Share

Patungan dana

Mas Ilham sudah pergi. Entahlah dia pergi kemana. Tak sabar menunggu dia pulang nanti dan akan kutanyakan dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli tas.

Seperti biasa aku masih menjadi pendengar setia bagi ibu, yang tak henti bercerita tentang kedua menantunya yang lain. Yang setiap bulan pergi jalan dan selalu pulang membawa oleh-oleh untuknya. 

Ya, secara tak langsung Bu Fatimah seolah menyindirku. Aku hanya tersenyum menanggapi setiap ceritanya.

Sebetulnya bisa saja kuceritakan semuanya pada ibu mertuaku itu. Tentang kebohongan mas Ilham, tentang betapa susahnya hidup kami saat ini. Namun aku masih menjaga ucapan agar tidak membuka aib anaknya, harga dirinya dan akibat apa yang akan kuterima kelak bersama Azizah. 

Sabarku masih banyak untuk menghadapi suamiku, selama ia tidak terendus memiliki wanita idaman lain. Namun jika itu sampai terjadi, demi apapun aku tidak segan menuntutnya cerai. Semoga saja tidak pernah terjadi. 

Lagi pula, wanita mana yang mau diselingkuhi oleh pria yang tak punya pekerjaan tetap seperti suamiku saat ini?

"Jadi, rencananya Sabtu depan haolan Bapak mertuamu dilaksanakan. Kalian mau nyumbang berapa?" Pertanyaan Bu Fatimah membuatku menelan ludah. 

"Mestinya kan kamu yang mengatur keuangan, Rat. Iya kan? Makanya ibu ngomongnya sama kamu. Bukan Ilham." Lanjutnya. 

"B Bu, nanti aku bicarain sama mas Ilham dulu, ya. Dan aku juga mau obrolin sama mbak Meta dan Uli." Sahutku. Ibu mendecih. Mungkin berpikir aku perhitungan. 

Mbak Meta adalah istri dari kakak iparku, sedangkan Uli adalah adik mas Ilham. Adik iparku. 

"Mereka sih udah nggak usah diobrolin lagi. Tinggal bilang butuh sekian, ya langsung dikumpulin. Nggak ribet." Jawabnya.

Aku mengembuskan napas pelan. Mengatur detak jantung yang mulai tidak karu karuan.

"Eh, sebentar Ratna tinggal dulu ya Bu. Mau siapin makan siang. Ibu mau istirahat di kamar? Sudah Ratna beresin kok kamarnya." Udahlah, aku alihkan saja obrolan ini. Bu Fatimah mengangguk seraya berdiri.

Ku bawakan tasnya tanpa diminta, lalu segera mengikutinya. Beliau sudah tahu dimana kamarnya, jadi aku hanya diam tak berani memulai percakapan lagi. 

**

"Ratna, ini AC kamar rusak juga?!" Seruan Bu Fatimah kembali terdengar. Kuhentikan langkah, bingung mau menjawab apa.

"I iya Bu! Nanti kuhubungi mas Ilham suruh segera manggil tukang!" Aku segera berlalu dari pintu kamarnya tanpa menunggu jawaban ibu mertuaku.

Lalu kuseret langkah mengambil ponsel di atas meja makan. 

[Mas, beli token listrik sekarang! Ibu marah-marah gara-gara AC nggak nyala.]

Pesan telah ku kirim pada mas Ilham. Tak berapa lama kemudian mas Ilham menelponku.

"Rat, ngutang dulu sana sama Bu Nina!" Ucapnya. Membuat darah ini kian naik ke atas kepala rasanya.

"Nggak bisa mas. Nggak mau! Ratna malu ngutang melulu. Hutang dari bulan kemaren aja belum dibayar." Tolakku dengan menekan suara sepelan mungkin. Meski aku yakin mas Ilham juga tahu jika aku marah.

"Mas kan duitnya banyak. Makanya bisa beliin ibu tas mahal. Cuman token doang susah banget. Padahal kan bukan buatku, tapi buat ibu tercintamu." 

Klik

Segera ku putus sambungan. Kuhela napas dalam-dalam dan kuembuskan perlahan. Agar jantungku tidak tersumbat keruwetan ini.

Segera aku berlalu ke dapur, mengambil rendang daging yang hanya beberapa potong dari dalam kulkas, untuk kemudian kuhangatkan. Serta memasak beberapa pelengkap lainnya. 

"Ratna! Rat!" Baru saja aku menyalakan kompor, terdengar ibu berteriak dari atas. Kembali kuembuskan napas sembari memejamkan mata. 

'Sabar Ratna. Sabar ...' bathinku.

"Iya Bu, ada apa?" Tanyaku setengah berlari menemuinya.

"Tadi ibu lihat ada kecoa keluar dari kamar mandi! Apa kamar ini jarang dibersihkan?!" Serunya. Ia segera mengikat rambutnya yang beruban. Bu Fatimah sepertinya mau mandi saat melihat penampakan si kecoa.

"Memang jarang dibersihkan karena nggak pernah ada yang pakai bu. Tapi kemarin sebelum ibu datang, Ratna sudah bersihkan semuanya. Bahkan sudah disemprot obat anti serangga." Aku membela diri.

"Ish ish pantas saja! Lain kali meskipun nggak ada yang nempati, mbok ya tetap dibersihkan dong, Rat! Hampir ibu jatuh tadi, gara-gara lihat kecoa!" 

"Sekarang kecoanya dimana?" Aku menjulurkan kepala. Menyisir sudut demi sudut kamar mandi dengan bola mataku. Namun nihil.

"Nggak ada." Lirihku.

"Tadi ada! Masa ibu bohong!" Sahutnya ketus. Aku kembali untuk kesekian kalinya menghela napas panjang. 

"Iya Bu, mungkin sudah kabur karena kaget denger suara ibu." Jawabku sambil lalu.

Bu Fatimah masih kudengar mengoceh namun tidak kupedulikan. Lebih baik melanjutkan masak dan menutup telinga ketimbang makan hati jika didengarkan terus menerus. 

*

"Assalamualaikum!" 

"Waalaikumsalam! Eeh anak mama udah pulang?" Azizah tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.

"Mama nggak denger sih! Dari tadi Zizah mengucap salam di luar." Sahutnya sembari merengut. Wajahnya berkeringat. 

Aku tersenyum dibuatnya, kemudian mengusap wajahnya.

"Maaf. Mama tadi lagi di atas. Nggak dengar suara Zizah. Gimana tadi di sekolah?" Tanyaku.

"Seperti biasa, ma. Tapi tadi Rimba berantem sama Dimas. Seru deh, sampe guling-gulingan." Aku mengernyit.

"Lho, berantem kok seru? Memang kenapa gara-garanya?"

"Habis si Dimas sih, gangguin kak Anyelir melulu. Padahal kak Anye baik, jago lho menggambarnya. Nanti aku mau digambarin juga, katanya!" Aku tersenyum-senyum mendengar cerita anakku. 

"Oh gitu. Eh, nenek sudah datang lho. Ada di kamar lagi istirahat. Zizah temuin sana. Nenek juga bawain puding buat Zizah. Jangan lupa bilang terimakasih." Pintaku. Azizah tersenyum riang, lalu mengangguk dan berlari guna menemui bu Fatimah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status