Share

Rahasia Bu Nina

Ibu sedang di kamarnya bersama Azizah saat mas Ilham pulang. Segera ku ikuti langkahnya memasuki kamar kami. 

"Mas, aku mau bicara sama kamu." Ujarku. 

Mas Ilham melepas blazer yang dikenakannya kemudian melemparkan sembarang.

"Mas, kamu dapat uang dari mana buat beliin ibu tas?" Ulangku. Gemas melihat tanggapan suamiku yang cuma melirik padaku sekilas saja. 

"Kamu bisa berhenti mengoceh nggak sih? Suami baru pulang bukannya dikasih minum, dikasih sambutan hangat, ngoceh melulu!" Hardiknya. 

Tapi kali ini aku tak diam. Aku terus membuntutinya hingga ia hendak masuk kamar mandi. 

"Mas, kamu cuma perlu jawab dari mana uang buat beliin ibu tas?! Aku tahu selera ibu. Kalau barang jelek dan KW, ibumu tidak akan sesuka itu!" 

"Kenapa, kamu cemburu?" Tanyanya. Aku menggeleng tak percaya. Apakah selama ini, aku protes ketika ia berbaik hati pada ibu dan saudaranya?

"Jawab!" Ulangku dengan mata melotot. 

"Kamu itu lebih bela-belain beliin tas buat ibumu, sedangkan aku dan anakmu setiap hari menderita!" Lanjutku dengan bibir bergetar. 

"Ya ampun Ratna, cuma gara-gara tas kamu harus bersikap kekanak-kanakan seperti ini? Ingat umur, udah tua jangan banyak drama! Untung aja nggak pernah kubelikan token listrik banyak-banyak. Bagus kan? Biar kamu nggak kebanyakan nonton sinetron! Jadi hidupmu penuh drama." Jawabnya panjang lebar. 

"Aku beliin tas buat ibu pake duit pinjaman. Ntar juga kubayar!" Lanjutnya dengan enteng. Lalu meraih handuk di rak samping pintu kamar mandi, dan masuk dengan tenang. 

Aku menggelengkan kepala lagi. Semoga mas Ilham nggak coba-coba meminjam pada pinjaman online. Karena jika pada teman-temannya, aku rasa tidak mungkin. Mereka kebanyakan sudah tahu bahwa suamiku pengangguran. Bukan lagi seorang manajer di perusahaan bonafit. 

"Maasya Allah mas, kamu belain pinjam cuma buat barang yang belum tentu dipakai sama ibu! Ibu itu punya banyak tas bagus. Ya Allah ya Robb ..." gumamku.

"Udah ah, sana keluar! Kalo kamu mau barang bagus, duit banyak, ya kerja yang bener. Dikantoran! Bukan jadi babu. Udah duitnya nggak seberapa, bikin malu laki aja!" Hardiknya kemudian masuk kamar mandi.

Darahku terasa bergejolak mendengar ucapan mas Ilham. Kerja kerasku setiap dua hari sekali dirumah Bu Nina, tidak dihargainya sama sekali. Padahal selama ini yang menambal kebutuhan keluarga, adalah upah yang kudapat dari hasil cuci setrika.

Aku melangkah gontai menuruni anak tangga. Baru kali ini aku menginginkan ibu lekas pulang saja. Mumet rasanya memikirkan esok hari. Masa iya aku harus ngutang lagi sama bu Nina?

*

"Rat, suami kamu pulang jam berapa?" Tanya ibu. Aku yang sedang menumis nangka muda, menoleh. 

"Jam empat biasanya, bu." 

"Coba kamu telpon Ilham, begitu pulang dari kantor suruh langsung pulang. Ibu minta diantar jalan-jalan sama Zizah. Sudah lama nggak makan soto Madura yang di dekat taman kota itu." Jelasnya. Aku segera menghentikan gerak tangan. 

"Malah diem! Sini, biar ibu yang lanjut masak." Pintanya, lalu merebut sutilan dari tanganku. 

Aku melangkah ragu, bagaimana ini?

*

"Bu, mas Ilham lembur hari ini. Ini, coba ibu bicara langsung saja sama orangnya." Kuserahkan ponselku pada ibu mertuaku.

"Hallo, ham!"

_______

"Lah masa gitu, ibu pulang lho besok. Ayolah, ibu pengen jalan-jalan sore ini. Gimana kalo ibu nggak ada umur?" 

Keningku mengkerut mendengar ucapan serta nada bicara ibu. Baru kali ini aku mendengar langsung bagaimana ibu bicara dengan mas Ilham lewat ponsel. 

Jadi seperti itu ternyata ...

Merajuk dan mengancam soal umur yang merupakan rahasia ilahi. Pantas saja suamiku selalu menuruti keinginan ibu.

"Nah, gitu dong! Itu baru namanya anak sholeh. Ya udah, ibu mandi dan siap-siap dulu, ya." 

"Nih," ibu menyerahkan ponsel padaku. 

"Terus, ibu jadi pergi sama mas Ilham?" Tanyaku. Ibu berdiri kemudian mengangguk.

"Ya jadilah. Ilham itu yang paling sayang sama ibu. Apapun keinginan ibu ya pasti diturutinya. Cuma jalan-jalan mah kecil." Sahutnya sembari menjentikkan jari. 

Aku tersenyum lalu meraih ponselku. Mau kuketik pesan, tapi biarlah nanti semua kubahas lagi di rumah. 

Bu, padahal yang aku khawatirkan, soal dari mana mas ilham punya uang buat ngajak ibu jalan-jalan. 

*

Aku masih bisa tersenyum saat ibu dan Zizah pamit pergi tadi. Mas Ilham bahkan sepertinya sengaja tak dekat-dekat denganku. Sepertinya ia sudah tahu bahwa aku bakalan tanya ini itu. Termasuk mobil yang ia gunakan.

"Papa kok mobilnya bagus! Punya siapa? Waaah pasti adem ya, pa. Nggak kayak naik angkot. Panas." Seru Azizah dengan polosnya. Dalam hati aku terkikik mendengar kepolosan putriku. 

Kamu boleh menyuruhku bersandiwara, mas. Tapi tidak dengan putrimu!

"Lho, kok mobil siapa?" Tanya Bu Fatimah. Wajah mas Ilham langsung pucat seketika. Aku hanya senyum-senyum saat mas Ilham menoleh padaku seolah meminta pembelaan. Segera kualihkan tatapan.

"Bukan mobil baru, Zizah. Ngarang aja! Ini Papa pinjam mobil teman. Mobil kita lagi service dulu." Jawab Ilham.

"Mobil ang ...

"Ayo jalan. Nanti keburu kemalaman." Mas Ilham segera memotong ucapan Zizah dan menyeret pelan tangannya. 

"Mama kenapa nggak diajak, pa?" Masih kudengar suara Azizah bertanya pada papanya.

"Mama nunggu di rumah. Takut ada maling masuk, bahaya!" Jawaban mas Ilham membuatku menghela napas. Sementara itu, ibu mertuaku cuma melambaikan tangan padaku. Sama sekali tak ada basa basi mengajakku pergi.

Seperginya mereka, aku segera masuk dan menutup jendela serta gorden. Aku harus ke rumah Bu Nina untuk menanyakan cucian apakah sudah banyak atau belum.

*

"Assalamualaikum, Bu!" Seruku. Bu Nina tak ada di warung. Hanya ada pelayannya yang sedang menimbang gula pasir.

"Waalaikumsalam. Ibu di rumah, mbak. Baru aja pulang. Mbak Ratna langsung ke rumah aja." Sahutnya. Aku mengangguk.

"Ya sudah. Aku ke rumahnya." Mbak Tinah mengangguk. Dan segera aku beranjak untuk menemui Bu Nina di rumahnya yang berada tepat di belakang warung sembako miliknya. 

"Assalamualaikum, Bu Nina!" 

"Waalaikumsalam! Ratna, masuk Rat, nggak dikunci kok!" Terdengar sahutan Bu Nina dari dalam sana. Aku segera membuka pintu.

Kudapati Bu Nina tengah mencatat sesuatu di buku kecil. Aku langsung tak enak hati. Jangan-jangan beliau sedang menghitung hutangku.

Bu Nina mengintai dari balik kacamata bacanya yang melorot. 

"Sini, duduk Rat." Pintanya sembari menepuk sofa di sampingnya. Lalu menutup buku kecil tersebut dan meletakkannya di meja. 

Aku menurut. Duduk di sampingnya dengan sungkan. 

"Ratna ganggu ya, Bu?" 

"Nggak kok. Ada apa, Rat?" 

"Ratna mau nanyain cucian Bu, sudah banyak atau belum?" Jawabku. Bu Nina tersenyum kemudian meletakkan kacamatanya. 

"Belum Rat. Cuma ada beberapa potong aja. Oh ya, kemarin Zizah cerita, ada neneknya dirumah?" Aku mengangguk. Lalu mengembuskan napas perlahan. 

"Ada apa? Kamu kelihatan bingung gitu." Selidiknya. Aku menatap wanita yang tak muda lagi itu beberapa detik. Lalu tersenyum dan menggeleng.

"Nggak ada apa-apa Bu. Oh ya, maaf ya Bu, Ratna belum bisa bayar bon. Mas Ilham masih belum ada kerjaan lagi." Keluhku. 

"Kamu nggak usah pikirin soal itu. Cuman, kemarin ibu lihat suamimu bawa mobil bagus. Agak bingung juga ibu lihatnya." 

"Itu dia. Makanya Ratna juga bingung Bu. Mas Ilham masih saja menutupi keadaan kami pada ibunya." Sahutku.

Lalu tanpa sadar, lagi-lagi aku bercerita pada Bu Nina. Orang satu-satunya yang kupercayai. Bersamanya, aku merasa memiliki sosok pengganti ibu yang telah lama pergi meninggalkanku. 

Bu Nina mengusap punggungku. Ia tersenyum menatapku seusai aku bercerita. 

"Ratna, mungkin sudah saatnya ibu menceritakan sesuatu padamu." Ucapan bu Nina membuat alisku mengernyit.

"Soal apa, bu?" Tanyaku penasaran. Bu Nina tersenyum.

"Tunggu sebentar." Beliau berdiri lalu pergi ke kamarnya. Disofa ini, aku duduk sambil bertanya-tanya. Ada apa gerangan?

Tak lama Bu Nina kembali, tangannya menggenggam sebuah buku berwarna merah kotak-kotak. Tebal. Hampir sama dengan buku bon di warungnya. 

"Sudah lama ibu menyimpan rahasia dari kamu, Rat. Karena ibu masih melihat sejauh mana perjuanganmu. Namun begitu mendengar ceritamu barusan, ah ... mungkin sudah saatnya ibu mengatakan hal ini." Ujarnya. Yang membuatku semakin bingung. 

Rahasia?

Rahasia apa yang Bu Nina simpan dariku?

Apakah soal mas Ilham? 

Apakah ada wanita lain?

Ya Allah ... ada apa ini?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status