.
"Terima kasih atas pertemanan kita selama ini. Aku sadar, seharusnya aku sejak lama keluar dari circle pertemanan kalian, terutama setelah ayahku meninggal karena keadaan ekonomi yang berubah. Terima kasih banyak sudah mau menjadi temanku selama beberapa tahun ini. Dan terima kasih juga sudah membuatku kecewa sedalam ini." Aruna menatap empat gadis di depannya satu persatu. Keempat gadis tersebut hanya bisa diam dengan kepala menunduk dan tak bicara apa-apa. Setelah mengatakan itu, Aruna pun pergi dari hadapan mereka dengan air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya.
Banyak orang yang menyaksikan kejadian tersebut namun tak ada yang berani berkomentar. Dan salah satu dari orang yang menyaksikan kejadian tersebut adalah seorang gadis bernama Delia, yang merupakan kekasih Adnan.
***
Adnan Gevano Mahardika, seorang mahasiswa yang sudah menyelesaikan tahap sidang skripsi dan akan segera wisuda. Delia Hestiana, adalah pacar Adnan sejak masih SMA dan masih bertahan sampai sekarang. Dia dan Delia satu angkatan, dan mereka akan wisuda bareng nanti.
Hari ini mereka berdua nongkrong di sebuah cafe langganan mereka. Mereka hanya berdua, sama-sama tak memiliki teman. Dan mereka tak pernah kesepian walau tak ada teman.
"Jadi kamu sudah mencari tahu akar masalahnya apa?" Adnan bertanya pada Delia yang sekarang duduk di sampingnya. Di depan mereka, terdapat makanan dan minuman yang mereka pesan. Menemani obrolan mereka yang cukup penting.
"Sudah. Yang utama sih, masalah ekonomi," jawab Delia. Dia menyimpan ponselnya di atas meja lalu menatap kekasihnya tersebut.
"Jadi dia belum membayar SPP terakhir, dan dia harus melunasinya untuk bisa ikut wisuda. Karena gak ada uang, dia coba meminta bantuan pada teman-temannya, berharap temannya bisa meminjamkan dia uang. Tapi ternyata, temannya malah membeberkan masalah dia ke orang-orang tentang keadaan ekonominya yang sangat susah. Kudengar juga, dia sekarang terlilit utang. Bukan utang dia, tapi utang peninggalan mendiang ibunya." Delia menceritakan masalah tentang Aruna yang sekarang cukup diketahui para mahasiswa di kampus. Sebenarnya Aruna bukan orang spesial di kampus dan hanya mahasiswa biasa saja. Hanya saja Aruna salah memilih teman.
"Utang mendiang ibunya?" Adnan bertanya dengan bingung.
"Iya. Aku dengar seperti itu. Aku belum tahu detail masalah Aruna sebenarnya. Aku hanya mencari tahu berdasarkan berita yang menyebar di kampus saja," jawab Delia.
"Salahnya di mana sampai orang-orang membicarakan masalahnya?" Adnan bertanya dengan bingung. Dia bingung kenapa orang-orang membicarakan Aruna, padahal masalah Aruna tak merugikan orang lain.
"Kan hasutan teman-temannya. Teman-temannya yang empat orang itu bilang pada orang-orang kalau Aruna sekarang hidup susah dan akan mendatangi setiap orang untuk berhutang. Kamu tahu sendiri kalau masalah uang itu sensitif," jawab Delia. Adnan berdecak pelan mendengar itu. Memang sudah benar dia dan Delia apa-apa berdua selama ini. Sulit memang mencari teman yang benar-benar tulus.
"Seperti rencanamu, mungkin kita bisa memanfaatkan keadaan Aruna. Maksudku, dia kan butuh uang untuk bayar SPP agar bisa wisuda, dia juga butuh uang untuk membayar utang mendiang ibunya. Nah, coba bicarakan dengan Kak Arkan. Kak Arkan kan bisa membantu Aruna kalau masalah uang. Dan mungkin Aruna juga bisa membantu Kak Arkan agar terbebas dari tekanan orang tuamu. Dan pada akhirnya, kita juga tak akan ditekan untuk memiliki anak lagi nanti setelah menikah," ujar Delia.
"Kalau rencana ini berhasil, semua yang terlibat mendapatkan keuntungan." Delia berucap. Adnan terdiam mendengar itu. Dia lalu mengingat saran yang dia utarakan pada kakaknya tentang pernikahan kontrak agar kakaknya bisa segera memberikan cucu untuk orang tua mereka.
"Aku akan bicarakan ini pada Kak Arkan. Tapi kita harus mencari latar belakang keluarga Aruna juga. Maksudku, Kak Arkan pasti gak mau menikah dengan seseorang yang tak jelas asal-usulnya, walau hanya nikah kontrak saja." Adnan berucap.
"Agak susah sih kayaknya. Satu-satunya cara hanya bicara jujur saja pada Aruna tentang rencana kita. Mungkin dia bisa setuju karena posisinya yang terdesak sekarang," ucap Delia. Adnan menghela nafas pelan mendengar itu.
"Apa kita jadi orang jahat karena memanfaatkan kesulitan orang?" Adnan bertanya.
"Bisa saja. Tapi kita berusaha membantu Aruna juga." Delia membalas dengan lugas. Adnan terdiam mendengar itu. Dia berharap sekali rencananya ini diterima oleh sang kakak. Ya, semoga saja dia tidak dilempar apapun saat mengatakan rencana ini lagi pada kakaknya jomblo ngenes.
Sesuai rencana, malam ini Adnan memaksa sang kakak untuk bicara dengannya. Arkan sudah jengkel dengan kelakuan adiknya tersebut, namun tetap membiarkan Adnan masuk ke kamarnya juga. "Ada apa lagi?" Arkan bertanya dengan sebal pada Adnan yang mengganggunya. Padahal Arkan berniat akan tidur. "Bagaimana saranku kemarin?" tanya Adnan tak sabar. "Saran yang gila, Adnan." Arkan menjawab dengan tatapan tajam. "Pikirkan dengan baik, Kak. Maksudku, aku yakin Papa dan Mama akan setuju, asal mereka punya cucu saja." Adnan bicara lagi, yakin sekali dengan perkiraannya. "Walau aku melakukan saranmu tersebut, aku tetap tak mau menikah dengan sembarang wanita, Adnan." "Aku memiliki seseorang yang mungkin cocok untukmu, Kak." Adnan berkata dengan cepat. Dia menyimpan sebuah map di depan Arkan dan menyuruh Arkan melihat isinya. Arkan yang penasaran pun mengambil map tersebut dan melihat isinya. "Siapa perempuan ini?" Arkan bertanya dengan beran. "Dia adalah teman kuliahku dan Delia. Kami tak
Berita tentang Aruna menyebar di kampus, walau banyak yang tak tahu yang sebenarnya terjadi, tetap banyak yang membicarakannya. Setelah menegur teman-temannya, Aruna berharap teman-temannya tersebut memberikan penjelasan pada orang-orang kalau Aruna bukanlah orang yang suka berhutang. Namun ternyata dia memang salah pilih teman. Tanpa meminta maaf, mereka malah menambah fitnah dengan menyebarkan berita tentang Aruna yang tak tahu diri setelah dipinjami uang. Padahal, di antara mereka berempat, tak ada satu pun yang meminjamkan uang pada Aruna. Sekarang, Aruna kembali berhadapan dengan keempat temannya tersebut. Aruna meminta penjelasan kenapa mereka bisa setega itu padanya. "Aku salah apa sama kalian? Kenapa kalian malah memfitnahku seperti ini?" Aruna bertanya dengan mata menatap empat gadis tersebut satu persatu. Empat gadis itu bernama Adara, Tanti, Fania dan Bella. "Fakta kan? Pasti kamu akan mencari orang yang bisa kamu hutangi dan jelas kamu gak akan bayar utangnya. Lah, ibum
Aruna berdiri di depan pintu rumah dengan pikiran kosong. Rumah tersebut adalah rumah peninggalan orang tuanya. Aruna berhak atas rumah tersebut karena dia adalah anak tunggal. Sayang, dia tak bisa menyingkirkan seseorang yang menguasai rumah tersebut. Siapa lagi kalau bukan ayah tirinya.Ibunya meninggal beberapa bulan yang lalu dan meninggalkan utang yang sangat banyak. Ayah tirinya bilang kalau ibunya berutang kesana-kemari untuk biaya kuliahnya yang tidak murah. Dan Aruna tahu itu tidak benar. Ayahnya meninggal dunia dan meninggalkan tabungan pendidikan untuk Aruna. Memang dasarnya ayah tiri Aruna menikahi ibu Aruna hanya untuk numpang hidup. Aruna bahkan tak mengerti kenapa ibunya rela berutang banyak demi suami barunya yang tak berguna sama sekali.Sampai sekarang, ayah tiri Aruna masih tinggal di rumah peninggalan orang tua Aruna. Pria itu merasa berhak atas rumah itu dengan embel-embel pernah menjadi suami ibunya Aruna. Padahal jelas dia hanya orang asing yang tak berhak atas
Jam menunjukkan pukul delapan malam dan Aruna kini berada di ruang tamu rumahnya. Tidak sendirian, karena di sana dia bersama dengan Adnan dan kakak Adnan yang belum Aruna ketahui siapa namanya. Mereka juga tidak hanya bertiga, karena di depan mereka ada seseorang dengan dua pengawalnya yang tak lain dan tak bukan adalah rentenir yang meminjamkan uang pada ibu Aruna. "Kalau bayarnya dengan rumah ini bagaimana?" Aruna bertanya dengan suara pelan. Pria baya dengan perawakan sangar itu menatap sekeliling, pada rumah yang menjadi satu-satunya harta peninggalan orang tua Aruna. "Berikan catatannya pada mereka." Pria rentenir itu berucap. Lalu salah satu dari pengawalnya menyerahkan sebuah kertas yang berisi catatan hutang ibu Aruna. Aruna menerimanya dengan jantung berdebar, dan dia hampir saja berteriak saking kagetnya melihat nominal hutang yang tertera di atas kertas tersebut. "I-ini sungguhan segini?" Aruna bertanya, merasa tak percaya. Posisi Aruna sekarang duduk diapit oleh Arkan
Beberapa menit di perjalanan, akhirnya Arkan dan Adnan pun sampai di rumah. Adnan tersenyum lebar, karena yakin sekali rencana dia akan berhasil. Arkan sudah melunasi utang yang ditanggung Aruna, jadi sudah jelas Arkan menerima rencana Adnan untuk menikah dengan Aruna. "Dia memiliki teman?" Arkan bertanya pada Adnan saat mereka sudah masuk ke dalam rumah. "Punya, empat orang. Tapi Aruna sudah tak berteman lagi dengan mereka. Mereka juga yang menyebarkan masalah pribadi Aruna kepada mahasiswa di kampus," jawab Adnan. "Bagus." Arkan berkomentar. Nasib Arkan dan Adnan sekarang memang sama. Mereka sama-sama tak memiliki teman. Adnan dan Delia tak memiliki teman karena prinsip mereka yang dianggap aneh. Sedangkan Arkan kehilangan teman-temannya sejak dua tahun yang lalu. Sejak dia memergoki sahabat baiknya berselingkuh dengan tunangannya, dan semua temannya menyembunyikan perselingkuhan mereka. Sejak saat itulah Arkan tak memiliki teman. Dan Arkan juga memiliki prinsip agar suatu hari n
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam dan Aruna kini sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah dan gugup. Malam ini Adnan bilang Arkan akan menjemputnya dan mengajaknya bertemu dengan orang tua pria tersebut.Aruna masih merasa tak percaya, namun dua jam yang lalu dia mendapatkan sebuah pesan dari nomor tak di kenal. Dan dari isi pesannya, Aruna yakin kalau itu adalah nomor Arkan, kakaknya Adnan.Bersiaplah. Jam tujuh malam aku jemput.Begitulah isi pesannya. Singkat, padat, dan jelas. Arkan seolah tahu kalau Aruna akan paham kalau dia yang mengirim pesan walau Arkan tak memperkenalkan diri lebih dulu.Masih setengah jam menuju jam yang disebutkan Arkan, namun Aruna sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Dia grogi dan gugup hingga bersiap-siap lebih awal. Takutnya Arkan datang lebih awal dari jam yang disebutkan saat dirinya belum siap.Aruna malam ini memakai sebuah dress sepanjang lutut berwarna abu-abu. Dress tersebut terlihat sopan dan cocok untuk dipakai
Acara makan malam yang Aruna lewati bersama Arkan dan orang tua Arkan berjalan dengan lancar tanpa masalah. Aruna bangga sekali bisa menguasai keadaan dan tidak melakukan kesalahan yang memalukan. Di tambah lagi dengan ibu Arkan yang ramah hingga suasana tidak terlalu canggung dan mencekam.Setelah selesai makan malam, Aruna di ajak ke ruang keluarga untuk mengobrol. Aruna yakin sekali sih yang akan di bahas adalah perjanjian yang pernah Adnan jelaskan padanya. Aruna hanya heran saja karena ternyata orang tua Arkan setuju tentang pernikahan kontrak yang akan dia dan Arkan lakukan. Demi seorang cucu sih kalau kata Adnan."Kamu teman kuliah Adnan?" Tio bertanya pada Aruna yang duduk di hadapannya. Matanya sesekali menatap ke arah sang anak yang terlihat acuh tak acuh."Iya, Pak. Kami satu kelas dalam beberapa mata kuliah," jawab Aruna dengan sopan."Wisuda nanti kamu lulus S1?" Tio bertanya lagi dengan kening berkerut."Iya. Saya lulus S1 nanti.""Baguslah. Pendidikan itu penting bukan
Urusan Aruna di kampus sudah selesai, tinggal menunggu hari wisuda saja. Teman-temannya yang lain mulai sibuk cari lowongan pekerjaan dan membuat lamaran pekerjaan. Sedangkan Aruna, malah sibuk di bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesuburan. Tentu saja dia tidak ke sana sendirian. Bahkan Aruna sengaja di jemput ke kampus oleh Arkan. Dan sepertinya Adnan maupun Delia belum tahu tentang hal ini.Setelah serangkaian pemeriksaan, kini Aruna duduk berdampingan dengan Arkan di sebuah ruangan dokter yang memeriksa mereka. Mereka akan mendengarkan hasil, dan Aruna tak bisa menghentikan degup jantung yang menggila. Bagaimana kalau ada sesuatu yang tak terduga?"Hasilnya bagus, tak ada masalah apapun. Kesuburan kalian tak ada yang bermasalah." Dokter berkata seraya menyerahkan kertas hasil pemeriksaan."Kalian ingin melakukan program hamil?" Dokter tersebut bertanya. Aruna hanya diam, membiarkan Arkan saja yang menjawab."Kami belum menikah." Arkan menjawab dengan singkat. Terasa kurang nya