Jatah Secangkir Beras Di Rumah

Jatah Secangkir Beras Di Rumah

By:  Bulan sapasi  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
14Chapters
1.2Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Walaupun beras di rumah tinggal secangkir, suami Ratna masih saja gengsi. Demi harga diri suaminya di depan keluarga mertua, Ratna pun rela jadi tulang punggung keluarga mereka. Anehnya, semakin hari, suaminya semakin aneh dan terkesan menutupi sesuatu. Oleh sebab itu, Ratna pun mengikuti permainan sang suami dan diam-diam menyembunyikan harta kekayaannya demi memberinya pelajaran.

View More
Jatah Secangkir Beras Di Rumah Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
14 Chapters
Perseteruan
"Mas, beras sudah habis. Tinggal satu cangkir. Itu pun nggak penuh." Aku mengangsurkan cangkir berisi beras ke hadapannya, suami yang menikahiku sepuluh tahun silam. Mas Ilham berdiri dan meletakkan ponselnya. Menatapku tajam dan nyalang. Seakan hendak menerkam diri ini. "Beras, sabun, token, sampai garam semua kau keluhkan padaku, Ratna! Apa tidak bisa kau itu pikir sendiri!" Sahutnya bengis. Lalu meraih ponselnya dengan kasar, kemudian melangkah keluar rumah setelah membanting pintu. Aku mengerjap, kemudian menatap bayangan tubuh suamiku dari kaca jendela. Kuremas ujung daster lusuh ku. Sakit rasanya, setiap kali aku meminta kebutuhan rumah tangga yang sejatinya adalah kewajiban mas Ilham, setiap kali pula aku harus menelan ratusan kata makian. Padahal, mas Ilham dulu adalah lelaki yang santun, lagi penyayang dan lembut. * "Rat, mau numis daun pepaya lagi?" Suara Bu Nina menghentikan kegiatan tanganku yang baru saja hendak memetik pucuk daun pepaya. Aku menoleh lalu terseny
Read more
Rencana kedatangan ibu mertua
"Mama kok bengong? Papa marahin mama lagi, ya?" Azizah, gadis manis hasil dari pernikahanku dengan mas Ilham, tiba-tiba memeluk leherku dari belakang. "Nggak kok, sayang. Mama cuma sedikit ngantuk." Jawabku sambil mengusap pipinya yang sedikit chubby. Azizah memang baru berusia sembilan tahun. Namun terkadang masih manja dan sering gelendotan. "Ya udah mama tidur. Zizah mau ngerjain PR di ruang tamu. Jadi, kalo papa pulang nggak usah teriak-teriak manggil mama." Ucapan putriku sungguh membuat nyeri dada ini. "Nggak ah. Mama mau tidur di sofa aja. Sambil nemenin Zizah ngerjain tugas sekolah. Yuk." Ajakku seraya berdiri. Azizah mengangguk, dan kami melangkah menuju ruang tamu yang cukup besar dengan sofa terbaik. Bapak mertuaku dulu memang memberi rumah ini berikut isinya. Lengkap, semuanya ada. Dari tempat tidur, kulkas, bahkan mesin cuci dan televisi besar pun kami miliki. Namun sayang, sudah hampir satu tahun kami terpaksa harus hidup sederhana. Tepatnya ketika mas Ilham dipecat
Read more
Ibu mertua datang
Seperti biasa, aku sudah sibuk dengan pekerjaan rumah begitu selesai sholat subuh. Mencuci pakaian menjadi hal pertama yang kukerjakan. Setelah semua selesai, segera kubersihkan kamar tamu. Mengganti seprai dan membuka jendela untuk beberapa jam ke depan sebelum ibu mertuaku datang. Agar udara segar masuk dan membawa pergi debu-debu di dalam kamar. Tak lupa ku bersihkan kamar mandi, mengecek kran air dan lampu. Semua harus sempurna agar mas Ilham tidak rewel. Jam menunjukkan pukul enam pagi ini. Segera ku siapkan bekal untuk Azizah, dan sarapan nasi goreng untuk mereka berdua. Aku nanti saja, setelah mereka kenyang.Terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Aku mendongak dengan kening mengkerut melihat penampilan mas Ilham. "Mas, mau kemana?" Tanyaku keheranan. "Banyak tanya! Mana kopiku?" Bukannya menjawab, ia malah menanyakan kopi."Nggak ada, habis." Jawabku. Lalu kembali ke dapur untuk mengambil piring."Gimana bisa habis? Duit yang kemarin aku kasih, masa cuma buat beli ko
Read more
Patungan dana
Mas Ilham sudah pergi. Entahlah dia pergi kemana. Tak sabar menunggu dia pulang nanti dan akan kutanyakan dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli tas.Seperti biasa aku masih menjadi pendengar setia bagi ibu, yang tak henti bercerita tentang kedua menantunya yang lain. Yang setiap bulan pergi jalan dan selalu pulang membawa oleh-oleh untuknya. Ya, secara tak langsung Bu Fatimah seolah menyindirku. Aku hanya tersenyum menanggapi setiap ceritanya.Sebetulnya bisa saja kuceritakan semuanya pada ibu mertuaku itu. Tentang kebohongan mas Ilham, tentang betapa susahnya hidup kami saat ini. Namun aku masih menjaga ucapan agar tidak membuka aib anaknya, harga dirinya dan akibat apa yang akan kuterima kelak bersama Azizah. Sabarku masih banyak untuk menghadapi suamiku, selama ia tidak terendus memiliki wanita idaman lain. Namun jika itu sampai terjadi, demi apapun aku tidak segan menuntutnya cerai. Semoga saja tidak pernah terjadi. Lagi pula, wanita mana yang mau diselingkuhi oleh pria
Read more
Rahasia Bu Nina
Ibu sedang di kamarnya bersama Azizah saat mas Ilham pulang. Segera ku ikuti langkahnya memasuki kamar kami. "Mas, aku mau bicara sama kamu." Ujarku. Mas Ilham melepas blazer yang dikenakannya kemudian melemparkan sembarang."Mas, kamu dapat uang dari mana buat beliin ibu tas?" Ulangku. Gemas melihat tanggapan suamiku yang cuma melirik padaku sekilas saja. "Kamu bisa berhenti mengoceh nggak sih? Suami baru pulang bukannya dikasih minum, dikasih sambutan hangat, ngoceh melulu!" Hardiknya. Tapi kali ini aku tak diam. Aku terus membuntutinya hingga ia hendak masuk kamar mandi. "Mas, kamu cuma perlu jawab dari mana uang buat beliin ibu tas?! Aku tahu selera ibu. Kalau barang jelek dan KW, ibumu tidak akan sesuka itu!" "Kenapa, kamu cemburu?" Tanyanya. Aku menggeleng tak percaya. Apakah selama ini, aku protes ketika ia berbaik hati pada ibu dan saudaranya?"Jawab!" Ulangku dengan mata melotot. "Kamu itu lebih bela-belain beliin tas buat ibumu, sedangkan aku dan anakmu setiap hari me
Read more
Uang bulanan dari bapak
"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. "Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. "Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. "Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. "Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. "Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." "Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. "Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. "Keesokan hariny
Read more
Amplop yang menipis
"Mas, mau sampai kapan begini terus?!" Kuseret segera selimut yang membungkus tubuhnya. Selama ini aku tak pernah seberani ini padanya. Namun kali ini kesabaranku sudah habis. "Rat, di luar hujan. Aku harus kemana lagi? Angkot juga nggak ada yang kosong!" Sahutnya setengah berteriak, sembari merebut kembali selimut dan menutupinya hingga kepala. "Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus dapat pekerjaan! Atau setidaknya kamu keluar, ikhtiar, mas! Bagaimana mau dapat kerjaan kalau setiap hari kerjanya rebahan terus." Hardikku. "Aaah bawel banget jadi istri! Selama ini juga aku yang kerja! Giliran suami nganggur baru beberapa bulan aja, udah berani kurang ajar!" Mas Ilham melempar selimut lalu bangkit. "Aku nggak akan kurang ajar kalau kamu paham tanggung jawab, mas! Kamu pikir uang pesangon itu besar?!" Balasku. Mas Ilham tak menjawab, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara guyuran air. Yang kumau mas Ilham itu keluar dari pagi. Entah dapat kerjaan
Read more
Kemunculan mbak Rini membawa misteri
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika terdengar suara pintu kamar dibuka dari luar. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah mas Ilham yang kusut. "Mas Ilham, mas ambil duitku dilemari?" Tanyaku dengan menatapnya tajam. Mas Ilham mendengus, lalu melepas kancing kemeja dan membukanya. Kemudian dilemparkan begitu saja ke atas tempat tidur. "Minggir, aku ngantuk!" Ia menyingkap selimut lalu tidur menyamping memunggungiku."Mas Ilham, jawab dulu!" Seruku kesal. Sambil kugoncangkan tubuhnya. "Astaga Ratna, apa gak ada hari esok buat bahas soal ini?!" Mas Ilham bangkit dan menatapku tajam. "Aku cuma butuh jawaban! Apa kamu yang ambil duit aku?" Ulangku. Mas Ilham mengacak rambutnya sendiri. "Iya! Kalau iya memangnya kenapa? Itu juga duit aku, bukan kamu!" Balasnya tak kalah sengit. Aku menahan napas."Baik. Jangan salahkan aku jika aku tak lagi nurut sama kamu, mas! Aku capek." Ucapku."Apa, kamu bilang capek? Cuma jadi buruh cuci, kamu bilang capek? Astaga, bisa ha
Read more
Acara haul
Pukul empat sore, mas Ilham pulang. Seperti biasa dia membawa mobil bagus. Waktu kutanya, alasannya pasti sama. Pinjam pada kawannya."Gak usah banyak tanya. Cepetan siap-siap, sana!" Perintahnya. "Mas, aku sama Zizah gak mau ikut." Putusku. Mas Ilham menatap nyalang. Tak ada lagi mata teduh yang dulu begitu mengayomi diri ini. "Apa-apaan sih kamu! Gak usah merajuk. Ini, aku kasih duit belanja bulanan." Mas Ilham mengeluarkan uang lembaran berwarna merah. "Mas punya duit dari mana? Bukannya cuma nyopir angkot ya kan? Atau jangan-jangan mas Ilham memang sudah dapat kerjaan baru?" Selidikku. Tak urung segera kuambil juga uang di tangannya, sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi. "Jangan ngarang! Buruan dandan yang cantikan dikit. Malu kalo sampe keluargaku lihat penampilan kamu yang dekil." Titahnya. Aku mengembuskan napas panjang. Kemudian berlalu pergi untuk memberitahu Zizah. "Lho, katanya kita gak ikut, ma?" Azizah mengangkat wajahnya dari buku pelajaran. "Papa bisa marah kal
Read more
Fitnah keji
Acara haulan telah selesai dilaksanakan. Sisa masakan masih teramat banyak, aku tersenyum miris. Tadi ibu sampai tega membuat nafsu makan cucunya lenyap begitu saja, padahal masakan masih tersisa banyak sekali. Mbak Meta muncul dari ruang lainnya, menemui kami. Firasatku mengatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu."Rat, nanti jangan dulu pulang ya. Beresin dulu semuanya baru kalian pulang." Titah mbak Meta. Semua mata menoleh padaku. Aku tersenyum. Benar dugaanku. Kuletakkan piring yang masih berisi banyak nasi beserta lauknya. Baru saja aku akan makan. Hilang sudah rasa lapar ini seketika."Maaf mbak, aku ada urusan dan harus segera pulang." Sahutku. Lalu ku anggukan kepala pada Zizah. Zizah mengangguk, gadis kecilku menghampiri dan meraih tanganku lalu menggenggamnya."E eh enak aja! Terus yang harus beresin semua ini siapa? Aku?!" Serunya dengan mata melotot. Aku berdiri, kugenggam erat tangan Zizah."Bukan urusanku." Jawabku singkat. Kubalas tatapannya bahkan jauh lebih
Read more
DMCA.com Protection Status