Share

Uang bulanan dari bapak

"Rat, kamu tahu kenapa selama ini ibu nggak pernah nagih hutang warungmu sama ibu?" Tanya Bu Nina. Aku menggeleng. Kupikir memang Bu Nina mengerti dengan keadaanku. 

"Dengar, bapakmu setiap bulan menyuruh orang untuk menemui ibu, dan menitipkan uang sebesar sepuluh juta." Mataku sontak membelalak mendengar ucapan Bu Nina. 

"Ba bapak? Bapakku, pak Hidayat?" Tegasku. Masih tak percaya dengan pernyataan Bu Nina. 

"Iya. Memangnya kamu punya berapa bapak, Rat?" Ujarnya sambil terkekeh. Ini tidak lucu. Kenapa Bu Nina begitu santai. 

"Bu, gimana bisa bapak nitip uang sama ibu?" Tanyaku. Meminta penjelasan lebih rinci darinya. 

"Jadi begini, setahun yang lalu, ada pria ke warung. Waktu itu ibu sedang jaga. Biasalah, beli rokok. Malam-malam. Setelahnya dia bercerita, cari anak yang katanya tinggal di sekitar sini. Yaitu kamu." 

"Tapi Bu, mungkin aja bukan Ratna aku." Potongku. 

"Nama boleh banyak yang sama. Tapi wajah nggak. Bapakmu menunjukkan fotomu ketika itu." Sanggahnya. 

"Keesokan harinya, bapakmu datang lagi dan menitipkan kamu sama Azizah ke ibu. Lalu setelah itu, setiap bulan ajudan bapakmu datang untuk menyerahkan uang pada ibu. Untuk kalian. Tapi ... setelah ibu mendengar cerita soal kelakuan suamimu, ibu jadi khawatir jika Ilham tahu soal ini dan dia semakin keenakan menganggur...

"Ini, ibu tadi lagi mencatat uang titipan bapakmu. Hutang warung kamu ke ibu cuma tujuh ratus dua puluh ribu. Jadi total uang kamu yang ada di ibu ada seratus sebelas juta dua ratus delapan puluh ribu." 

Kerongkonganku rasanya tercekat mendengar penjelasan Bu Nina yang begitu rinci. Aku tidak percaya dengan pendengaranku. Disaat aku tidak memegang uang sepeserpun, ternyata aku memiliki uang yang sangat banyak!

"Kok bengong, Rat? Kamu belum percaya?" Tanyanya. Aku terdiam. Hanya sanggup menatap wajah Bu Nina.

"Bu, kenapa bapak nggak nemuin aku sekalian?" Tanyaku pelan. 

"Ratna, Ratna... bapakmu itu orangtua. Ada beberapa kemungkinan kenapa bapakmu tidak mau menemuimu. Mungkin saja bapakmu itu gengsi. Menunggu kamu yang duluan datang menemuinya." Jawaban Bu Nina ada benarnya juga. 

"Tapi Bu, aku tidak ingin bertemu ibu tiriku." 

"Ratna, kamu ini sudah dewasa. Ibu memang tidak kenal dengan ibu tirimu, tapi sedikit banyak semenjak bapakmu menitipkan uang pada ibu, ibu tahu bahwa bapakmu sangat menyayangimu ...

"Dengar, saatnya kamu bangkit, Rat. Jangan sia-siakan usiamu dengan merusak diri sendiri. Ibu nggak menyarankan kamu untuk minta cerai dari Ilham, tapi mungkin suamimu itu harus diberi pelajaran sekali-sekali." Ujarnya panjang lebar.

"Aku harus bagaimana, Bu?" Keluhku.

"Gunakan uangmu untuk menyenangkan diri sendiri dan juga Azizah. Belikan semua kebutuhan dia, makanan dia, susu dan lainnya namun tanpa sepengetahuan Ilham. Dengar, ibu bukan ngajarin kamu kurang ajar sama suami, tapi jangan sampai Ilham tahu soal uangmu yang banyak itu, agar dia tidak terus keenakan menganggur." Jelasnya. 

Aku diam termenung. Mungkin ucapan Bu Nina ada benarnya juga. Benar, mas Ilham memang harus kuberi pelajaran agar mikir.

"Baik Bu. Ucapan ibu benar. Azizah sedang dalam masa pertumbuhan. Selama ini anak itu sangat nurut, nggak pernah minta macam-macam karena tahu keadaan orang tuanya." Sahutku. Bu Nina tersenyum.

"Baiklah, besok ikut ibu ke bank untuk mengambil uangmu."

"Eh nggak usah bu!" Cegahku. Bu Nina mengernyit.

"Maksudku, biar aku simpan di Bu Nina saja. Aku hanya akan mengambil seperlunya. Nggak apa-apa 'kan Bu?" Bu Nina tersenyum dan mengangguk.

"Ibu juga tadi mau bilang begitu. Cuma ibu nggak enak, takutnya dikira mengatur keuanganmu, Rat. Ibu cuma khawatir Ilham tahu kalau kamu simpan uangmu di rumah."

"Eh atau nggak, kamu buka rekening sendiri aja, Rat. Jadi lebih leluasa kamu pakai untuk apa uangmu. Tanpa harus minta sama ibu." Lanjutnya. 

"Mm apa tidak apa-apa Bu?" Aku malah sungkan padanya. 

"Ya nggak lah. Jadi, nanti kalau mertua sudah pulang, ibu antar kamu ke bank." 

"Iya Bu. Sebelumnya terimakasih banyak ya Bu. Maaf jadi repotin ibu." Ujarku.

"Sudahlah, Ratna. Ibu seneng kok bisa bantu kalian. Maaf kalau ibu selama ini malah menerima tawaranmu cuci gosok dirumah ibu. Karena ibu masih bingung bagaimana menyampaikannya sama kamu." 

"Nggak apa Bu. Oh ya, Ratna harus pulang dulu, sudah malam. Takut mereka keburu pulang." Pamitku seraya berdiri. Kami berjalan berdampingan.

"Ya sudah." 

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam." 

Akupun segera melangkah meninggalkan rumah bu Nina, dengan berbagai perasaan bercampur aduk menjadi satu. 

Bapak, ternyata bapak masih menyayangi dan memperhatikanku meski dari jauh. Aku berjanji dalam hati, akan menemuinya nanti. 

Lalu sambil berjalan kupikirkan lagi, akan ku apakan uang dari bapak agar lebih bermanfaat. Usaha? Tapi usaha apa? Mas Ilham otomatis pasti tahu jika aku membuka usaha. 

*

"Dari mana kamu?!" Aku terlonjak kaget.

Bahkan tak sadar jika langkah kakiku sudah memasuki halaman rumah kami. Mas Ilham sudah berdiri di teras rumah. Sedangkan ibu dan Zizah duduk di kursi depan. Kunci rumah aku bawa.

"D dari rumah Bu Nina, mas. Habis nanyain cu ...

"Cepet buka pintunya! Tau nggak, udah setengah jam kita nunggu di luar." Bentak mas Ilham sebelum aku menyelesaikan ucapanku.

"B baik mas." Setengah berlari aku menghampiri pintu. 

Heran juga, kenapa dia nggak cari aku ke rumah Bu Nina?

Dia juga tahu kalau aku tak pernah kemana-mana selain ke warung Bu Nina.

"Suami nggak ada dirumah, nggak baik keluyuran lho, Rat." Ujar Bu Fatimah. 

"Bukan keluyuran Bu, Ratna cuma ke warung." Jawabku seraya mengeluarkan kunci dari saku daster. 

"Kalau dikasih tahu orangtua, tinggal jawab iya aja, apa susahnya sih, Rat!" Mas Ilham menimpali. 

Aku mengembuskan napas. Lalu kuraih tangan Azizah yang sepertinya sudah mengantuk. Segera kubawa dia ke kamarnya. Dan membiarkan suamiku bersama ibunya yang masih berbicara. Entah mungkin membicarakan ku. 

Aku memutuskan untuk tidur di kamar Zizah. Aku sedang malas berdebat dengan mas Ilham. Aku hanya sedang ingin memikirkan masa depanku bersama Azizah. Memikirkan pula usul Bu Nina, dan nasib rumah tanggaku ke depannya. 

Terus terang aku tidak sanggup jika mas Ilham terus saja menyembunyikan keadaan kami pada keluarganya. Pokoknya, setelah kepulangan ibu mertuaku, aku akan menuntut mas Ilham untuk segera mencari pekerjaan tetap lagi. 

*

"Ratna, ibu pulang hari ini. Dan ibu sudah minta suamimu mengantar ibu." aku yang baru saja selesai menjemur pakaian, menoleh padanya. 

"Oh iya Bu." jawabku singkat. Kemudian berlalu pergi untuk menaruh ember ke belakang. Bu Fatimah mengernyit, lalu ia mengikuti langkahku.

"Kamu kenapa, Rat? jangan bilang selama ibu disini bikin repot kamu!" terkanya. 

Aku ini lelah. Sejak subuh aku sudah mengerjakan berbagai kegiatan rumah tangga. Belum lagi mesti masak air untuk ibu mandi, menyiapkan sarapan roti bakar, susu coklat dan menyetrika pakaian yang akan ia kenakan pagi ini. Lipatannya harus sesuai, tidak boleh terlihat kusut sedikitpun. 

Dan belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutku.

"Nggak kok Bu. Ratna cuma sedikit pusing." jawabku. Sambil menyeka keringat yang sepagi ini sudah membasahi tubuh dan wajahku. 

"Oh ya, jangan lupa soal urunan buat haolan Bapak. Waktunya tinggal sebentar lagi." lanjutnya. 

"Iya Bu. Ratna nanti ngomong lagi sama mas Ilham." sahutku. 

"Ilham lagi, Ilham lagi. Sudah ibu bilang kok ke dia. Ilham bilang, uang gaji semua kamu yang pegang!" jawaban ibu mertuaku sontak membuatku terkejut.

kenapa mas Ilham tega membohongi ibunya dengan menjual namaku?

Hal ini semakin membuatku yakin bahwa mas Ilham sudah benar-benar berubah. Ia hanya ingin terlihat baik dan sholeh dimata ibunya, tanpa peduli bagaimana ibunya menilai diriku. 

"Bu, aku ke kamar dulu. Mau ngomong sama mas Ilham." aku segera meninggalkan Bu Fatimah. Terserah ia menganggapku tidak sopan.

*

"Mas!" 

Mas Ilham yang baru selesai mandi, menoleh padaku. 

"Apa sih?" 

"Mas sudah keterlaluan! kenapa mas bilang ke ibu kalau uang gaji semua aku yang pegang? gaji dari mana, mas? kerja juga nggak!" aku kehilangan kendali. 

"Berisik, Ratna. Nanti ibu dengar!" mas Ilham menghampiriku dan membekap mulut ini. 

"Lepas!" kutepiskan tangannya kuat-kuat. 

"Selama ini aku sabar dan nurut sama kamu, mas! tapi semakin lama, tingkahmu semakin menyebalkan!" cerocosku. 

"Ratna, kita bicarakan ini nanti, setelah ibu pulang!" ujarnya. Kugelengkan kepala. 

"Nggak bisa! aku sudah terlanjur buruk di mata ibumu gara-gara kamu, mas! padahal selama ini ibu biasa saja ke aku. Apa kamu yang terus menerus mencekoki ibu dengan cerita palsu soal aku?!" teriakku. Tak peduli Bu Fatimah mendengar. Justru itu lebih baik. 

"Ratna, tutup mulutmu! sudah kubilang nanti kita bahas soal ini. Minggir, aku mau pergi. Awas berani ngomong macam-macam, aku tidak segan ..."

Mas Ilham menghentikan ucapannya. Ia menepiskan tangan kemudian keluar kamar. 

Kepalaku sungguh sakit. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan suamiku, sehingga dia begitu keterlaluan akhir-akhir ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status